Dalam suasana yang mawas dan waras, keheningan adalah barang yang mahal. Setiap dari kita selalu tidak berselera berhadapan dengan kenyataan yang berbeda. Seolah semua yang sifatnya normatif nan baik itu adalah musuh dari cita-cita. Aldi Taher yang melawak dan menertawan dunia yang sedang terbahak ini menjadi satu percobaan yang unik dan labil di satu sisi.
Unik karena hanya dengan menertawakan kenyataan yang acuh dan pongah, kita bisa mengurai persepsi status qou dari dalam. Aldi Taher memperpeloncokan politik yang hina dina ini menjadi obrolan lucu dan tidak penting. Baginya semua ini hanya soal uang dan pengorbanan. Hanya mereka yang bermateri bisa berkorban lebih banyak. Definisi ini semakin terang bahwa Aldi Taher membantu mengorbankan sikap berbaik sangka pada situasi sosial politik yang selama ini menutupi kita bahwa itu penggelapan akal sehat.
Sifat labil tentu karena Aldi Taher adalah mahluk yang tidak bermuara akar, alias musiman. Kemunculannya menarasikan kebingungan dan kebenaran dalam aras yang sama. Dalam Pratik ilmiiah dua fakta itu berhadap-hadapan. Tetapi siapa bisa menolak bahwa kebingungan dalam kenyataan justru adalah kehidupan keseharian kita selama ini.
Aldi Taher memang tidak setara dengan derajat Nabi Ismail. Tetapi kita jugsa bertanya “mengapa” pada Nabi Ismail, remaja yang masih diselimuti angan masa depan tiba-tiba pasrah atas putusan ayahnya Nabi Ibrahim atas nasib yang akan menimpanya. Logika macam apa yang bisa menerima itu, walaupun pada akhirnya disanalah keunikan dan jalan pikiran dari Nabi Ismail.
Keputusan itu tidak cuma-cuma, konteks pengorbanan Ismail itu telah menjadi simpul etiket moral agama dalam mengelola harta dari peradaban satu ke peradaban lainnya. Sesuatu yang aneh itu kemudian disebut cinta yang tak lazim.
Cinta Ismail itu menjadi moral force yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnik, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan mengultuskan faksi-faksi, serta menjunjung arogansi kelas sosial-politiknya.
Jika kita lebih subtil, Seperti kata Carl Gustav Jung, "Hanyalah dengan misteri pengorbanan diri, seseorang bisa mengalami kelahiran baru." Itulah sebabnya setiap muslim sejati menjadikan agama bukan sekadar acara ritual, melainkan acara bernuansa sosial untuk meningkatkan kesadaran sosial. Menurut Peter L. Berger, setiap agama harus menghasilkan kehendak bebas, yaitu kehendak bebas untuk melayani sesama.
Agama tidak tepat jika hanya mengedepankan sikap fanatik dan fundamentalis, karena pada hakekatnya setiap agama adalah alat untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya berbagi antar sesama manusia. Bahkan, fakta yang sangat kontradiktif disajikan. Dengan semakin gencarnya perayaan keagamaan di berbagai tempat, korupsi dan intoleransi juga semakin meningkat. Bahkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sentuhan hari raya keagamaan dengan perilaku sosial politik warga.
Dalam krisis dimana rasa saling percaya hilang, diperlukan kejernihan mata batin untuk melihat jalan keluar. Namun, keagungan kehidupan postmodern yang saat ini bersinar di Indonesia adalah kebisingan dan sampah. Politisi, pengusaha, ilmuwan, dan tokoh agama bersaing memperebutkan pengeras suara dan menjual "kecap nomor satu".
Berburu Hening
Hampir tidak ada orang yang mau mendengar suara orang lain, bahkan suara batinnya sendiri. Dalam perebutan pasar suara, ketika masing-masing pihak mengklaim kebenarannya sendiri, tidak ada yang bisa diandalkan dari apa yang dikatakan dalam bahasa bisu sebagai dilakukan nabi Ismail.
Hanya dalam keheningan Tuhan, sebagai bahasa kebenaran, memiliki tempat untuk hadir di lubuk hati yang paling dalam dan mengikuti kita dalam keheningan. Seperti yang dikatakan Bunda Teresa, "Tuhan dekat dengan keheningan. Pohon, bunga, dan rerumputan tumbuh dalam keheningan. Lihat juga bintang, bulan, dan matahari, semuanya bergerak dalam keheningan."
Momen hening ini harus diperhatikan bagi umat Islam yang memasuki masjid dan "Rumah Tuhan" (Baitullah) dan bagi umat Kristen yang memasuki gereja dan saat Natal. Haji dan umrah bukanlah hiburan bagi gerombolan jamaah. Dan Natal bukanlah tampilan kelap-kelip lampu dan pohon Natal. Keduanya merupakan ritus refleksi dalam memperingati jajaran peradaban yang berani meninggalkan jalanan ramai menuju jalanan sepi.
Muhammad Asad menjelaskan dalam The Road to Mekah: "Ada banyak lagi pemandangan indah di dunia, tapi menurut saya, tidak ada yang bisa membentuk jiwa manusia seperti jalan menuju Mekkah... Gurun itu tandus, murni dan tanpa kompromi." Dia menghilangkan hati manusia dari berbagai ide yang mewakili mimpi palsu, sehingga bebas untuk menyerah pada sesuatu yang mutlak yang tidak memiliki gambar: terjauh, tapi terdekat ke yang berikutnya.
Hanya ketika manusia modern belajar untuk menikmati ketenangan barulah dia dapat berharap untuk keluar dari kemiskinan ini. Dalam kata-kata Bunda Teresa: “Buah kesendirian adalah ibadah; buah ibadah adalah iman; buah iman adalah cinta; buah cinta adalah pelayanan; buah pelayanan adalah kedamaian.”
Aldi Taher dan kisah Nabi Ismail adalah fragmen yang terpisah masa dan penuh kronik berbeda. Tetapi ingat, semua upaya pembebasan membutuhkan praktik keheningan. Bukankah sebagian besar nabi menjadi gembala untuk belajar merawat jalan yang sepi? Melalui pelatihan spiritual, orang dapat menggabungkan keyakinan dan pengorbanan di jalan pelayanan yang sepi. Seperti Siti Hajar yang terlempar dari kerumunan Palestina ke dalam keheningan gurun Lembah Bakka (Mekah), atau seperti Yesus dari Nazaret yang terlempar dari stabilitas ke dalam keheningan penyaliban. Selamat Idul Adha.!
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)