Foto: Eugène Delacroix - Liberty Leading the People |
Delacroix mulai melukis setelah menyaksikan eskalasi kekerasan protes terhadap serangkaian peraturan pembatasan yang dikeluarkan Charles X pada 26 Juli 1830. Selama tiga hari, yang kemudian dikenal sebagai les Trois Glorieuses (27-29 Juli), warga kelas pekerja dan menengah mendirikan barikade di jalan-jalan Paris dan melawan tentara kerajaan. Tidak dapat menahan pemberontakan, Charles X segera turun tahta. Louis-Philippe, yang disebut Raja Warga, naik takhta dan menciptakan monarki konstitusional. Sejarawan berspekulasi bahwa ketergantungan Delacroix pada komisi kerajaan mencegahnya untuk ikut serta dalam pemberontakan secara langsung, tetapi dia tetap tergerak ketika dia melihat pemberontak mengibarkan Tiga Warna, bendera nasional Prancis, di Notre Dame, titik balik dalam pemberontakan.
Delacroix menyelesaikan lukisan itu dalam tiga bulan, dan dipamerkan bersama 23 karya lain yang lekat dengan perjuangan revolusioner, sebuah pameran tahunan seni Prancis yang diadakan di Louvre. Delacroix menggabungkan realisme dan idealisme, dan dengan menerapkan sapuan kuasnya yang ekspresif secara khas, menciptakan pemandangan yang lebih modern yang kontras dengan para pesaingnya. Kritikus dan penonton kontemporer tetap berspekulasi dan berbeda pandangan atas lukisan tersebut apakah lukisan itu heroik atau tidak.
Perempuan setengah telanjang mendominasi lukisan monumental di bagian depan, kerumunan kaum revolusioner yang gigih di belakangnya. Dia adalah personifikasi kebebasan, simbol klasik yang digunakan sepanjang sejarah seni. Memang, gaun kuningnya melingkari tubuhnya, diikat longgar dengan tali merah dan jatuh dari bahunya dengan cara yang mengingatkan pada patung Yunani yang heroik, seperti Winged Victory of Samothrace. Namun dia juga saat ini, mengenakan topi Phrygian merah yang menyerupai topi kaus kaki yang dikenakan oleh kelas pekerja dan dipopulerkan selama Revolusi Prancis (1787-99) sebagai "topi kebebasan" tetapi berasal dari zaman kuno. Modernitasnya diperkuat oleh bendera tiga warna yang dia genggam di atas kepalanya dan senapan dengan bayonet yang dia pegang di tangannya yang lain.
Para pejuang yang tergambar dalam lukisan adalah tokoh realis, mewakili berbagai tipe orang yang ambil bagian dalam revolusi. Di sebelah kiri adalah seorang anggota borjuasi dengan topi cravat dan jas hitamnya yang lekang dengan kaum penindas. Dia dipersenjatai dengan senapan berburu. Lebih jauh ke belakang adalah seorang pengrajin atau buruh pabrik, mengenakan baju kerja, celemek, dan celana pelaut serta memegang pedang. Sosok yang lebih muda di sebelah kanan, ditandai sebagai murid pengrajin kue, baret beludru hitam, meneriakkan seruan saat dia mengacungkan pistol di masing-masing tangan. Barikade batu-batuan terbentang dan sosok-sosok yang jatuh, saat seorang pejuang yang lelah menatapnya dengan penuh harap. Sosok lain, laki-laki dengan baju tidur dan setengan telangan, tergeletak di pojok kiri bawah. Dia mungkin telah dibunuh oleh kaum pemberontak di rumahnya dan diseret ke jalan sebagai contoh. Seorang anggota tentara kerajaan, yang dapat dikenali dari mantel biru dan tanda pangkatnya, berbaring di sebelah seorang kawan yang jatuh di sudut lain.
Di latar belakang Notre Dame muncul melalui asap yang mengepul, menara selatannya hampir menutupi kembarannya dan menandai tiga warna yang nyaris tidak terlihat di atapnya. Katedral adalah satu-satunya struktur Delacroix yang termasuk dalam susunan tubuh manusia yang berputar-putar, tetapi dia meredam kekacauan pemandangan dengan menggunakan komposisi piramidal dan warna yang cukup kalem.
