(Sumber: Media Indonesia) |
Sejumlah pegiat mengkritik pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum. Mereka tidak melihat adanya urgensi pembentukan tim tersebut. Tim Percepatan juga dinilai tidak akan efektif karena keterbatasan waktu lantaran dibentuk menjelang berakhirnya pemerintahan saat ini.
Konflik agraria bukan semata soal hukum, tapi juga dominan mengenai kepemimpinan dan kehendak politik untuk menjalankan undang-undang. Misalnya, Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya.
Masalah hukum dan agraria malah diperparah oleh ulah pemerintah sendiri, yang melahirkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum. Mahfud lewat pesan pendek pada Sabtu, 27 Mei lalu. Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023 tertanggal 23 Mei 2023 menyebutkan Tim Percepatan Reformasi Hukum dibentuk untuk mengoptimalkan prioritas pembangunan hukum. Prioritas tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
Agenda prioritas juga meliputi empat hal, yakni reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum; reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam; pencegahan dan pemberantasan korupsi; dan reformasi sektor peraturan perundang-undangan. Dibentuk empat kelompok kerja untuk membahas setiap agenda prioritas itu.
Tim ini diketuai Deputi Bidang Hukum dan HAM Kementerian Polhukam. Adapun Mahfud menjadi pengarah, yang beranggotakan pejabat di Kemenko Polhukam, akademikus, advokat, dan organisasi masyarakat sipil. Masa kerja tim hingga akhir 2023 dan dapat diperpanjang melalui surat keputusan Menko Polhukam.
Ide pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua hakim agung sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara. Keduanya adalah Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati. Menurut Mahfud, penangkapan dua hakim agung itu mendapat perhatian Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Presiden lantas meminta Menko Polhukam merumuskan reformasi hukum dan pengadilan.
Dalam rapat terbatas kabinet, Presiden meminta Mahfud mencari model reformasi hukum pertanahan. Presiden juga memberikan perhatian pada isu pertanahan karena banyaknya kasus yang berhubungan dengan mafia tanah. Maka, dalam Tim Reformasi Hukum, ada sub-tim rancangan undang-undang anti-mafia. Alasan Mahfud mengatakan tim percepatan ini tidak berpretensi menyelesaikan kasus konkret di lembaga peradilan saat ini. Kasus-kasus itu tetap ditangani aparat hukum. "Tim akan merumuskan naskah akademik dan rancangan kebijakan hukum untuk pemerintah baru hasil Pemilu 2024," ujar Mahfud.
Lebih Baik daripada Tak Ada Sama Sekali
Banyak dugaan bahwa tim ini dibentuk karena melemahnya institusi penegakan hukum. Menurut dia, dalam bidang pemberantasan korupsi, KPK mulai kehilangan taji setelah revisi Undang-Undang KPK dan kasus tes wawasan kebangsaan (TWK). Melemahnya KPK, otomatis membuat upaya pemberantasan korupsi menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari anjloknya indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2022 menjadi 34 poin. Padahal, pada 2021, indeks persepsi korupsi berada di 37 poin.
Alasan lainnya, banyak kasus yang macet serta tidak selesai di Kejaksaan Agung dan kepolisian. Ia mengusulkan adanya koordinasi di antara lembaga pemerintah dalam pemberantasan korupsi. saat ini setiap lembaga pemerintah berjalan sendiri-sendiri.
Dari sisi pencegahan, hal yang menarik saat ini adalah isu pendanaan partai politik. Danang menilai lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri bisa berkoordinasi agar pencegahan bisa berjalan efektif.
Di sisi lain, pembentukan tim tersebut memang dikritik sejumlah kalangan karena dibentuk menjelang berakhirnya pemerintahan saat ini. Namun menilai hal itu lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. Bisa saja hasil kerja Tim Percepatan tidak digunakan oleh pemerintah selanjutnya. Karena itu, masyarakat sipil harus mendesak supaya hasil tim reformasi hukum itu dijalankan.
Agenda penting dalam rapat perdana tim ini adalah penyesuaian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Kemudian merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pemerintah idealnya bisa menjamin institusi hukum tetap profesional. Untuk itu, pemerintah perlu mengendalikan dan menetapkan pedoman yang harus diikuti lembaga penegak hukum.
Saran lain yang mesti dipertimbangkan harusnya pemerintah perlu tetap menjalankan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tim akan mengidentifikasi persoalan mendasar konflik agraria yang masih kerap terjadi. Untuk jangka pendek, kata dia, perlu dibuat rencana mitigasi konflik agraria di berbagai sektor.
Tak Efektif karena Keterbatasan Waktu
Pembentukan tim ini tidak akan efektif, mengingat adanya keterbatasan waktu. Lagi pula, kata dia, tidak ada jaminan bahwa kerja tim itu bisa tepat waktu. Rencana pembentukan Tim Percepatan Reformasi Hukum juga menjadi cermin buruknya kinerja pemerintah. Sebab, setiap masalah diatasi dengan membentuk tim khusus. Padahal, tim yang dibentuk pemerintah juga belum tentu mampu mendorong kalangan tertentu menjalankan rekomendasi yang dibuat.
Sebagai contoh, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Tim yang dibuat tidak transparan sehingga menyulitkan masyarakat untuk ikut mengevaluasi.(Red)