Powell River |
Ward Berenschot sendiri merupakan profesor antropologi perbandingan politik di Universiteit van Amsterdam, Belanda, dua kali melakukan studi mendalam tentang Indonesia. Pada 2012, ia meneliti politik kontemporer Indonesia. Bersama Edward Aspinall, profesor politik dari Australian National University, dia menerbitkan hasil studi itu dalam buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia.
Studi kedua mengenai konflik di lahan sawit sejak 2019 yang ia lakukan bersama tiga lembaga penelitian dan lima lembaga swadaya masyarakat. Timnya mendokumentasikan 155 konflik antara masyarakat dan perusahaan di Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, serta Kalimantan Barat. Dalam konflik sawit itu, ada warga yang tewas, 789 orang dipenjara, dan 243 lainnya terluka.
Studi kedua ini diterbitkan menjadi buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia yang diluncurkan di Jakarta pada pertengahan Juli lalu. "Konflik ini muncul karena pemerintah tidak cukup tegas merealisasi hak-hak masyarakat," kata Berenschot kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, di Jakarta, Jumat, 14 Juli lalu.
Peneliti senior Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau KITLV ini menemukan kemiripan masalah konflik sawit itu dengan studi pertamanya, yakni adanya pengaruh hubungan informal yang mendorong penyelesaian konflik agraria melalui barter kepentingan. Politik berbiaya tinggi rupanya telah memunculkan iklim yang mendukung terjadinya perselingkuhan antara politikus dan pengusaha.
Dalam wawancara sekitar satu setengah jam oleh wartawan Tempo, Berenschot menjelaskan dampak konflik sawit bagi masyarakat, pengaruhnya terhadap citra industri sawit di luar negeri, hingga politik Indonesia yang berbiaya tinggi dan oligarki.
Apa temuan menarik dari konflik di lahan sawit ini?
Pertama, konflik ini muncul karena pemerintah tidak cukup tegas merealisasi hak-hak masyarakat. Sangat sering terjadi tanah diambil tanpa persetujuan masyarakat. Banyak konflik, yaitu 57 persen, karena masalah bagi hasil di lahan inti plasma. Sumber masalah lain, 21 persen, perkebunan yang melanggar aturan, yaitu keluar dari batas konsesi.
Mengapa buku baru ini diberi judul "Kehampaan Hak"?
Ada cukup banyak peraturan di Indonesia yang membela kepentingan masyarakat. Ada Undang-Undang Perkebunan yang bilang harus ada pembagian keuntungan, ada inti plasma, dan lain-lain. Ternyata hak ini, walaupun secara resmi ada, isinya kosong atau hampa karena sangat sulit direalisasi. Setelah pelanggaran terjadi, tidak ada mekanisme untuk menghentikan pelanggaran. Kami sering menemukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Masyarakat punya hak protes, hak demonstrasi, tapi di lapangan sering tidak dihormati atau diabaikan.
Dalam konflik itu, mengapa masyarakat kerap menjadi korban kekerasan oleh polisi?
Sering ada semacam kolusi atau hubungan terlalu dekat antara perusahaan sawit dan polisi. Sering kami menemukan, ketika terjadi demonstrasi, perusahaan sawit mendanai polisi untuk melindungi kebunnya. Akibatnya, dalam beberapa kasus polisi tidak netral lagi. Mereka cenderung berpihak kepada perusahaan.
Apa tidak ada penyelesaian?
Ada sejumlah cara penyelesaian. Pertama, pengadilan. Kedua, mekanisme penyelesaian di RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Ketiga, mediasi. Tiga mekanisme ini tidak cukup efektif. Orang tidak mau ke pengadilan karena mahal dan sangat susah. Dalam sembilan kasus yang dimenangi masyarakat, hanya dua putusan hakim Mahkamah Agung yang dieksekusi.
RSPO juga tidak efektif?
Ada dua tantangan di RSPO. Satu, terlalu rumit bagi masyarakat untuk memasukkan komplain mereka ke sana. Kami menemukan 17 dari 150 kasus dibawa ke RSPO. Hasilnya, hanya beberapa yang berhasil. Beberapa tidak diimplementasikan karena tidak ada mekanisme monitoring yang cukup baik.
Apakah penyelesaian melalui mediasi efektif?
Dari 109 kasus yang memakai mediasi, hanya 22 yang berhasil. Memang sering gagal dan tidak efektif. Yang sering terjadi, orang yang memimpin mediasi itu punya hubungan dekat dengan perusahaan, dapat dana kampanye dari perusahaan atau sumbangan. Akibatnya, mereka berpihak, tidak netral. Kadang-kadang perusahaan tidak mau hadir (dalam perundingan) atau tidak mau secara riil mencari solusi, tapi tidak ada sanksi dari pemerintah daerah. Sangat sering kami menemukan warga yang bilang, "Kami ke mana lagi? Sudah kami coba semua. Kirim surat, mediasi, demo, kadang-kadang sidang. Tidak tahu ke mana lagi." Salah satu harapan saya, buku ini mungkin dapat memotivasi orang untuk membangun mekanisme lain yang lebih efektif.
