Iklan

Bima, Kampung Halaman dan Proyek Roro Jonggrang

narran
Minggu, 07 Mei 2023 | Mei 07, 2023 WIB Last Updated 2023-06-02T05:31:40Z
NARRAN.ID, OPINI - Beberapa pekan lalu, tentu saja perhatian kita tersorot pada seorang warga asal Lampung bernama Bima Yudho Saputro. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di Australia sembari aktif menjadi seorang kreator konten TikTok @awbimaxreborn. Dengan gaya komunikasi khasnya, ia berhasil menjadi trend setter dengan membuat konten berisi kritikan pedas tentang daerah asalnya.

“Oke, di video kali ini gua mau presentasi tentang alasan kenapa Lampung ini kagak maju-maju. Buat yang baru melihat video ini di FYP kalian, kenalin. Nama gua Bima. Gua berasal dari provinsi yang satu ini, (bernama) Dajjal ...”

Dengan membawakan data yang dapat dipertanggungjawabkan, ia memaparkan kepada publik soal bobroknya pemerintahan Provinsi Lampung pada berbagai sektor. Mulai dari buruknya pembangunan infrastruktur sampai suap-menyuap sudah menjadi rahasia umum di sana. Tak tanggung-tanggung, ia secara blak-blakan meminta kepada pejabat Istana Negara untuk memeriksa dan me-reshuffle seluruh pejabat yang ada di Provinsi Lampung. Tetapi, keberaniannya justru membuat ia dan keluarganya terpaksa mengalami intimidasi oleh pihak tertentu.

Foto: TikTok/AwbimaxReborn

Bima Effect Melawan Feodalisme!

Bima menyebutkan bahwa tidak ada potensi kemajuan pada daerah tersebut. Sebab, dari “akarnya” saja memang sudah kacau. Contoh sederhananya yaitu maraknya orang tua yang membelikan kunci jawaban ujian nasional (UN) untuk anaknya ataupun menyogok untuk memasukkan anaknya ke jurusan kampus yang diinginkan. Bagaimana sistem di tingkat atas bisa diperbaiki, sedangkan dari tingkat bawah saja sudah menjadi kebobrokan yang sistematis?

Data-data yang ia paparkan secara berkelanjutan di berbagai videonya, ternyata juga divalidasi oleh banyak kreator konten. Sehingga, hal ini melahirkan “Bima Effect” yang merangsang daya berani masyarakat untuk speak up ketika ada kezaliman yang sistematis di daerahnya. Maka, tak heran bila beberapa pekan ini, di TikTok berseliweran video jalanan yang rusak di berbagai daerah, tak hanya Lampung. Bahkan, muncul beberapa kreator konten baru yang ikut speak up soal kebobrokan di daerahnya masing-masing.

Rasanya, feodalisme yang terus dipelihara oleh para pejabat sudah selayaknya dihentikan. Omong kosong soal sopan santun pada hierarki kekuasaan membuat kita selalu dihantui rasa khawatir ketika hendak menyampaikan sesuatu. Bangsa ini sulit untuk maju bila mental feodal terus dipelihara.

Demokrasi Siber dengan Segala Konsekuensi

Era demokrasi siber yang memungkinkan terciptanya ruang publik (public sphere), memang tak menjamin bahwa kita dapat diterima oleh seluruh pihak. Meskipun, tak dapat dimungkiri bahwa sebenarnya fenomena ini juga ada kaitannya dengan culture gap antargenerasi, terutama soal gaya komunikasi. Hal ini terbukti ketika banyak dari generasi Baby Boomers sampai generasi Y (milenial) yang mengkritik gaya komunikasi Bima dengan mengaitkannya pada etika. Bahkan, sampai ada yang melaporkan ke polisi soal konotasi “Dajjal” yang dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian.

