Iklan

Kuatnya Kepentingan Elite pada Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

narran
Selasa, 06 Juni 2023 | Juni 06, 2023 WIB Last Updated 2023-06-06T11:59:13Z
News, Politik, Hukum
Foto: JawaPos/Miftahul Hayat

NARRAN.ID, NEWS — Permohonan pengajuan uji materil soal proporsional tertutup pada sistem pemilu tinggal menunggu ketok palu. Semua menunggu tetapi serba curiga, jika berakhir ditetapkan dengan sistem tertutup, mungkinkah akan menjadi solusi mutakhir dari usaha mendekatkan pemilih lebih substansial pada partai dan sistem demokrasi di masa depan? Bukankah segala persiapan calon dan partai hampir mutakhir menjelang Pemilu 2024 mendatang?  

Sejauh ini uji materiil pemilu dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 terkait istilah “proporsional” Pasal 168. Uji materi ini dilakukan oleh Demas Brian Wicaksono (Administrator PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rahman. Jaya, Riyanto dan Nono Marijono. Petunjuknya terkait mekanisme penghitungan suara dan konversi distribusi kursi berdasarkan daerah pemilihan atau provinsi, dan penggunaan sistem centang atau pemilu. Menarik untuk dikaji adalah wacana PDIP tentang kembalinya sistem perwakilan proporsional tertutup (closed list system) atau lebih sering disebut sistem nomor urut dari daftar calon legislatif (caleg). 

Padahah sejauh ini logika politik kembali ke sistem nomor urut dinilai lebih demokratis ketimbang pemberlakuan sistem perwakilan proporsional terbuka (open list system) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 silam dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang mengubah sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka (UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 5(1) . Sayangnya, putusan MK bukanlah terobosan politik yang cukup berarti sebagai bentuk representasi nasional, karena putusan tersebut tidak segera diikuti dengan teknis pelaksanaan bahkan menimbulkan kekosongan hukum bagi pengangkatan calon secara mayoritas. Karena MK pun tidak menjelaskan lebih rinci apakah suara terbanyak dalam arti mayoritas atau pluralitas. 

Salah satu keberhasilan reformasi politik adalah penyelenggaraan sejak pemilu 20042009, di mana partai menuntut penunjukan wakil-wakil yang paling representatif melalui sistem perwakilan proporsional terbuka (daftar terbuka), yang memberikan kebebasan pemilih memilih nama calon secara langsung, sehingga diharapkan para pemilih (rakyat) dapat menentukan pilihannya sesuka hati. 

Di beberapa kalangan, perwakilan proporsional terbuka dianggap sebagai bentuk perwakilan yang paling ideal, menciptakan persaingan antar kandidat partai, bahkan dianggap lebih demokratis di dalam partai, mematahkan sistem oligarki partai dan memastikan kandidat terpilih. lebih bertanggung jawab kepada konstituennya. Karena dengan sistem ini, hanya caleg yang mendapat dukungan penuh yang bisa duduk di kursi parlemen. 

Perbandingan  

Kelemahan sistem perwakilan proporsional terbuka adalah dianggap tidak mendidik masyarakat karena membuka peluang praktik money politics, belanja kampanye menjadi semakin mahal, menyebabkan kader partai menjadi agnostik dan nonpartisan. Selain itu, adanya persaingan antar caleg yang dapat menimbulkan konflik baik antarcaleg dari partai yang sama maupun antarcaleg dari partai yang berbeda, serta kesulitan dalam meringkas hasil pemilu. Pada saat yang sama, dalam sistem daftar tertutup kelembagaan partai diperkuat, proses rekrutmen calon memang lebih terarah, bahkan dapat mengurangi persaingan tidak sehat antara calon satu partai dan persaingan antara calon dengan partai lain. 

Berkaca pada  konstitusi Jerman, Brasil, dan sebagian besar negara Amerika Latin tidak menentukan siapa atau apa yang berpartisipasi dalam pemilihan DPR atau Senat. Undang-undanglah yang mengatur peserta pemilu dan pencalonannya. UUD 1945 secara tegas mengatur partai ikut serta dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD. Akibatnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur pencalonan anggota DPR dan DPRD tidak sebebas di negara-negara yang konstitusinya tidak menentukan siapa yang ikut dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD.   

Jika partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilihan anggota DPR dan DPRD, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah kursi yang mewakili daerah pemilihan pasti lebih dari satu kursi (daerah pemilihan multi perwakilan). Jika UUD 1945 menetapkan satu kursi per daerah pemilihan, peserta pemilihan anggota DPR dan DPRD sebenarnya bukan partai, melainkan calon dari partai atau calon perseorangan.  

