(Sumber: Berdikari Online) |
Kini muncul lagi era ”revolusi hijau”, tetapi dalam arti yang sama sekali berbeda, yakni penerapan teknologi dan kegiatan ekonomi/industri yang mendukung transisi dari energi fosil ke energi bersih/rendah karbon atau energi baru dan terbarukan. Dalam bidang transportasi, revolusi hijau ini menstimulasi revolusi kendaraan listrik dan sel bahan bakar hidrogen.
Seperti diketahui, penggunaan energi fosil, terutama minyak bumi dan batubara, menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang memicu pemanasan global. Selanjutnya, pemanasan global memicu perubahan iklim dengan segala dampaknya, termasuk meningkatnya frekuensi banjir ekstrem dan kekeringan yang juga ekstrem.
GRK sebagian besar dihasilkan di daerah perkotaan akibat kegiatan industri, transportasi berbasis bahan bakar fosil, pembangkitan listrik batubara, dan lainnya. Namun, jangan salah, sumber GRK juga ada di daerah perdesaan. Hutan-hutan gundul dan ternak besar (ruminansia) menjadi sumber GRK.
Deforestasi dan degradasi lahan melepas sejumlah besar GRK ke udara. Ternak-ternak besar, seperti sapi dan kerbau, bahkan melepas GRK dari dalam lambungnya. Peternakan menyumbang sekitar 14,6 persen GRK global. Di sektor peternakan, sapi menjadi sumber GRK utama.
Menurut data BPS, populasi sapi di Indonesia mencapai 19,2 juta ekor. Jika satu ekor sapi melepas 45,5 kilogram gas metana per tahun, maka jumlah total gas metana dari ternak sapi saja sekitar 874.000 ton per tahun atau setara 21,85 juta ton CO2. Gas metana memiliki efek memanaskan atmosfer 28 kali lipat dibandingkan dengan karbon dioksida.
Pada dekade 1980-an di Pulau Jawa masih cukup banyak desa yang ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi. Saat ini lahan pertanian sudah menyempit, baik karena faktor pertumbuhan penduduk maupun akibat ekspansi sektor properti/industri/perkotaan ke daerah perdesaan. Demikian pula, hutan di Jawa semakin terjepit dan menyempit. Semakin banyak bermunculan urban heat islands.
Fenomena pemanasan global telah berlangsung di sebagian besar wilayah Indonesia. Sejumlah wilayah mengalami tren kenaikan suhu permukaan lebih tinggi. Untuk Pulau Jawa bagian utara, misalnya, berdasar informasi BMKG, tren kenaikan suhu permukaan lebih tinggi dari 0,3 derajat celsius per dekade. Sementara untuk Jakarta dan sekitarnya, kenaikan suhu mencapai 0,4 derajat celsius per dasawarsa.
Tantangan dan Strategi
Paling lambat 2060 dan diharapkan jauh lebih cepat, semua kebutuhan listrik perdesaan di Indonesia akan dipasok dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT), seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga biomassa, bahkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Pada tahun itu juga atau bahkan sebelumnya, semua desa sudah terjangkau oleh layanan internet dan jaringan kabel serat optik. Semua transportasi perdesaan akan menggunakan EBT, terutama kendaraan listrik. Kalaupun masih ada yang menggunakan bahan bakar, bentuknya berupa biogas, biosolar, atau hidrogen yang kemungkinan telah dikembangkan pada tahun tersebut.
Peternakan menyumbang sekitar 14,6 persen GRK global. Di sektor peternakan, sapi menjadi sumber GRK utama.
Tantangan utama, khususnya untuk desa-desa di Pulau Jawa dan sebagian wilayah lain yang berpenduduk padat, adalah makin sempitnya lahan pertanian di tengah pesatnya laju perkembangan teknologi digital yang diimplementasikan sebagai Pertanian 4.0 dan kuatnya mainstreaming dan transisi menuju ekonomi hijau.
Pembangunan perdesaan harus mampu beradaptasi di antara ”revolusi digital” dan ”revolusi industri hijau”.
Untuk desa-desa yang petaninya rerata berlahan kecil/gurem, strategi yang realistis adalah dengan menghimpun para petani berlahan kecil/gurem ke dalam koperasi-koperasi. Manfaatnya cukup banyak.
