Sumber: Media Indonesia |
Proses partisipasi bagi sebagian kalangan rasanya belum selesai dan masih perlu waktu panjang, tapi keputusan sudah diambil. Dalam pengesahan berbagai undang-undang beberapa tahun terakhir ini terasa ada semacam kredo baru bahwa di mana ada penolakan, di situ ada pengesahan.
Bagaimana sebenarnya proses partisipasi publik yang baik? Tentu jawabannya akan cukup beragam dan berpotensi memancing perdebatan panjang. Namun, Webler dan Tuler (2006) merangkum konsensus tentang proses partisipasi yang baik dari berbagai kasus yang telah mereka teliti. Pertama-tama, menurut mereka, proses itu menjangkau semua pemangku kepentingan. Kedua, informasi dibagikan secara terbuka dan tersedia. Ketiga, melibatkan masyarakat dalam interaksi yang bermakna. Keempat, berupaya untuk memuaskan berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam hal jangkauan, proses partisipasi publik dalam pembahasan RUU Kesehatan cukup luas, tapi tidak dalam. Salah satu organisasi yang terlibat mendukung pengesahan rancangan undang-undang itu adalah Forum Dokter Susah Praktik (FDSP), yang tergabung dalam 23 organisasi kemasyarakatan, dan Forum Komunikasi Tenaga Kesehatan.
Dilibatkannya forum seperti FDSP ini merupakan pertanda jangkauan pemangku kepentingan cukup luas. Meski demikian, tentu aspirasi organisasi profesi seperti IDI, yang punya sejarah panjang di bidang kesehatan, patut pula untuk didengarkan secara saksama dan mendalam. Tanpa mendalami apa yang menjadi aspirasi organisasi profesi seperti IDI dengan baik, pemerintah terkesan sibuk merangkul semua tapi cenderung lupa dengan yang lama.
Naskah yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui kanal Partisipasi Sehat adalah naskah per Februari 2023. Di sisi lain, masyarakat juga mempertanyakan dokumen atau draf RUU yang akhirnya disahkan menjadi undang-undang itu. Sebab, hingga disahkan, draf resmi produk hukum terbaru itu atau versi pemutakhiran rancangan belum tersedia untuk dilihat. Menurut Iqbal Mochtar, pengurus Pengurus Besar IDI, hingga 12 Juli lalu mereka belum mendapat draf resmi yang berlaku.
Jumlah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembahasan RUU Kesehatan boleh dikatakan cukup tinggi, tapi belum menciptakan interaksi yang bermakna. Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menyatakan bahwa Kementerian telah menyelenggarakan kegiatan partisipasi publik via daring dan luring di berbagai daerah sebanyak lebih dari 115 kali dan dihadiri total 72 ribu peserta. Selain menggelar sosialisasi dan dengar pendapat publik, Kementerian berusaha menyediakan tempat bagi partisipasi daring dari masyarakat melalui kanal Partisipasi Sehat.
Selain berhak didengarkan, masyarakat berhak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan diberikan penjelasan mengapa pendapatnya diterima atau ditolak. Sebab, hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban merupakan tiga prasyarat partisipasi bermakna menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XIX/2021.
Pertanyaan selanjutnya, apakah berbagai pihak yang berkepentingan puas atas proses partisipasi tersebut? FDSP dan organisasi sejenis yang tergabung dalam 23 organisasi kemasyarakatan serta Forum Komunikasi Tenaga Kesehatan kemungkinan besar akan menyatakan puas. Namun organisasi profesi seperti IDI dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan tentu belum puas. Proses partisipasi sejatinya memang tidak ditujukan untuk memuaskan semua pihak, melainkan berupaya memuaskan semua pihak dan memberi ruang bagi hikmat untuk mengambil alih.
Pada akhirnya, partisipasi yang bermakna itu bukan sekadar soal tempat dan tingkat, tapi juga hikmat. Tanpa hikmat, kegiatan partisipasi yang digelar di berbagai tempat dan dengan tingkat keterlibatan peserta yang hebat hanya akan berakhir sebagai partisipasi nirmakna.