Lantas, apakah si pelapor itu salah? Tentu saja tidak dapat disalahkan. Sebab, secara hukum, semua memiliki hak yang sama untuk melapor sejauh ada hal yang dianggap melawan hukum. Terlepas, apa motif si pelapor melaporkan si terlapor.

Hanya saja, secara moral, aksi pelaporan itu sulit diterima oleh masyarakat. Pun, seluruh masyarakat tahu bahwa konotasi “Dajjal” merupakan bentuk sindiran semata terhadap kekacauan pengelolaan daerah yang sudah parah. Apabila tidak menggunakan istilah semacam itu, maka keresahan masyarakat selama puluhan tahun tetap tidak akan pernah didengar dan diselesaikan.

Terlebih lagi, apa yang dipermasalahkan malah jauh dari substansi pembicaraan. Sampai-sampai, itu menjadi ajang perdebatan di program televisi yang ditonton se-Indonesia yang seharusnya menyorot kebobrokan di Lampungnya, tetapi malah menyorot persona si pengkritiknya. Kacau dan agak lucu, sih, tetapi inilah budaya kita yang suka mempermasalahkan hal yang kecil dengan mengabaikan permasalahan yang lebih besar.

Foto: Agus Suparto

The Real of “Kena, Lo!”

Bentuk kecintaan Bima kepada daerahnya ternyata berhasil mengundang perhatian orang nomor satu di Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo. Tentu saja, wacana kunjungan pejabat Istana Negara ke Lampung ini membuat para pejabat di Provinsi Lampung menjadi lebih “kerja keras” untuk memperlihatkan kinerja mereka.

Benar saja, beberapa hari sebelum kunjungan tersebut, jalanan yang dikira akan dilewati oleh Pak Presiden itu mendadak diaspal. Bahkan, masyarakat setempat menilai itu sebagai “proyek Roro Jonggrang” karena bisa dikebut hanya dalam waktu kurang lebih tiga hari saja. Ya, walaupun dalam beberapa hari kemudian pun aspalnya hancur lagi. Tetapi, plot twist-nya yaitu ketika rombongan pemerintah pusat lebih memilih untuk melewati jalan terusan Ryacudu yang rusak dibandingkan jalan yang baru saja diaspal. Kena prank, deh!

Momen pada tanggal 5 Mei 2023 itu sudah tentu membuat internal di tubuh pemerintah provinsi menjadi ketar-ketir. Apalagi, di saat yang bersamaan di depan Gubernur Arinal Djunaidi, Presiden menyampaikan kepada media bahwa pemerintah pusat akan mengambil alih proyek pembangunan daerah yang tidak berjalan dengan maksimal. Publik menilai bahwa itu merupakan bentuk sindiran kepada pemerintah daerah yang tidak becus dalam menjalankan amanat rakyat. Mungkin seketika tahu berita ini, Bima sudah refleks mengeluarkan slogan andalannya, “kena lo!”.

Dalam hal ini secara tak sadar, Bima telah menjadi game changer di saat pemerintah tidak peka akan huru-hara yang terjadi di lingkup kecil sampai besar. Ini merupakan awal yang baik dalam berjalannya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pejabat. Ya, walaupun tentu saja tak akan berjalan semulus apa yang diekspektasikan. Tetapi, setidaknya potensi kelahiran “Bima-Bima lainnya” akan menjadi pemicu dari transisi gaya kepemimpinan yang lebih progresif untuk masa depan. Bukan yang alergi kritikan dan haus pujian.

Dari segala kontroversi dan konspirasi, ada baiknya bila para pejabat segera berbenah diri. Jangan selalu menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Jujurlah pada diri sendiri karena kepercayaan yang diberikan bisa saja mati. Bila sudah tak mampu, lebih baik mengundurkan diri. Ingatlah selalu, bahwa rakyatlah penguasa tertinggi.


Penulis:
Amin Rais
(Mahasiswa UIN Jakarta)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bima, Kampung Halaman dan Proyek Roro Jonggrang

Trending Now

Iklan

iklan