(Sumber: Crimethinc) |
Demonstan “Yellow Vest” atau rompi kuning nampaknya menjadi oposisi aktif yang terakomodasi dari jejaring kelompok antarkota di seluruh Prancis. Sejak naiknya Emmanuel Macron sebagai Perdana Menteri, demonstrasi skala besar sering terjadi. Mereka menuntut pemerintahan Macron transparan dan tidak menjebak kelas bawah sebagai korban kebijakan.
Semua menjadi heran sejak penembakan Nahel, publik Perancis semakin tidak percaya padanya, padahal silam dia bahkan dianggap mercusuar baru bagi negeri wine itu. Dia bisa dengan mudah mengalahkan Marine Le Pen. Dimana, Marine Le Pen dianggap seorang garis keras nasionalis, ialah pendukung proteksionisme ekonomi dan perlindungan perbatasan. Ia menyerukan Prancis untuk keluar dari zona Uni Eropa melalui referendum Frexit (France Exit), seperti halnya Brexit.
Sebagian besar rakyat menganggapnya sebagai xenofobia, anti-imigran, anti-muslim, dan anti-semit. Hal ini disebabkan pernyataannya untuk menutup masjid-masjid dan mencabut kewarganegaraan beberapa ulama/imam. Pada April lalu dalam sebuah wawancara dengan media lokal, ia menyangkal peristiwa holocaust dan yakin bahwa Prancis tidak bertanggung jawab atas pendeportasian 76.000 Yahudi dari Prancis ke kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz selama perang dunia kedua.
Identitas Nasional?
Padahal, kita masih ingat akan bertekadnya yang ingin mewujudkan Prancis yang modern dan multikultural, menempatkan dirinya sebagai sosok optimistis dan progresif, penawar dari visi suram dan reaksioner Front Nasional Le Pen. Ia ingin meningkatkan peran Uni Eropa dalam ekonomi, pertahanan, dan imigrasi. Berseberangan dengan Le Pen, dalam debat dan dialog yang diadakan media lokal, seperti RTL, France 2, dan TF1, ia menyatakan sikapnya terhadap Islam dan muslim, bahwa ia tidak kontra terhadap Islam sebagai sebuah agama. Baginya, tidak ada agama yang menjadi masalah di Prancis. Republik yang mengedepankan sekularisme (laicite) wajib bersikap netral dan berkewajiban memberikan kebebasan bagi rakyat untuk ‘mempraktikkan agama dan keyakinannya dengan harga diri’.
Di sisi lain, ia pun melihat bahwa ada kebutuhan mendesak untuk membantu beberapa muslim yang kontra dengan nilai-nilai laicite. Untuk itu, ia ingin memfasilitasi mereka merestrukturisasi apa yang disebut muslim Prancis dan bagaimana mereka berintegrasi dengan nilai-nilai laicite tersebut.
Sama halnya dengan Uni Eropa, dalam konteks hubungan bilateral dengan Indonesia, Macron merupakan apa yang saya sebut seperti vitamin, yang berfungsi menutrisi dan menyehatkan hubungan bilateral kedua negara yang telah terbina sejak lama. Platform politiknya sejalan dengan kebijakan dan politik luar negeri Indonesia.
Identitas nasional bangsa Perancis sejauh ini tecermin dari semboyan ”Liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Ketiga nilai yang tercantum dalam konstitusi ini menjadi pandangan hidup di tengah komunitas Prancis yang beragam, baik dari segi etnis, agama, maupun tingkat sosial-ekonomi. Dari sekitar 67 juta penduduk Perancis, jumlah etnis minoritas mencapai 30 persen, sebagian besar berasal dari Afrika Utara dan Asia. Sementara komposisi agama: 63 persen Katolik, 4 persen Kristen, 9 persen Islam, dan agama lain rata-rata di bawah 1 persen (2015).
Sebelumnya, sempat muncul ketakutan apabila Le Pen terpilih sebagai presiden, ketiga nilai luhur sebagai identitas nasional akan tergerus, mengalami reinterpretasi atau bahkan perubahan fundamental. Hal ini disebabkan selama kampanye Le Pen senantiasa mendengungkan sikap anti-imigran dan anti-Islam. Namun, dengan kemenangan Macron, Perancis akan lebih terbuka terhadap kedatangan kaum imigran dari berbagai bangsa dan agama meskipun aspek keamanan tetap menjadi prioritas.
Dalam pidato kemenangannya silam, Macron secara tegas mengajak rakyat Prancis untuk menghormati demokrasi, pluralisme, dan tak kalah pentingnya: moral politik. Kemenangan Macron juga akan mencegah berkembangnya nasionalisme baru yang berbasis kesamaan etnisitas, rasial, dan keturunan. Nasionalisme demikian bersifat rasis dan diskriminatif yang jelas ditentang Macron.
