Iklan

Kemiskinan Bukan Soal Statistik

narran
Senin, 19 Juni 2023 | Juni 19, 2023 WIB Last Updated 2023-06-19T03:39:38Z

kemiskinan, dunia, indonesia, angka bps,
(Sumber: Data Investor)
NARRAN.ID, EKONOMI - Tidak mudah mencari rumusan melepaskan dari jeratan kemiskinan di negeri ini. Kian waktu, masalah kemiskinan menjadi satu anomali tersendiri, mengingat sumber daya alam kita masih cukup mumpuni. alhasil kita masih bertanya soal ketangguhan dan kesungguhan data angka kemiskinan saat ini.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat tak sejalan dengan capaian penurunan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2022 tercatat sebesar 5,31 persen atau jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,4 persen. Namun kondisi itu kontras dengan angka kemiskinan Indonesia, di mana pada September 2022, tingkat kemiskinan naik menjadi 9,57 persen.

Peneliti dari Center of Macroeconomic and Finance Indef, Abdul Manaf Pulungan, berujar bahwa kondisi itu menunjukkan masih tingginya ketimpangan perekonomian masyarakat, ditandai dengan sejumlah indikator sosial, seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. “Ada banyak penyebabnya, dari pandemi hingga kenaikan harga BBM yang tidak diantisipasi dengan baik,” ujarnya, akhir pekan lalu.

Abdul menuturkan, faktor lainnya adalah sektor-sektor penyerapan tenaga kerja yang belum optimal, dengan sektor yang paling banyak menyerap adalah pertanian dengan kontribusi 28,61 persen, diikuti perdagangan 19,36 persen dan industri pengolahan 14,17 persen. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2022 mencapai 5,86 persen atau 8,42 juta orang, naik dari Februari 2022 yang sebanyak 8,40 juta orang atau 5,83 persen. “Kualitas pertumbuhan ekonomi kita masih belum bagus karena sektor yang tumbuh tinggi justru sektor yang tidak menyerap tenaga kerja tinggi, seperti sektor jasa lainnya,” ujar Abdul.

Angka kemiskinan Indonesia pada September 2022 mencapai 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang, lebih tinggi dibanding Maret 2022 sebesar 9,54 persen atau 26,16 juta orang. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menuturkan, kenaikan angka kemiskinan itu disebabkan oleh kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi Covid-19.

Kenaikan angka kemiskinan secara signifikan dirasakan sejak 2020 atau masa awal pandemi Covid-19, dengan puncaknya mencapai 10,19 persen pada September 2020. Angka itu kemudian perlahan menurun, menjadi 10,14 persen pada Maret 2021; lalu 9,71 persen pada September 2021; 9,54 persen pada Maret 2022; hingga kembali naik pada September 2022. “Peningkatan ini salah satunya akibat kenaikan inflasi sebagai dampak dari naiknya harga BBM pada periode tersebut. Kemudian berdampak pada biaya produksi dan barang modal, khususnya di tanaman pangan dan perikanan tangkap,” kata Margo.

Kenaikan harga sejumlah komoditas lainnya tak dapat terhindarkan, di mana harga beras pada September 2022, misalnya, naik 1,46 persen dibanding Maret 2022. Kondisi ini disinyalir turut memberikan dampak signifikan pada kenaikan angka kemiskinan. Adapun jumlah penduduk miskin perkotaan naik menjadi 7,53 persen dari posisi Maret sebesar 7,5 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin perdesaan naik dari 12,29 persen menjadi 12,36 persen.

Sementara itu, standar ukuran garis kemiskinan Indonesia juga sempat mendapatkan catatan dari Bank Dunia. Merujuk pada laporan "Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security" yang diluncurkan pada Mei 2023, Bank Dunia menyarankan Indonesia mengubah ukuran garis kemiskinan, dari standar 1,9 US$ per hari menjadi 3,2 US$ per hari.

Tak hanya itu, Bank Dunia menilai strategi penghapusan kemiskinan oleh pemerintah masih harus diperluas fokusnya agar mencakup rumah tangga miskin dan tidak begitu miskin. Bank Dunia menyebutkan ada tiga cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Pertama, pemberian bantuan sosial dan subsidi, lalu pemberdayaan masyarakat, dan terakhir pembangunan infrastruktur pelayanan dasar. “Kombinasi bantuan sosial, jaminan sosial, inklusi keuangan, dan investasi infrastruktur yang tangguh dapat membantu rumah tangga keluar dari kemiskinan,” tulis Bank Dunia.

Secara khusus, Bank Dunia juga memberi catatan perihal pemberian subsidi BBM yang dilakukan pemerintah. Langkah itu dinilai tidak tepat, dan disarankan untuk ditinjau kembali. “Subsidi energi yang mahal muncul kembali setelah adanya pengurangan sementara, tapi dengan manfaat yang terbatas untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.”

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, standar ukuran garis kemiskinan yang digunakan pemerintah memang tergolong rendah. Artinya, jumlah riil masyarakat miskin kemungkinan besar lebih banyak lagi dari yang diperhitungkan. “Harus diperhitungkan juga perbandingan dengan jumlah kelas menengah rentan miskin di Indonesia, kemudian yang bisa dikategorikan masyarakat miskin baru,” ucapnya.

Di sisi lain, anggaran bantuan sosial saat ini dinilai belum cukup mampu menopang strategi-strategi pengentasan kemiskinan. “Seharusnya bisa lebih banyak menggeser anggaran lain yang belum prioritas dengan mengalokasikan bantuan sosial yang lebih besar dengan kebijakan lintas sektoral untuk menekan angka kemiskinan secepat mungkin,” kata Bhima.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, angka kemiskinan Indonesia ditargetkan dapat turun ke level 6,5 hingga 7,5 persen pada 2024. Penurunan itu diikuti dengan target penurunan angka pengangguran terbuka di kisaran 5,0 hingga 5,7 persen. “Pemerintah terus memperkuat upaya efektivitas dan efisiensi belanja serta mendorong pengembangan pembiayaan yang kreatif dan inovatif,” ujarnya. Upaya tersebut antara lain disertai dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang masih tertinggal, efisiensi penerapan kebijakan dan birokrasi, serta peningkatan kualitas SDM.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, terdapat sejumlah tantangan utama yang dihadapi dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. “Utamanya adalah soal data penerima bantuan sosial yang digunakan tidak tepat, sehingga bantuan yang disalurkan tidak tepat, dan mengurangi kemampuan bantuan sosial untuk mengurangi tingkat kemiskinan,” kata dia.

Yusuf menambahkan, nominal bantuan sosial tunai yang diberikan juga seharusnya dapat bervariasi disesuaikan dengan perekonomian masing-masing daerah. “Terakhir, penciptaan lapangan kerja formal dengan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup harus didorong lebih banyak lagi, seperti industri manufaktur,” ujar Yusuf. (KTMP)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kemiskinan Bukan Soal Statistik

Trending Now

Iklan

iklan