Iklan

Akibat FOMO: Retak Mentalmu, Dek!

narran
Selasa, 11 Juli 2023 | Juli 11, 2023 WIB Last Updated 2023-07-11T08:01:34Z

fomo, gen z
(Sumber: Channel9)
NARRAN.ID, ANALISIS - Generasi Z sejatinya menjati tumpuan yang cukup diperhitungkan, tetapi lekang waktu belakangan mereka dihantui oleh pilihan keputusan aktivitas mereka. Mereka memang mudah mengambil alih pikiran mereka keputusan yang terkadang tidak matang akhirnya muncul pre-kondisi yang mengarahkan mereka pada situasi depresi.

Dari sumber Kompas.id, Generasi Z, berusia 11 hingga 26 tahun, lahir di era digital. Namun, sebuah studi yang dilakukan perusahaan konsultan McKinsey Health Institute menunjukkan bahwa Generasi Z mengalami hubungan yang kompleks dengan media sosial atau media sosial. Pada saat yang sama, para Baby Boomer (1946-1964) gemar menggunakan media sosial, begitu pula anak cucu mereka.

Penelitian yang dilakukan di 26 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa penggunaan media sosial menyebabkan lebih banyak kekhawatiran dan kecemasan di kalangan Generasi Z dibandingkan generasi sebelumnya. Rata-rata, kekhawatiran terbesar Gen Z adalah kurangnya peristiwa terkini. Dalam bahasa Gen Z, ini disebut FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut akan tertinggal. Kekhawatiran lainnya adalah penampilan luar mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka idealkan di media sosial.

Namun, lebih banyak responden, lebih dari 50 persen dari semua generasi, mengungkapkan aspek positif dari media sosial. Sisi positif dari media sosial adalah ekspresi diri dan hubungan sosial. Manfaat positif ini terutama terlihat dalam kasus pengungsi politik muda dan pencari suaka. 

Melalui media sosial, mereka tetap berhubungan dengan orang-orang yang akrab atau baru dan menghindari kesepian. Kejutan lain dari penelitian ini adalah bahwa partisipasi generasi yang lebih tua sama dengan Generasi Z. Baby boomer (lahir 1946-1964) menghabiskan jumlah waktu yang sama di jejaring sosial di 8 dari 26 negara yang disurvei. Sementara itu, generasi milenial (1981-1996) ternyata lebih banyak mengirimkan informasi melalui jejaring sosial.

Penggemar Coldplay mencari tiket konser Coldplay di empat perangkat pada Rabu (17 Mei 2023). Penggunaan media sosial Generasi Z juga memengaruhi kesehatan mental mereka. Kesehatan mental menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental merupakan keadaan kesejahteraan mental yang memungkinkan orang mengatasi tekanan hidup, memenuhi potensinya, belajar dengan baik, bekerja dengan baik, dan berpartisipasi dalam masyarakat.

McKinsey Health (MHI) melakukan survei berbasis web di 10 negara Eropa pada Mei 2022 dan pada Agustus 2022 terdapat responden di 16 negara tambahan di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Timur Tengah, China, Afrika Utara, dan Asia termasuk. Indonesia.  

Ternyata 42.083 responden mengambil bagian dalam survei, termasuk 16.824 Gen Z (sebagian besar berusia 18-24 tahun dengan beberapa non-Eropa berusia 13-17 tahun), 13.080 Milenial (25-40 tahun) dan 6.937 Gen X (41-56 tahun), 5.119 lansia (57–75 tahun), dan 123 orang generasi pendiam (76–93 tahun). Survei mengukur kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan spiritual dan kesehatan fisik.

Di hampir setiap negara, satu dari empat Generasi Z melaporkan mengalami masalah kesehatan mental, sedangkan generasi Baby Boomer memiliki frekuensi satu dari tujuh responden, dengan variasi di berbagai negara. Responden Gen Z dari Arab Saudi, Mesir, dan Nigeria menilai kesehatan mental mereka sangat baik.