Pemilihan dengan proporsional tertutup akan menciderai pemilih di daerah yang tahu dan percaya akan wakil yang mereka pilih nanti. Parpol dengan menggunakan proposional tertutup lebih leluasa mengemas segala kepentingannya tidak terhubung dan bertanggung jawab pada konstituen pemilih di daerah. Tidak bisa kita menyamaratakan konsep ini dengan pemilihan DPR pusat.

Kritik pada parpol pengusung uji materil ini kenapa tidak substansial saja bahwa masih terdapat masalah demokrasi kita yakni kartel politik dan orientasi materi, serta lemahnya partai dalam merekrut caleg yang mendukung visi misi partai di lembaga perwakilan. Karena korupsi ini, sistem perwakilan proporsional terbuka lebih transparan dan memperhitungkan suara orang banyak.  

Sistem perwakilan proporsional terbuka yang diatur UU Pemungutan Suara No. 7 Tahun 2017 saat ini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi. Enam orang, termasuk satu dari PDI Perjuangan, menilai sistem perwakilan proporsional terbuka tidak konstitusional. Okelah, alasan para penggugat tampaknya berpikir secara proporsional bahwa mereka telah dibajak oleh para kandidat parlemen yang pragmatis dan populer yang tidak memiliki afiliasi ideologis dengan partai mana pun dan mendukung kebijakan moneter.  

Proporsionalitas tertutup dalam pemilihan parlemen tidak menjamin kita mendapatkan perwakilan kelas atas. Kecuali partai-partai memiliki sistem pembaruan yang kuat, catatan caleg akan suram. Masyarakat terpaksa memilih wakil yang tidak mereka kenal dan tidak mereka inginkan karena mereka adalah pilihan partai. Oleh karena itu, sistem perwakilan proporsional tertutup justru memperkuat kebijakan money politik di partai politik. Mereka yang memiliki hubungan dekat dengan pimpinan partai mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan parlemen. Pada saat yang sama, masyarakat kembali pada kebiasaan "memilih kucing dalam karung". Kita hanya mendengar suaranya yang bisa menipu tanpa mengetahui latar belakang dan sejarahnya serta kemampuannya untuk mewakili suara orang banyak.  

Sementara, sistem perwakilan proporsional yang terbuka menciptakan kekuatan oligarki untuk mensponsori politisi sedangkan dalam sistem perwakilan proporsional yang tertutup justru memperkuat keterlibatan oligarki dengan pemimpin partai terkemuka. Partai menjadi perantara dan memperkuat kartel politik. Keduanya sama-sama berbahaya bagi publik, samasama berbahaya bagi demokrasi. Oligarki justru lebih mudah dan biaya lebih murah jika mensponsori partai politik dibandingkan biaya yang harus mereka keluarkan untuk Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. 

Kelebihan dan kekurangan kedua sistem ini dan sistem kepartaian dan kepartaian kita yang belum matang, proporsionalitas terbuka nampaknya lebih terbuka. Setidaknya masyarakat bisa mengikuti profil orang-orang yang wajahnya ada di surat suara. Di sisi lain, para caleg juga berebut simpati dengan menyuguhkan program-program yang paling menarik. Suka tidak suka, popularitas adalah aset yang dipilih. 

Adapun maraknya money politics dalam sistem terbuka, penegakan hukum lah harusnya menjadi kunci untuk mencegahnya. Badan Pengawas Pemilu dan peradilan harus bekerja lebih lebih keras untuk mengekang praktik uang dia lapangan. Kapan perlu diperkuat dengan UU tentang Pembiayaan Partai Politik. Sistem kaderisasi dan rekrutmen caleglah yang harus diperbaiki oleh masing-masing parpol. Jangan sampai, ini menjadi alasan untuk mengubah sistem pemilihan pada pemilu. 

Publik kita dilemahkan karena sebagai pemilih sumber kekuasaan yakni hak suara, partai selalu mendahului kehendaknya. Padahal, selama ini proporsional terbuka masih dianggap baik-baik saja sekalipun perlu banyak disempurnakan dalam bagian mekanisme dan pengawasan. Publik hanya tidak puas dengan wacana kecurangan dan politik uang dalam barter suara dan kepentingan. Mengabulkan permohonan sama saja menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemilihan karena pemilih dan calon sama tidak siap untuk menerima konsekuensi yang sangat subjektif diambil alih oleh parpol. 


Penulis:
Hadi Suprapto Rusli
(Direktur Eksekutif Ide Cipta Research and Consulting) 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kuatnya Kepentingan Elite pada Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Trending Now

Iklan

iklan