Iklan

Sastra (dan) Pilpres

narran
Minggu, 30 Juli 2023 | Juli 30, 2023 WIB Last Updated 2023-07-30T12:41:17Z

Sastra, Pilpres,
Gaming Trend
NARRAN.ID, OPINI - 
Ketika pasangan bakal calon presiden 2024 kian getol memenuhi ruang-ruang publik, saya teringat dokter spesialis kanker Siddhartha Mukherjee. Dia menulis, ”Menamai suatu penyakit adalah menggambarkan kondisi penderitaan tertentu—tindakan kesastraan sebelum tindakan medis. Seorang pasien, lama sebelum ia menjadi subyek pengawasan medis, pertama-tama adalah pendongeng, narator penderitaan—pengembara yang telah mengunjungi kerajaan sakit. Maka, untuk meredakan sakit, seseorang mesti mulai dengan bercerita.”

Begitu seseorang, begitu bangsa-bangsa. Jika ingin sembuh, waras, bangsa kita mesti mulai dengan bercerita. Sumbernya beragam cerita rakyat, bukan karangan segelintir elite. Dan jika ingin memimpin bangsa, seseorang lebih dulu mestilah pengembara yang telah mengunjungi kerajaan sakit bangsanya. Pengalaman ini modal utama pencerita mumpuni bangsa dan cerita bersambungnya paduan suara ratusan juta warga.

Namun, setelah era Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, belum terendus kedekatan pemimpin Indonesia dengan sastra. Setelah era mereka, pemimpin-pemimpin hanya suka (wagu) berpantun saat kampanye.

Padahal, pada Kongres Pemoeda II, 27-28 Oktober 1928, ketika ”tanah yang satu, Tanah Indonesia”, dan bangsa yang satu, bangsa Indonesia” belum ada, 750 pemuda mengikrarkan apa yang kemudian disebut Sumpah Pemuda. Sumpah rumusan Mohammad Yamin, yang sejak itu membangkitkan imaji satu Tanah Air dan satu bangsa dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, itu oleh Sutardji Calzoum Bachri disebut puisi. Sastra, artinya, terus signifikan dalam menenun (ke)Indonesia(an).

Sejak umur belasan, Soekarno menyadari itu dan telah belajar menjalankannya. Galib jika di dua tempat pengasingannya, Ende (1934-1938) dan Bengkulu (1938-1942), misalnya, selain terus berpuisi, ia menggelorakan patriotisme dan nasionalisme dengan mendirikan Kelimutu dan Monte Carlo. Pentas-pentas dua grup sandiwara ini memainkan drama-drama yang ditulisnya, seperti Chungking-Djakarta, Raibow (Poetri Kentjana Boelan), Koetkoetbi, dan Si Ketjil (Klein duimpje). Dan dalam setiap pentas, ia pun pemimpin produksi, sutradara, dan penata artistik. Menjalankan peran-peran itu sekaligus tidaklah mudah. Namun, ia mengembannya dengan tanggung jawab, cakap, dan penuh gairah sebagaimana setiap kali ia berpidato di depan khalayak.

Pidato-pidatonya membetot dengan permainan musik verbal yang dianggit dengan peranti-peranti sastra. Pun kerap mengutip karya-karya sastra dan dari bahasa aslinya. Pidato-pidatonya pun jadi gado-gado, bauran kelisanan dan keberaksaraan, bauran banyak bahasa.

Hatta tak pernah bermain sandiwara. Ia pun tak suka membius ribuan massa dengan pidato. Namun, ketika ia siswa Prins Hendrik Handels School di Batavia, pada 1920, majalah Jong Sumatera menerbitkan Namaku Hindania. Protagonis cerpen pertamanya ini Hindania (Hindia Belanda), janda yang menyesali perkawinannya dengan Wolandia (Negara Belanda) karena suami barunya itu menguras hartanya.

Hatta pun acap mengutip karya-karya sastra. Dan tak jarang dilakukannya dengan mempertaruhkan minimal hidup-matinya. Contohnya pleidoinya di Pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928. Pleidoi yang ditulis dalam bui, yang jika dibaca penuh butuh waktu tiga jam, yang membalik posisinya dari tertuduh jadi penuduh, ini dipungkas dengan kutipan puisi penyair Belgia Rene de Clar: Hanya ada satu tanah yang patut disebut Tanah Air/Ia adalah hasil usaha, dan usaha itu usahaku sendiri.

