(Sumber: Kompas.id) |
Ketiganya seoalah masih terlihat takut menyatakan sikap mereka secara langsung minimal satu dari sekian opsi visi yang mereka tawarkan. Seoalah-olah pencalonan mereka bisa jadi hanya sebatas menggantikan peran presiden Joko Widodo yang hampir purna tugas. Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005) mencantumkan Indonesia, bersama dengan Nepal dan Kolombia, di antara peradaban yang mungkin berada di ambang kehancuran.
Diamond menunjukkan bahwa krisis ekologis seperti yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan salah satu masalah di balik runtuhnya peradaban di masa lalu. Misalnya, dia mengutip kepunahan Viking Norse di Skandinavia karena erosi dan penggundulan hutan yang tidak disengaja yang menghancurkan sumber daya alam mereka.
Kekhawatiran Diamond bahwa Indonesia akan menghadapi tekanan lingkungan terburuk terbukti. Selama sepekan terakhir, banjir telah menggenangi puluhan daerah dan kota. Bencana lingkungan seperti banjir sebenarnya bukan yang pertama. Sepanjang tahun, bencana serupa kerap terjadi di setiap pelosok negeri, seolah tak pernah ada habisnya. Periode kekeringan sering terjadi selama musim kemarau; Warga kesulitan mendapatkan air bersih dan petani tidak lagi bisa mengairi sawahnya.
Fenomena alam seperti cuaca buruk dan hujan deras kerap menjadi kambing hitam penyebab semua kecelakaan tersebut. Padahal, bangsa yang tidak pernah memiliki visi ekologis adalah penyebab utama kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan di sekitar kita.
Mungkin capres memperhatikan dan berani mengulas tentang rentannya kawasan hutan yang terus berubah fungsi menjadi pemukiman, industri, lahan pertanian dan perkebunan; penebangan liar yang merajalela; Gaya hidup hedonistik yang tidak ramah lingkungan juga menjadi penyebab utama ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, dana pemulihan hutan dan penanggulangan bencana tidak efektif karena dikorupsi oleh mafia domestik.
Pola Pikir Ekologi
Dalam transisi demokrasi yang tidak pasti ditandai dengan desentralisasi kekuasaan yang tidak terkendali, konsep keamanan ekologis tetap terabaikan. Artinya, pentingnya promosi informasi tentang keamanan lingkungan (environmental safety) terabaikan.
Bahkan, sejak akhir 1980-an, pakar hubungan internasional dan studi keamanan seperti Buzan mulai mengingatkan dunia akan pentingnya isu lingkungan. Karena dampak kerusakan lingkungan atau perusakan lingkungan telah menimbulkan konflik lokal (intrastate) dan internasional di banyak tempat.
Para ahli memperingatkan bahwa efek polusi dan degradasi lingkungan tidak mengenal batas negara. Ini dapat dilokalisasi, tetapi tidak selamanya, karena efek kerusakan ekologis semakin memburuk dan menyebar. Pada saat yang sama, permintaan sumber daya alam yang meningkat saat ini, sementara banyak negara, terutama negara maju, menghadapi ancaman yang semakin besar terhadap keamanan energi, menimbulkan ancaman yang semakin besar terhadap masa depan ekologi global.
Ancaman muncul tidak hanya dari perebutan sumber daya alam, tetapi juga dari dampak pencemaran yang sulit dihitung karena telah melintasi wilayah negara dan masuk ke wilayah negara lain. Risiko kerusakan yang tinggi dan konsekuensi hukum yang luas telah menyebabkan pengecualian tanggung jawab.
Di daerah-daerah lain di Indonesia, konflik-konflik ekologis akibat perebutan sumber daya alam dan upaya eksploitasi dan pengelolaan yang tidak dilakukan dengan baik, telah bermunculan. Ini juga didukung oleh faktor tidak adanya UU dan peraturan pelaksanaannya yang saling konsisten dan menguatkan satu sama lainnya, sehingga telah menimbulkan celah untuk bisa disalahgunakan.