Pertama, mempermudah fasilitasi oleh pemerintah, termasuk dengan implementasi pertanian presisi/digital. Dengan pertanian presisi, penggunaan input menjadi efisien. Jika para petani berlahan kecil tidak berhimpun dalam koperasi, para fasilitator, khususnya pemerintah, akan kesulitan melaksanakan tugasnya dalam memfasilitasi para petani.
Kedua, untuk efisiensi, sebab jika lahan kecil dikelola sendiri-sendiri, harga input per unit menjadi lebih mahal. Demikian pula pemasaran (konvensional/digital), jika dilakukan secara kolektif, akan lebih efektif dan efisien.
Ketiga, penerapan ekonomi sirkular antara lain melalui praktik-praktik integrated farming berbasis pupuk organik dapat dilakukan secara kolektif dan efisien. Secara prinsip dalam ekonomi sirkular tidak ada yang namanya limbah karena buangan pada satu aktivitas produktif dipergunakan lagi sebagai input pada aktivitas produktif lainnya.
Keempat, membudidayakan komoditas bernilai ekonomi tinggi, seperti padi, sayur-sayuran dan buah-buahan organik, termasuk melalui digital vertical farming secara kolektif.
Dalam hal ini fasilitasi dari pemerintah daerah, pengusaha supermarket, industri, eksportir, dan LSM/filantropi sangat dibutuhkan untuk memberdayakan sekaligus mengembangkan koperasi-koperasi perdesaan tersebut.
Kelima, koperasi desa bersama-sama BUM-Desa mengembangkan kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan, seperti wisata perdesaan, agribisnis/agroindustri, bisnis isi ulang kendaraan listrik, serta layanan jasa keuangan perdesaan. Bahkan dimungkinkan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, PLTS, dan PLTB skala kecil.
Tantangan berikutnya adalah alih fungsi lahan pertanian yang terus berlangsung hingga saat ini. Hal ini menjadi ancaman meningkatnya tekanan deforestasi atau devegetasi yang meningkatkan potensi GRK dan pemanasan lokal/global.
Strategi untuk mengatasi fenomena deforestasi/devegetasi tersebut antara lain dengan membangun lebih banyak hutan-hutan desa (termasuk hutan tanaman industri skala mini/kecil) dan embung-embung desa. Ini perlu didukung dengan penerbitan peraturan desa tentang tata ruang desa.
Strategi untuk mengatasi fenomena deforestasi/devegetasi tersebut antara lain dengan membangun lebih banyak hutan-hutan desa (termasuk hutan tanaman industri skala mini/kecil) dan embung-embung desa.
Tantangan lain ialah limbah peternakan yang saat ini masih menjadi sumber emisi GRK di daerah perdesaan, terutama di desa-desa sentra peternakan. Untuk mengurangi potensi GRK dari ternak ruminansia adalah dengan pembibitan, genetika, dan pemberian nutrisi yang lebih berkualitas. Pakan ternak rendah emisi ini misalnya adalah pakan berbasis rumput laut dan pelet nano (bubuk) biochar.
Selain itu, pakan hijauan dari tanaman kacang-kacangan/polong-polongan, seperti gamal, lamtoro, dan kaliandra, yang dapat dikombinasikan dengan rumput atau jerami. Peningkatan praktik-praktik budidaya rendah emisi tentu saja membutuhkan fasilitasi yang berupa pelatihan dari dinas terkait di tingkat kabupaten.
Tahapan Transformasi
Semua langkah di atas adalah beberapa tantangan dan strategi untuk mewujudkan desa-desa maju/mandiri, cerdas, dan berkelanjutan paling lambat tahun 2060. Penahapan transformasi menuju desa seperti yang dikehendaki perlu dilakukan, yakni dengan menetapkan target-target pada 2030 sejalan dengan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam hal ini tahapan net zero emission direalisasikan terlebih dulu sebelum tahapan zero emission.
Namun, sekali lagi, tantangannya bukan hanya menurunkan emisi dan ”mendigitalisasi” daerah perdesaan. Yang lebih fundamental adalah memakmurkan para petani, terutama yang berlahan kecil dan mereka yang terpaksa keluar dari lahan pertaniannya karena tak lagi berlahan. Bagi daerah perdesaan, khususnya desa-desa basis petani miskin, digitalisasi dan emisi nol akan bermakna jika kemiskinan juga ikut tereliminasi.