Mengapa perusahaan berani mengabaikan pemerintah daerah?
Ada beberapa alasan. Salah satunya kolusi. Ada beberapa kasus yang sudah dibuktikan di pengadilan. Itu sangat umum. Tapi juga tidak ada sanksi formal yang cukup. Peraturan tidak memberi kesempatan cukup luas bagi pemerintah daerah untuk memberi sanksi kepada perusahaan.
Karena pemerintah tidak punya kewenangan mencabut izin?
Sulit mencabut izin dan mereka takut karena bisa digugat ke pengadilan. Tapi juga karena tidak ada sanksi administratif dan tidak ada mekanisme untuk itu. Itu salah satu kelemahan pemerintah. Kalau sanksi untuk masyarakat, banyak.
Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih bisa diharapkan?
Memang ada skala luas jenis LSM yang terlibat. Ada LSM bodrex atau LSM tidak jujur yang suka campur tangan untuk mendapat keuntungan. Tapi juga ada banyak LSM yang memang cukup baik dan bekerja dengan jujur untuk membantu masyarakat. Tapi hanya sedikit LSM yang berada di daerah konflik. Ada beberapa LBH (lembaga bantuan hukum), tapi kapasitasnya terbatas.
Kami menemukan LSM bisa memainkan peran positif dan berdampak kalau ada hubungan dengan LSM internasional. Dalam beberapa kasus LSM internasional bisa menekan klien perusahaan sawit. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, ada indikasi perusahaan mulai bernegosiasi, memediasi secara jujur, dan muncul kesepakatan yang efektif.
Ada contoh kasus konflik lahan yang bisa selesai?
Ada beberapa kasus sukses dan polanya berbeda. Salah satunya di Sumatera Utara. Salah satu kisah sukses lain adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V melawan komunitas Senama Nenek yang berlangsung 23 tahun.
Apa istimewanya kasus ini?
Itu diselesaikan karena masyarakat cukup pintar, aktif melobi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Joko Widodo. Mereka berhasil menemui Jokowi di lobi salah satu hotel dan menyampaikan apa yang terjadi. Jokowi mengundang mereka ke Istana Negara. Saat itu Jokowi memerintahkan kementerian mengembalikan lahan PTPN V kepada masyarakat. Masyarakat bahkan mendapat sertifikat tanah. Ini kasus unik. Walaupun sukses, hal ini juga menyedihkan karena tidak diselesaikan melalui prosedur hukum. Itu (selesai) karena hubungan informal. Mereka janji ikut kampanye pada saat pemilihan presiden. Ada tukar-menukar kepentingan.
Bagaimana peran pemerintah pusat?
Sekarang ada beberapa upaya pemerintah Jokowi untuk mempercepat resolusi konflik, seperti keputusan presiden soal penyelesaian konflik, upaya memberi sertifikat untuk masyarakat. Itu beberapa upaya yang baik. Tapi, dampaknya, khususnya tim penyelesaian konflik, tidak saya lihat di tingkat bawah.
Apa akar konflik ini sebenarnya?
Salah satu penyebab konflik lahan saat ini dimulai 150 tahun lalu saat pemerintah kolonial Belanda, nenek moyang saya, mengesahkan asas domain di Undang-Undang Pokok Agraria. Asas ini menyatakan bahwa semua lahan yang belum dimiliki secara resmi menjadi domain negara atau lahan negara. Akibatnya, negara menguasai banyak lahan.
Setelah kemerdekaan ada beberapa perubahan, tapi polanya tetap sama. Di Indonesia, 63 persen lahan di bawah negara. Banyak warga tidak mendapat hak milik atas lahannya. Anehnya, walaupun warga sudah lama bekerja di sana dan tidak bisa mendapatkan bukti kepemilikan lahan, tiba-tiba perusahaan datang dan bilang, "Kami dapat konsesi dari negara. Sekarang kami menguasai lahan ini. Anda harus pergi." Pemerintah kolonial menggunakan pasal itu untuk mengeksploitasi Indonesia dan meningkatkan kekayaan Belanda. Yang tragis, warisan buruk kolonial ini tetap berjalan hingga kini.
Konflik ini berdampak terhadap industri sawit?
Perusahaan mengeluarkan banyak uang setoran supaya bisa merasa aman. Itu juga merugikan industri. Tapi kerugian terbesar adalah citra internasional, termasuk di Belanda. "Lebih baik saya membeli produk tanpa sawit karena industrinya tidak sehat." Itu juga menyedihkan karena banyak petani yang punya usaha sawit dan itu sumber kehidupan mereka. Akibat konflik dan juga banyak kabar jelek tentang industri sawit, ada orang yang tidak mau membeli produk turunan sawit lagi, termasuk memunculkan masalah diplomasi antara Uni Eropa dan Indonesia serta Malaysia.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi konflik ini?
Ada beberapa, seperti membentuk badan mediasi, memperkuat monitoring, lebih memberi instrumen sanksi bagi perusahaan yang tidak mau menyelesaikan konflik secara jujur. Tapi, yang terpenting, tapi juga paling sulit, adalah harus ada debat publik tentang ukuran dan kawasan hutan di Indonesia. Sangat aneh bahwa ada 63 persen lahan di bawah negara dan masyarakat tidak bisa memilikinya, tapi negara bisa memberikannya kepada perusahaan. Lahan negara seharusnya tidak begitu besar.
