Iklan

Belajar Strategi Hilirisasi dari Negara Maju

narran
Senin, 28 Agustus 2023 | Agustus 28, 2023 WIB Last Updated 2023-09-04T03:34:37Z

ekonomi, SDA, nikel
Liputan6.com
NARRAN.ID, ANALISIS - Penghiliran industri membutuhkan infrastruktur dan strategi yang tepat. Apa pengalaman Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina? Kementerian Perindustrian terus meningkatkan kinerja sektor industri manufaktur melalui penghiliran atau hilirisasi industri sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan) di Johannesburg, Afrika Selatan, pekan lalu, Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga menegaskan bahwa penghiliran industri setiap negara tak boleh dihalang-halangi dan diskriminasi perdagangan harus ditolak.

Penghiliran industri itu membutuhkan strategi yang tepat. Belajar dari pengalaman negara-negara Asia Timur yang mengalami kemajuan ekonomi secara cepat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pun semestinya berbasis pada ekspor serta investasi, selain menjaga level konsumsi rumah tangga di tingkat moderat.

Jika memakai pendekatan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan (biasa dikenal dengan pendekatan developmental state), industrialisasi berjalan bersamaan dengan penghiliran, ketika pemerintah memberikan dukungan penuh kepada pelaku ekonomi domestik (membatasi investasi asing). Ini termasuk dukungan infrastruktur dan modal (capital), kemudahan akses pembiayaan perbankan (represi finansial), kemudahan regulasi, aneka rupa insentif, serta sokongan pembiayaan penelitian dan pengembangan (pembiayaan bersama) untuk menghasilkan produk-produk baru yang berdaya saing di pasar global (ekspor).

Dengan pendekatan nasionalistisnya, ketiga negara berhasil menjadi pemain global dengan merek yang memiliki kelebihan kompetitif cukup tinggi, seperti Toyota, Mitsubishi, Daihatsu, Sony, Kodak, Samsung, Hyundai, KIA, LG, Acer, TSMC (produsen microchip Taiwan), dan Foxconn (perakit iPhone milik Taiwan). Merek-merek besar ini memiliki puluhan ribu mitra lokal untuk pengadaan suku cadang dan lainnya yang pada akhirnya menggerakkan ekonomi dalam skala masif di negara mereka.

Jika menggunakan perspektif Cina, investasi asing langsung menjadi landasan utama ekonomi dengan membuka banyak kawasan ekonomi khusus untuk investor asing. Berbagai insentif dan kemudahan diberikan, dari pajak yang rendah, aturan gaji yang tidak terlalu tinggi, harga energi yang rendah, perizinan yang cepat, tingkat korupsi yang rendah, hingga penyediaan infrastruktur lengkap. Target utamanya, selain pasar domestik, adalah pasar ekspor.

Sejalan dengan hal itu, Cina kemudian menyiapkan pemain dalam negeri (national champion) secara perlahan tapi pasti. Pelan-pelan pemain domestik Cina bisa bergerak dari imitator menjadi inovator, dari produsen barang murah menjadi produsen barang bermerek, seperti Oppo, Huawei, Xiaomi, mobil listrik BYD, hingga industri keuangan berskala global. Langkah awal Cina adalah mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan subkontraktor yang bermitra dengan investor-investor asing. Perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya berhasil menjadi pemain domestik yang sangat penting dalam menopang daya tawar ekonomi Cina di hadapan perusahaan-perusahaan asing, selain peran penting yang dimainkan badan-badan usaha milik negara.

Dengan kata lain, selain penyiapan infrastruktur dasar dan industri, sebagaimana yang telah dimulai oleh Presiden Jokowi, ada sejumlah hal yang dilakukan negara-negara tersebut. Pertama, empat negara itu bisa melakukan lompatan ekonomi secara cepat dan terukur karena dua sumber pertumbuhan utama ekonomi, yakni ekspor dan investasi.

Ekonomi Indonesia justru meniru model Amerika Serikat pasca-Perang Dunia Kedua, yakni terlalu bertumpu pada “konsumsi” atau konsumerisme saat rantai pasok domestik dan kapasitas produksi dalam negeri belum memiliki landasan yang kuat. Akibatnya, Indonesia terus memanjakan konsumen domestik dengan barang-barang jadi yang justru diimpor dari negara lain agar mendapatkan barang murah. Ini demi hasrat konsumsi masyarakat terpenuhi di satu sisi dan menjaga inflasi tetap rendah di sisi lain. Tapi struktur dan fundamental ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena tidak memiliki basis serta kapasitas produksi yang kuat. Inilah yang sedang dialami Amerika sebagai bentuk kemunduran ekonomi Negeri Abang Sam sejak 1980-an, sebelum Joe Biden menyuarakan kembali isu rantai pasok domestik pada 2020, sebagaimana dicatat Jack Buffington dalam Reinventing the Supply Chain: A 21st Century Covenant with America (2023).