Gagasan nasionalisme baru yang diangkat Le Pen selama musim kampanye muncul sebagai antitesis terhadap membanjirnya kaum imigran dan maraknya serangan terorisme di Perancis dan Eropa. Di sini gagasan nasionalisme baru jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini bangsa Prancis. Bagi Macron, nasionalisme Perancis harus menghargai kebebasan, toleransi, persamaan, dan hak-hak individu.
Dalam Wajah Nahel
Kini kerusuhan itu seperti virus yang menjalar memenuhi geram dan perasaan kelas bawah Perancis. Demonstrasi memang bagian dari budaya ekspresi mengenai suka atau tidak pada kebijakan dibuat. Naasnya, kematian Nahel di saat Eropa bagian timur masih membara akibat invasi Rusia ke Ukraina tak kunjung menyadarkan Prancis bahwa hal itu berpotensi keropos dari dalam.
Keadilan bagi Nahel menguji Macron peka atau tidak, masalah imigran muslim sangat sensitif yang telah berlangsung selama lebih tiga dekade di Perancis. Norma Laicite yang ditekankan oleh Perancis memunculkan Gerakan massif dari bawah. Sekalipun saat pemilu suara imigran muslim tadi sangat berharga. Wajar jika mereka berhasil memperhalus norma laicite tadi, maka simpati muslim kemungkinan dapat bermuara pada suara pemlih.
Kita bisa belajar pada peristiwa Nahel, di Indonesia masalah ketidakadilan bagai mesin tua diperbaiki salah, dibiarkan sayang. Semua proses keadilan harusnya menimbulkan solidaritas dan bukan parsial. Kita sudah melewati kasus besar seperti dalam kasus Sambo lalu. Publik sangat tertarik atas kasus itu tetapi semua tetap berpasrah pada penegak hukum. Kesamaan kita dengan masa demonstrasi di Perancis yakni kekuatan atas simulasi “viral”.
Saat tuntutan diarahkan kepada kepala negara atau pejabat hukum, masyarakat selalu menyimpan perasaan "itu tak akan berhasil", kenapa demikian? apakah memang negara hanya mau mendengar suaranya sendiri dan melupakan keluh itu. Negara yang bertumpu pada kelihaiannya mengelola teras atas tidak akan berhasil mengambil hati rakyatnya, situasi itu hanya akan menjadi bola salju bagi kepemimpinan kelak.
Di sisi lain, publik kita dan mereka sebenarnya sangat reaktif dalam mengombinasikan kritik dan gerakan sosial. Bedanya kita tidak memiliki kekuatan dan daya tahan untuk melakukan penuntutan yang konsisten. Alasan di atas bukan mendorong pada chaos dan anarkisme yang menolak kedaulatan negara, melainkan substansi tuntutan apapun tidak akan pernah sampai jika sebatas momentumesasi.
Ada banyak anggapan para imigran di Prancis dianggap sebelah mata,, nyatanya dalam frame keadilan mereka sama saja. Lapisan bawah adalah jerami yang mudah dibakar dan terbakar amarahnya. Kita memiliki modal itu, tetapi kita masih bisa tabayyun sebab dengan jumlah etnis dan suku bahasa seperti Indonesia, gerakan taktis apapun sangat rawan berefek negatif. Ikatan emosisonal kita kuat namun sendi komunikasi kita rapuh dari dalam.
“Kerusuhan adalah suara dari mereka yang tidak didengar.” Pernyataan yang berasal dari aktivis antirasisme dan pejuang hak-hak sipil asal Amerika Serikat, Martin Luther King, Jr., dalam sebuah wawancara pada 1966 lalu. Apakah pernyataan tersebut membuktikan bahwa ia mendukung kekerasan, padahal selama ini dikenal dengan prinsip non-violence?
Jika kita lihat secara utuh, jawabannya adalah tidak. Pernyataan di atas sekadar kenyataan yang sedang terjadi. Menurutnya, segregasi dan kesenjangan ekonomi antara kaum kulit hitam atau imigran dengan putih semakin parah dan itu membuat orang tidak sabar. Membuat kerusuhan, bagi orang-orang yang terpuruk, dimaknai sebagai cara agar publik sadar akan eksistensi mereka sebagaimana Nahel dan Imigran lainnya.
Pada dasarnya, saya tidak menyetujui adanya aksi kekerasan, dan tentu tidak mendorong orang untuk melakukan tindakan melawan hukum. Tapi jika diamati secara objektif, pengaruh dari protes tersebut memengaruhi individu lainnya dalam isu serupa. Kita bohong jika bilang protes dengan kekerasan itu tidak berdampak pada perubahan kebijakan, itu keliru! Selamat Jalan Nahel.
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)