Sepertiga responden Gen Z menghabiskan lebih dari dua jam sehari di media sosial. Namun, generasi milenial adalah yang paling aktif di media sosial, dengan 32 persen responden mengaku berkirim pesan sekali atau lebih dalam sehari.

Kepasifan Gen Z dapat merujuk pada kesadaran dan kepercayaan diri dari kelompok usia yang lebih muda, kurangnya keterlibatan, atau perilaku sosial yang pasif seperti hanya membaca. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara pasif dapat dikaitkan dengan penurunan kesejahteraan dari waktu ke waktu.

Jenis kelamin berperan dalam menciptakan emosi negatif. Hampir dua kali lebih banyak wanita Gen Z dibandingkan pria (21 persen dan 13 persen) dilaporkan menderita kesehatan mental yang buruk. Efek negatif terutama terkait dengan FOMO (32 persen vs. 22 persen), citra tubuh (32 persen vs. 16 persen), dan harga diri (24 persen vs. 13 persen).

Gambar Dunia Nyata

Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi tentang kesehatan jiwa, seperti tingkat perkembangan jiwa dan fisik, tingkat hubungan dengan pelayanan kesehatan, dan perilaku dalam keluarga atau lingkungan sosial.

Perasaan negatif ini terkait dengan frekuensi penggunaan media sosial. Generasi Z yang lebih muda, di sisi lain, sedang dalam fase pengembangan. Mereka masih mengkhawatirkan FOMO dan harga diri. Selain itu, mereka menghabiskan tiga tahun waktu pengembangan mereka selama pandemi Covid-19. Ketakutan Gen Z tampaknya disebabkan oleh pandemi yang mengubah hidup mereka secara drastis, seperti kesepian, ketakutan akan rasa tidak aman, kelelahan mental dan fisik (kelelahan) dan kurangnya teman.

Anak harus didorong untuk menjaga keseimbangan antara bermain dan interaksi sosial agar tidak menjadi kecanduan. Menghabiskan banyak waktu di depan layar komputer dan perangkat lain tidak hanya merusak penglihatan Anda, tetapi juga dapat menyebabkan kecanduan dan perilaku buruk.

Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi tentang kesehatan jiwa, seperti tingkat perkembangan jiwa dan fisik, tingkat hubungan dengan pelayanan kesehatan, dan perilaku dalam keluarga atau lingkungan sosial. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa media sosial adalah faktor yang sangat memengaruhi kesehatan mental. Banyak faktor lain seperti jenis media sosial, tujuan penggunaan dan konten yang berperan. Di sisi pengguna terdapat faktor kepribadian, kelemahan dan model hubungan.

Selain itu, ada faktor sosial, politik dan ekonomi yang mempengaruhi atau bahkan dapat mempengaruhi kesejahteraan. Jika kita melihat gambaran yang lebih besar, lingkungan persaingan untuk generasi muda semakin intensif dan kesenjangan semakin lebar. Dengan kata lain, FOMO bukanlah karakteristik yang melekat pada media sosial, tetapi mencerminkan situasi sosial yang lebih luas dan nyata.

Namun, terlalu sering melihat media sosial dapat memperburuk keadaan. Laras mengingatkan bahwa kehidupan di jejaring sosial telah “dikurasi” oleh pengguna dan algoritma yang menyeleksi informasi yang dapat dijangkau pengguna. Informasi yang terlihat hanya bagus untuk membuat orang semakin merasa terlalu "normal", tidak nyaman, lebih buruk, atau menderita.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa media sosial dapat menurunkan harga diri karena dibandingkan dengan cerita atau gambar fantasi. Menurut MHI, pengobatan gangguan jiwa dapat diberikan melalui layanan online atau web. (Red/KP)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Akibat FOMO: Retak Mentalmu, Dek!

Trending Now

Iklan

iklan