Kedua, ekspor dan investasi (untuk ekspor) harus terintegrasi dengan rantai pasok global. Indonesia tidak bisa memaksakan diri menjadi produsen kendaraan listrik atau penguasa baterai dunia karena Cina, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Eropa, atau Amerika telah lebih dulu memiliki teknologi dan fundamental industri yang jauh lebih siap. Namun Indonesia bisa menjadi penguasa salah satu atau beberapa produk setengah jadi atau produk jadi pelengkap dari kendaraan listrik yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan dukungan bahan baku, sumber daya manusia, dan industri yang tersedia.

Cina menganggap dirinya tidak akan pernah mampu menyaingi Amerika, Jepang, dan Eropa untuk mobil konvensional berbasis bahan bakar minyak (ICE). Dengan demikian, Cina lebih dulu menyiapkan industri dan teknologi untuk menghasilkan segala sesuatu yang terkait dengan kendaraan listrik, yang belum terlalu dikuasai atau dikembangkan oleh negara maju. Tapi Cina tak bisa berdiri sendiri dalam bidang tersebut. Dia bergantung pada Cile dan Australia untuk pasokan litium; pada Kongo untuk kobalt; pada Amerika, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Belanda untuk microchip; serta pada Indonesia, Rusia, dan Australia untuk nikel; dst.

Ketiga, investasi dan ekspor harus ditopang oleh kapasitas industri yang baik dan teknologi mutakhir. Untuk itu, dibutuhkan inovasi secara berkelanjutan. Inovasi lahir dari aktivitas penelitian dan pengembangan yang dibiayai dengan baik. Karena itu, pemerintah Cina, Jepang, Korea, Taiwan, dan Amerika bekerja sama dengan pelaku industri serta perguruan tinggi untuk mendorong sebanyak mungkin kegiatan riset yang melahirkan produk-produk baru atau proses-proses industri baru yang dipatenkan secara baik, yang hasil akhirnya bisa bersaing di pasar domestik maupun global.

Riset tersebut, berkaca pada Cina, Jepang, atau Korea, dibiayai bersama oleh pemerintah dan dunia usaha. Untuk Indonesia, misalnya, pemerintah bisa mendirikan lembaga riset untuk pengembangan komoditas nikel, timah, batu bara, minyak sawit (CPO), dll, atau lembaga riset untuk pengembangan baterai kendaraan listrik.

Keempat, riset yang berkualitas harus didukung sumber daya manusia yang unggul, peneliti-peneliti hebat dari ekosistem perguruan tinggi, dan dunia pendidikan yang hebat pula. Untuk itu, sistem pendidikan harus benar-benar diperkuat agar bisa melahirkan generasi muda pemikir, peneliti, inovator, dan wirausaha. Ini dilengkapi dengan pendidikan berbasis vokasional, yang akan menyediakan tenaga kerja berkualitas dengan hard dan soft skill.

Kelima, aktivitas industri yang ditopang oleh inovasi (penelitian dan pengembang) membutuhkan pembiayaan yang cukup sehingga harus didukung oleh kebijakan keuangan yang mendukung pula. Pemerintah harus mendorong perbankan dan lembaga pembiayaan domestik untuk menunjukkan keberpihakan kepada pelaku industri di sektor-sektor penting (represi finansial) yang didukung oleh aktivitas riset, bukan hanya sektor yang dibiayai APBN, misalnya dengan memberikan kemudahan akses modal dan suku bunga kompetitif yang didukung secara penuh oleh pemerintah (sinkronisasi kebijakan moneter dan industrialisasi penghiliran).

Keenam, harus diklasifikasi secara jelas sektor-sektor mana yang memiliki keunggulan kompetitif, komparatif, dan dominan untuk kemudian dilakukan pendekatan secara sektoral. Misalnya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas CPO. Tapi, sayangnya, Indonesia baru mampu mengekspornya dalam bentuk mentah, sementara CPO bisa menghasilkan banyak produk turunan yang bernilai tambah.

Meskipun mengekspor CPO mentah, Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif karena Indonesia bersama Malaysia menjadi dua negara produsen CPO terbesar di dunia. Tapi, jika Indonesia memiliki fondasi industri yang didukung sumber daya manusia, alokasi fiskal untuk penelitian dan pengembangan, regulasi yang mendukung, serta insentif yang cukup untuk mengolah CPO menjadi berbagai produk turunan yang aman dan berkualitas, Indonesia tidak hanya akan memiliki CPO sebagai sektor dominan dan berkeunggulan komparatif, tapi juga produk turunannya punya keunggulan kompetitif yang bisa bersaing dengan minyak sayur buatan Eropa atau menghasilkan biodiesel yang bisa mempercepat proses transisi energi nasional. [Red]

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Belajar Strategi Hilirisasi dari Negara Maju

Trending Now

Iklan

iklan