(Sumber: JPNN) |
Doa diijabah dengan takjub dan heran. Takjub karena antusias kita pada musik berkelas memang tidak bisa ditutupi. Semahal apapun harga tiket meski dari jasa calo dan ketidakterhinggaan tawaran harganya tetap saja dilawan. Harga tiket yang setara UMR Surabaya adalah ukuran yang tidak cocok pada mereka yang nunggak cicilan. Tetapi situasi heran juga muncul, kenapa animo itu tidak terjadi diaktifitas kebangsaan dan dukungan moral pada hajat hidup yang sedang terancam terang redup?
Hampir dipastikan kluster penonton Coldplay kebayakan adalah menengah ke atas dan sebagian lagi jemaat bondo nekat alias Bonek. Mereka bisa saja mengurangi waktu senang-senang selama beberapa bulan dan kehangatan main besama untuk mempersiapkan kisaran harga tiket yang bikin panas dingin itu.
Musik sebagai pemersatu itu sudah pasti. Walaupun terlihat sepela efeknya luar biasa. Politisi atau publik figur tahu betapa kuatnya pengaruh idol dan musiknya pada hajat mereka. Tetapi kenapa agenda kebangsaan terlihat senyap, apa memang segara susuatu harus disesaki oleh histeria dahulu?.
Band Coldplay ikut membantu seseorang membentuk performa ritual yang terus menasbihkan eksistensial yang absud. Jelas ini bukan tentang Coldplay, tetapi kebiasaan harian kita yang terlanjur tidak bermutu karena tenggelam dengan transaksi antara pasar dan identitas.
Ritus Kritik Agama
Kelompok PA 212 merespon tajam ajang konser Coldplay dengan tuduhan bahwa aktivitas Coldplay yang mendukung LGBT dan latar belakang mereka yang dianggap Ateis nampaknya meruncingkan bahwa ini bukan sebatas hatajan music biasa namun tensi moral.
Saya tidak mau terlibat diskusi eksil di balik layar. Karena fanaisme bukan saja dimiliki oleh fans namun juga pengkritiknya. Di luar kapasitas lagu dan karyanya kita tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak sedang beribadah ataupun pasang panji kepercayaan.
Kita harus menyikapinya dengan kritik sosial yang berimbang. Ada banyak yang diuntungkan dengan kedayangan Coldplay bahwa Indonesia layak jadi negara tujuan konser dan dipandang baik di mata dunia. Hanya sebagai catatan, apa bisa kita bersikap adil kepada diri kita untuk sesekali tidak begitu berbudaya mencari pesta tiada batas.
Jika menggunakan instrumen pasar, melarangkonser dengan dalih agama, justru bisa hal itu merebut dan menciptakan pasar baru yang bergandeng dengan logika bisnis media. Dari dakwah menuju marketing agama sebagai selebritis bukan lagi dai yang bisa juga menemukan bahan wacana di konten mereka.
Tulisan ini ingin memperdalam kritik terhadap komodifikasi konser musik dan perdebatan tentang agama sebagai pasar. Keduanya merupakan usaha untuk menjernihkan kontribusi dan ekses serta logika penolakan dari ormas-ormas keagamaan yang perlu ditafsir dari instrumen agama sebagai pasar.
Selera musik dapat dinyatakan secara realisitis tetapi pengaruh musik tidak semudah tebak-tebakan. Agamapun demikian, orang bisa saja memperluas tafsir dan simbol agama pada pribadi seseorang. Dia berangkat umroh ataupu haji berkali-kali tetapi bisa saja ibadah itu hanya menjadi kesan mata bukan spiritual.
Pada abad ke-21 ini, di mana setiap orang berlomba menemukan keasyikannya sendiri melalui teknologi (musik) yang berkembang, memunculkan skeptisme baru terhadap masa depan musik (kemanusiaan). Tetapi bukankah sering terjadi adalah proyek-proyek yang menguntungkan kelompok dan jaringan tertentu, bahkan individu yang kurang memedulikan nasib generasi mendatang.
Jauh dari sikap keagamaan yang dipendam dalam-dalam dalam pribadi personil band Coldplay, mereka justru menunjukkan kesalehan sosial dengan kepedulian pada lingkungan dan perubahan iklim. Lirik lagu mereka belakangan bernuansa kemanusiaan dan usaha menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Maka sangat jauh sekali jika kritik latar belakang agama menjadi alasan mengahalagi konser mereka. Semestinya persoalan tentang lingkungan dan hedonisme masyarakat kitalah yang tiada jeda lebih dilirik oleh kalangan keagamaan dibandingan studi mendalam sebuah kepercayaan seseorang.