Konflik-konflik sosial, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal bermunculan, tidak hanya karena soal pembagian hasil eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, tetapi juga akibat dampak kerusakan lingkungan hidup yang tidak diperhatikan dan diatasi.
Ketika degradasi lingkungan meluas dan parah, menyebabkan seringnya bencana alam, meningkatnya kemiskinan dan keterbelakangan daerah, dan menyebabkan konflik sosial, muncullah krisis yang kompleks (Duffield, 1996). Jika sudah demikian, upaya untuk mengatasinya menjadi semakin sulit. Negara ini akan berkembang di sana-sini menjadi negara dengan situasi krisis yang kompleks. Oleh karena itu, keamanan lingkungan harus segera menjadi perhatian utama melalui penerapan langkah-langkah ramah lingkungan.
Keterlibatan politisi, lembaga pemerintah seperti pejabat kehutanan, otoritas pajak, bea cukai, polisi dan militer, dan lembaga penegak hukum di pengadilan mempersulit pemantauan dan sekaligus menegakkan berbagai undang-undang dan peraturan perlindungan lingkungan. UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Siapapun presiden terpilih nanti harus mengatasi permalasahan di mana kerjasama antara instansi pemerintah, pengusaha yang melanggar izin penebangan dan pertambangan, dan pembalak liar telah menyebabkan meningkatnya kejahatan pembalakan liar. Hingga 80 persen penebangan liar yang digunakan oleh industri kayu domestik untuk konsumsi terjadi.
Kasus lain dari pencemaran yang sama seriusnya adalah perampasan lahan untuk tujuan konservasi untuk menanam tanaman industri yang laku di pasar dunia, seperti kelapa sawit, dan ekspor hortikultura, termasuk beras, jagung dan tanaman sampingan lainnya. Ekspansi perkebunan kelapa sawit formal dan informal yang berlebihan merupakan kontributor utama degradasi lingkungan berdasarkan efek merusak jangka panjang pada kesuburan tanah dan sumber daya air.
Keinginan Bersama
Memulai untuk menyentuh visi terkali lingkungan merupakan keberanian yang masih terlihat mahal. Capres manapun harus berkata jujur bahwa mereka akan berpihak untuk pemantapan ekologi Indonesia di masa yang akan datang. Lebih sang presiden harus tegas tanpa pandang bulu pada oknum berpengaruh yang mencoba menjadikan kekuasaan sebagai jalan mengekploitasi alam kita.
Pada saat yang sama, di daerah-daerah yang masih terisolir dan jauh dari eksploitasi sumber daya alam, tanah dijarah untuk tanaman ekspor, dan seiring dengan pengembangan kawasan pemukiman dan industri baru, terjadi peningkatan pesat dalam pertumbuhan penduduk, dan pencarian dan pemeliharaan pertumbuhan ekonomi membuka lebih banyak peluang kerusakan lingkungan, dan lebih cepat. Oleh karena itu, ancaman terhadap swasembada pangan dan ketahanan pangan akan semakin meningkat di masa mendatang, menjadikan kerawanan pangan atau kekurangan pangan menjadi kenyataan dalam dua tahun ke depan.
Ketertarikan capres pada persoalan Ekologi politik dapat menggambarkan adanaya kepekaan terkait ketimpangan dalam akses kekuasaan dan lingkungan serta kerusakan yang ditimbulkannya, menawarkan alternatif keseimbangan ekologi politik-ekonomi dalam eksploitasinya. Dengan demikian, ekologi politik dapat menjadi jembatan antara pembuat kebijakan dengan kebijakan terkait permasalahan lingkungan yang ada tanpa perlu melakukan mitigasi. Selain ekologi politik, ekologi ekonomi juga menjadi faktor penting untuk diperhatikan. Cara pandang masyarakat modern yang terus bergelut dengan sistem ekonomi klasik menjadi penyebab hilangnya pemahaman masyarakat modern terhadap kelestarian lingkungan.
Maimunah Permata Hasibuan
(Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)