Meski Pemerintah Hindia Belanda menyensor ketat, Ïndonesia Merdeka bisa lolos, menyebar, dan kian mengobarkan perjuangan anti-penjajahan. Bahkan pleidoi itu diakui inspirasitor Indonesia Menggugat, pleidoi Bung Karno di pengadilan Bandung, yang pula membalik posisinya dari tertuduh jadi penuduh.

Sjahrir tak pernah membuat pleidoi. Ia pun tak menulis puisi, cerpen, atau drama. Namun, ia pemimpin paling menonjol dalam keluasan dan kedalaman membaca sastra dan kritik sastra. Sejumlah esainya menampakkan buah close reading. Sebagian besar surat-suratnya untuk istrinya yang ia tulis ketika di bui di Cipinang, serta diasingkan di Boven Digoel dan Banda Neira, patut dikata esai-esai sastra. Selain dibangun dengan prinsip dan keterampilan kesastraan, sebagian esai-esai itu membahas kondisi kesusastraan dan karya sastra.

Pada surat 20 April 1934, misalnya, Sjahrir mengabari istrinya bahwa ia telah menyurati adiknya yang di Belanda. Ia menasihatinya agar memperhatikan kehidupan budaya di Eropa, terutama kesusastraannya. ”Selain ia akan mendapat gambaran yang lebih baik ihwal kehidupan dan dunia pikiran Barat, pun dengan begitu matanya akan terbuka terhadap masalah-masalah kehidupan yang ada di sana; terhadap keaneka-ragaman dan kemuskilan kehidupan di sana. Juga dengan begitu ia akan belajar kenal dengan masalah-masalah sosial dan politik dengan cara yang lebih gampang dan lebih menarik.”

Sjahrir pun membahas ”kesusastraan kita” yang menurut dia ”Belum ada orang intelektual yang menulis dalam arti sebenarnya di negara kita ini. Tak ada kesusastraan, baik dalam bahasa Melayu atau dalam salah satu bahasa daerah yang banyak itu. Tentu ada orang menulis, malahan tak sedikit jumlahnya. Ada suatu lembaga yang bernama Instituut voor de Volkslectuur yang menerbitkan buku-buku untuk rakyat banyak, kebanyakan terjemahan. Ada juga tulisan-tulisan asli, tapi belum bisa dikategorikan sastra .… Di Indonesia --- tentu ada juga beberapa kekecualian --- orang pada umumnya tak tahu tentang adanya kesusastraan Eropa, suatu kesusastraan dunia, jadi orang pun tidak mempelajarinya.”

Apa yang diyakini dan dijalankan para pendiri bangsa kita puluhan tahun kemudian ditulis Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra asal Mexico yang pernah menjadi duta besar negaranya, ”Hampir tak ada pemikir besar yang tak mengapresiasi puisi, baik ia menulis puisi atau tidak, baik tulisan-tulisannya dibungai dan diperindah dengan sanjak atau peribahasa atau pepatah yang dikutip dari para penyair maupun tidak. Dari St Thomas sampai ke Machiavelli, dari Bacon sampai ke Scopenhauer, dari Montaigne sampai Karl Marx.”

Saya tidak tahu apakah yang bersaing dalam Pilpres 2024 mengetahui atau tidak perkara seperti itu. Saya hanya tak menyua satu pun jejak mereka yang menunjukkan kedekatan dengan sastra.

Jika ada yang berseru bahwa yang penting bukan hubungan dengan sastra, tapi mampu atau tidak membuat rakyat sejahtera, bolehlah kita bertanya, ”Adakah kesejahteraan di luar cerita? Adakah makna pangan, sandang, dan papan di luar kata?”

Negara-negara kaya, maju, dan peradabannya menjadi acuan semua menjadi begitu karena kaya dalam kemampuannya bercerita. Dan Subagio Sastrowardoyo menulis: Asal mula adalah kata/Jagad tersusun dari kata/Di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi.


Penulis:
Hikmat Gumelar
Penyair yang sekarang Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor
(Tulisan ini dimuat di Kompas.id edisi 30 Juli 2023)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sastra (dan) Pilpres

Trending Now

Iklan

iklan