(Foto: koran.tempo.co.id) |
Deklarasi kepada Anies Baswedan bukanlah satu-satunya muara yang menjadikan Istana sakit hati, karena pada dasarnya Partai Nasdem merupakan partai besar dan sudah menempuh pergulatan politik selama dua kali pemilu. Bisa jadi alasan tersebut untuk tidak lagi terkekang pada tengkuk Istana karena mereka layak emban secara mandiri.
Partai Nasdem bukan partai yang akan berdiam diri dalam tekanan pada pemilu 2024. Dua kali partai ini tercatat telah mengantarkan Joko Widodo duduk menjadi presiden. Jasa ini bukanlah kecil, Partai Nasdem mati-matian menyelamatkan nama dan citra Joko Widodo saat diserang oleh media massa dan sosial yang dimiliki oleh tokoh partai koalisi pendukung Prabowo Subianto. Ongkos itu tidak murah bahkan Metro TV sampai-sampai disebut tidak layak dijadikan sebagai corong respresentasi siaran politik nasional karena dianggap tidak netral.
Surya Paloh sang maestro pemenangan Joko Widodo sudah hapal betul mengenai konsep pemenangan saat Joko Widodo mencalonkan diri sebagai presiden. Senyapnya komentar ketua umum Nasdem itu setidaknya sebagai isyarat yang tidak bisa dianggap remeh. Buktinya, sudah beberapakali presiden melalukan obrolan mendalam dengan sejumlah ketum parpol untuk memutar strategi agar sosok capres dan cawapres adalah orang yang diberikan kepercayaan Istana.
Retak
Tidak hadirnya Presiden Jokowi pada HUT Ke-11 Partai Nasdem sudah memunculkan asumsi yang beragam. Bahkan Sekjen PDIP Kristianto secara terang-terangan menyebut Nasdem sebagai partai pendukun Istana yang tidak disiplin karena berkolaborasi dengan partai oposisi. Langkah Nasdem dianggap berani dan hanya partai yang bernyali bisa melakukan sebagaimana Nasdem putuskan.
Kini bagaimana nasib para menteri Nasdem di Kabinet Jokowi setelah beberapa insiden inharmonasisi Nasdem dan Koalisi Istana. Sebelumnya, Nasdem memilih abstain atas revisi UU IKN yang merupakan ide dan perintah langsung dari Presiden Jokowi. Hal itu dilakukan saat rapat Badan Legislasi (Baleg) bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Langkah ini seperti pesan bahwa Nasdem jangan disamakan dengan partai koalisi lainnya.
Kemapanan logistik dan kepemilikan media massa yang massif membuat Istana tidak nyaman. Wajar jika beberapa hari belakangan bos MNC Group sekaligus Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesudibjo, diundang ke istana. Sinyal ini memiliki dua kemungkinan. Pertama, komunikasi ini menunjukkan adanya keinginan Jokowi menjadikan Hary Tanoe sebagai bagian koalisi Istana dan menjadikan media kepemilikannya sebagai penyeimbang media massa yang dimiliki Surya Paloh. Kedua, terkait reshuffle kabinet menteri dari Partai Nasdem seperti Menkominfo RI Jonny G Plate yang kemungkinan akan digeser oleh putri Hary Tanoesudibjo. Artinya, tidak ada makan siang gratis!
Koalisi yang dibangun oleh instrumen istana menunjukkan adanya upaya untuk mempersempit langkah Koalisi Indonesia Perubahan (KIP) menambah armada parpol yang berkoaliSI dengan mereka. Jika Partai Perindo memutuskan merapat ke Istana sudah pasti peran media massa akan menjadi instrumen yang akan menyajikan banyak gimik menjelang pilpres mendatang. Sebagaimana diungkapkan di awal, bahwa ada ketakutan Istana pada serangan media massa pada calon pilihannya. Apakah Nasdem akan melalukan sebagaimana dugaan itu? Semua masih datar, Media Group tidak cukup frontal mem-framing citra Anies Baswedan sejauh ini.
Bagaimana pun eskalasi yang berubah pasti akan menyulut tindakan yang sepadan. Sejauh ini, Nasdem masih berusaha tidak dipojokkan dengan gebyar-uyah pertemuan ketua-ketua umum parpol. Mungkin saja Nasdem lebih fokus agar Anies Baswedan segera dikenal dan dekat dengan publik dengan mendatangi wilayah-wilayah kantong pemilih daripada mennanggapi kemungkinan terbentuknya poros koalisi baru.
Pada akhirnya, Presiden Jokowi dengan segenap pengaruh yang dimilikinya juga tidak mudah mengeklusi Nasdem dari poros istana. Nasdem adalaha karib lama Istana yang telah memoles dan menyusun ornament segala keperluan agar kekuasaan bisa bertahan selama dua periode. Jasa Nasdem mutlak tidak bisa dibantah, jikapun kemudian Presiden tidak bersimpati lagi pada Nasdem maka demi kedewasaan berpolitik biarkanlah Nasdem menentukan jalannya politiknya secara mandiri.