Viva La Vida Coldplay
Sebelum menginspirasi dan menjadi sebuah lagu, lukisan ini sempat didiamkan di sebuah gudang setelah pemerintah monarki Juli kehilangan dukungan dibawah pemerintah baru. Setelah bertahun-tahun tidak dipamerkan, akhirnya lukisan ini dikembalikan dan dipamerkan di Luksemburg. Namun tidak lama kemudian, pada tahun 1874 lukisan ini dipindahkan ke Louvre dan menjadi lukisan karya Delacroix yang paling top saat itu hingga masuk dalam relung musisi terkemuka Coldplay dengan lagunya yang berjudul 'Viva La Vida' pada tahun 2008 silam.
Lagu ini sejatinya menceritakan kisah seorang Raja Louis XVI dan pidato terakhirnya, setelah rajanya digulingkan dan dia akan menemui ajalnya dengan guillotine. Di saat tubuh terbentang dan terikat di sepetak kayu guillotine dan leher sejejar dengan tajamnya besi, mantan penguasa itu memberikan satu pidato terakhir sebelum dia dieksekusi dan menyatakan bahwa dia tidak bersalah dan peduli terhadap kerajaan yang pernah dia pimpin.
“Rakyatku, aku mati tidak bersalah. Tuan-tuan, saya tidak bersalah atas semua yang dituduhkan kepada saya,” kata Louis XVI. "Saya harap darah saya dapat mengokohkan nasib baik orang Prancis." Raja itu meninggal tepat pada pukul 10.22 di Place de la Concorde pada 21 Januari 1793.
Secara lirik, makna lagu itu berkisar pada Louis XVI yang lebih bertobat, menceritakan kisah bagaimana dia pernah memerintah negara Prancis, yang tampak seperti dunia, memimpin kapal di laut, dan sekarang sendirian dan dipenjara.
I used to rule the world
Seas would rise when I gave the word
Now in the morning, I sleep alone
Sweep the streets I used to own
Kebangkitan dan Kejatuhan
Lirik berikutnya menceritakan awal pemerintahannya dan kejatuhannya yang terakhir. Setelah kematian kakeknya, yang meninggalkan Prancis dalam keadaan bencana fiskal, Louis XVI menggantikan tahta dan sudah dirayakan sebagai raja baru yang akan membawa perubahan—Sekarang raja tua sudah mati, panjang umur raja—dan satu menit dia memegang kunci (ke kerajaannya) dan kemudian tembok mulai menutupnya.
I used to roll the dice
Feel the fear in my enemies’ eyes
Listen as the crowd would sing
“Now the old king is dead, long live the king”
One minute, I held the key
Next, the walls were closed on me
And I discovered that my castles stand
Upon pillars of salt and pillars of sand
Sebelum revolusi, Prancis dilanda kekeringan, penyakit ternak, dan panen biji-bijian yang buruk yang menyebabkan kenaikan harga roti, membuat orang miskin semakin melarat dan siap untuk bangkit. Mundur ke kenyamanan kekayaan dan kekuasaannya, Louis XVI tidak mampu menarik Prancis keluar dari krisis ekonomi, dan rakyat menginginkan tatanan baru.
It was the wicked and wild wind
Blew down the doors to let me in
Shattered windows and the sound of drums
People couldn’t believe what I’d become
And revolutionaries wait
For my head on a silver plate
Just a puppet on a lonely string (Mmm, mmm)
Aw, who would ever wanna be king?
Lonceng Berdering
Di paduan suara, Raja Louis XVI tahu orang-orang bersuka cita atas kematiannya dan menantikan hari baru. Bahkan ada pandangan religius terhadap Katolik, dan Santo Petrus, yang memegang “kunci ke surga” menolak memanggilnya ketika dia menemui ajalnya.
I hear Jerusalem bells a-ringin’
Roman cavalry choirs are singin’
Be my mirror, my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can’t explain
I know Saint Peter won’t call my name
Never an honest word
But that was when I ruled the world
Penulis:
Fausi
(Tutor Bahasa Inggris di Yayasan Insan Cita Bangsa)