Milwaukee |
Kebenaran pendapat ini patut ditelusuri karena keadaan sekarang seolah-olah mengonfirmasikan bahwa sistem demokrasi yang dipilih ternyata gagal menjalankan fungsinya sebagai penyelamat di tengah ”kebobrokan” akibat praktik korupsi yang begitu masif.
Keadaan negara kian melenceng dari cita-cita pendiri bangsa setelah negara dikendalikan elite politik yang hanya mengurus kepentingan sendiri. Sistem politik yang telanjur dikuasai partai politik dan penegakan hukum yang lemah menjadi catatan bagi kegagalan sistem demokrasi yang dibangun.
Demokrasi yang digembar- gemborkan seakan-akan menemukan aktualitasnya yang pol melalui pemilihan pejabat publik secara langsung oleh rakyat. Penilaian ini ditengarai sebagai akibat kegagalan institusi demokrasi, terutama partai politik, menyemaikan pendidikan politik yang mumpuni bagi publik.
Demokrasi yang terwujud dalam bentuk pemilihan umum (presiden-wakil presiden, legislatif, dan kepala daerah) akhirnya hanya aksesori tanpa makna. Bahkan, ajang pemilu justru menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan karena sarat dengan politik transaksi.
Dana politik
Pilihan menerapkan demokrasi sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dan bernegara ternyata justru disusupi kepentingan antidemokrasi (baca: korupsi). Di Indonesia, partai politik didesain sebagai satu-satunya aktor dalam sistem demokrasi yang menguasai hampir seluruh lini kekuasaan negara.
Pengisian jabatan publik yang strategis, misalnya, menghendaki adanya mekanisme pengisian melalui jalur partai politik. Bahkan, pengisian jabatan publik seperti komisioner lembaga independen sejenis KPK dilakukan melalui proses politik di DPR yang notabene juga mewakili kepentingan partai-partai politik tertentu.
Maka, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah apabila sebuah negara dinilai semakin korup, bisa dipastikan partai politik di negara itu sangat korup. Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang diterbitkan Transparency International dalam kurun tahun 2004-2010 bahkan menempatkan partai politik sebagai institusi paling korup.
Fakta bahwa partai politik telah terjangkit virus korupsi terikat kepentingan politik dan mengabaikan aspirasi rakyat menggambarkan tidak berjalannya fungsi partai politik sebagai instrumen demokrasi (Kompas, 22/6).
Episentrum korupsi yang bersumber dari partai politik pada prinsipnya terletak dalam pengelolaan dana politik yang meliputi pendanaan partai politik dan kampanye pemilu.
Revisi terhadap UU Partai Politik yang memperbesar jumlah sumbangan badan usaha dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar justru menjadikan partai politik dikuasai oleh para pemodal.
Selain itu, hal yang paling riskan adalah ketiadaan ketentuan yang mengatur batasan pendanaan kampanye sehingga sebagian besar peserta pemilu akhirnya dengan segala cara mengumpulkan dana kampanye sebanyak-banyaknya. Keadaan ini semakin diperparah oleh begitu rendahnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana kampanye. Akibatnya, pejabat publik tersandera sejak proses pemilihannya.
Keterpilihan menduduki jabatan publik akhirnya disalahgunakan hanya untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan. Tak dapat dihindari bahwa praktik korupsi menjadi jalan pintas untuk memuluskan pengembalian biaya politik tersebut.
Modusnya sangat beragam, mulai dari alokasi anggaran yang tidak efisien hingga kongkalikong konsesi eksploitasi sumber daya alam. Hasilnya tidak hanya masuk ke kantong pribadi, tetapi juga masuk ke dalam pundi-pundi partai politik.
Dana pemilu berikutnya
Bagi partai politik, hal ini tentu akan sangat menguntungkan secara finansial. Isi pundi-pundi itu akan digunakan untuk kepentingan pendanaan pemilu pada masa berikutnya. Modus kotor semacam inilah yang kemudian menjadikan partai politik sebagai sumber dari segala sumber kekacauan saat ini.
Oleh modus semacam itu, pemodal akan diuntungkan melalui rekayasa pemenangan sejumlah proyek yang dibiayai oleh pemerintah dan penerbitan konsesi bagi eksploitasi sumber daya alam.
Begitulah pola perampokan secara masif terhadap negara yang dilakukan partai politik. Tidaklah aneh apabila begitu banyak kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, sebut saja dalam kasus korupsi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan kasus korupsi pembangunan wisma atlet oleh Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Partai politik seyogianya memegang peran sangat penting dalam proses demokratisasi. Partai politik mestinya berperan esensial memberantas korupsi. Kita tentu tidak ingin partai politik justru menjadi ”sarang” bagi para bandit, para penjahat, para durjana, para begajul.
Menjadi keharusan saat ini: partai politik melakukan pembenahan internal serta memperkuat regulasi, terutama menyangkut pengaturan dan pembatasan dana politik.
Jika tidak melakukan hal itu, partai politik justru akan bermetamorfosis menjadi institusi para bandit demokrasi, para durjana demokrasi.
Reza Syawawi
(Peneliti Undang-undang dan Kebijakan Transparency International Indonesia)