Ada korelasi masalah konflik lahan ini dengan studi sebelumnya?
Salah satu hubungan buku ini dengan Democracy for Sale adalah mengenai ongkos politik dalam kampanye pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum legislatif. Di Democracy for Sale, saya bersama Edward Aspinall memperlihatkan soal kampanye yang sangat mahal, seperti harus cari perahu, cari dukungan, atau tiket dari partai politik; serangan fajar yang sangat umum; juga pembentukan tim sukses yang mahal. Ongkos politik yang begitu tinggi itu yang memunculkan perselingkuhan antara dunia pengusaha dan politikus karena mereka harus mencari modal, harus mencari sumber dana kampanye.
Apa pengaruhnya dalam penyelesaian konflik sawit?
Ada. Alasan kenapa begitu sulit menyelesaikan konflik dan mengapa pemerintah daerah cenderung berpihak kepada perusahaan itu terkait dengan ongkos kampanye dan tantangan orang politik mencari modal untuk mendanai kampanye mereka.
Bagaimana pola politikus mencari dana kampanye?
Macam-macam. Salah satunya yang kadang-kadang terjadi, sebelum pilkada, saat bupati bisa mengeluarkan izin lahan, mereka sering mengeluarkan izin untuk perusahaan. Setelah itu, perusahaan yang dikuasai keluarga bupati ini dijual untuk mendanai kampanye.
Apa dampak situasi ini bagi demokrasi Indonesia?
Salah satu dampaknya menjadi temuan ketiga studi kami, yakni akibat kehampaan hak, kami menemukan strategi masyarakat untuk membela kepentingan mereka. Mereka cenderung ke arah mediasi, negosiasi, tawar-menawar, dan tidak ke arah merealisasi hak-hak mereka melalui prosedur resmi. Ini karena mereka tidak percaya dan melihat tidak ada dampak riil. Akibatnya, semua desa berjuang dan aktif dalam perjuangan mereka sendiri dengan perusahaan di tingkat bawah untuk mendapatkan uang ganti rugi, untuk mendapatkan sekian hektare lahan inti plasma. Tapi tidak banyak warga yang bergabung dalam gerakan besar untuk meminta perubahan peraturan atau undang-undang yang bisa membantu memperkuat hak masyarakat, termasuk mengevaluasi lahan negara yang begitu besar.
Anda menyebut soal klientelisme dalam studi sebelumnya. Ada kaitannya dengan konflik sawit?
Saya kira ada beberapa kaitan. Salah satunya relasi bisnis dan politik. Lainnya adalah akibat informalitas. Cukup mudah untuk mempengaruhi kinerja pemerintah di tingkat bawah. Contohnya, kalau ada perusahaan yang punya kebun melampaui konsesinya, cukup mudah bagi perusahaan untuk meyakinkan pejabat pemerintah daerah agar tidak akan bikin masalah atau tidak mengeceknya dengan baik. Akibat hubungan informal di tingkat bawah ini, penegakan hukum tidak cukup kuat. Masyarakat yang tidak punya hubungan baik, tidak punya modal meyakinkan pejabat negara, kemudian menjadi korban karena hampir selalu perusahaan punya alat lebih kuat untuk mempengaruhi pemerintah.
Apa yang paling mengkhawatirkan dengan situasi semacam ini terhadap demokrasi di Indonesia?
Itu kembali ke Democracy for Sale. Politik informal itu menaikkan ongkos politik. Akibatnya, kita lihat kecenderungan oligarkis di Indonesia. Maksudnya, orang yang muncul dalam politik sebagai calon gubernur, calon presiden, atau calon bupati, sebagian besar orang kaya atau punya beking orang kaya. Karena masyarakat tidak terlalu percaya pada janji dalam kebijakan dan visi-misi lantaran merasa tidak akan dilaksanakan dan lebih baik minta uang (meskipun) sedikit saja. Akibatnya, dana kampanye naik. Itu membuat demokrasi Indonesia lebih mudah dibeli dan orang kaya yang muncul. Orang biasa, contohnya pemimpin buruh atau orang biasa, sulit mendapat tiket dukungan dari partai, sulit mengumpulkan cukup uang untuk serangan fajar yang serius. Saya kira itu hal yang sangat mengkhawatirkan karena akibatnya demokrasi di Indonesia condong pada kepentingan elite ekonomi, yang menang dalam proses demokrasi ini.
Kelompok oligarki sangat diuntungkan dengan situasi ini?
Ini alasan lahan negara masih begitu besar di Indonesia. Mengapa warisan kolonial yang buruk tadi masih ada? Karena itu membantu kepentingan elite ekonomi. Bagi mereka, lebih mudah kalau negara yang mengeluarkan izin lahan daripada membeli lahan dari masyarakat.
Apakah masyarakat sipil bisa melawan praktik buruk ini?
Masih banyak organisasi yang baik dengan ide-ide yang baik, yang kuat. Tapi juga harapan saya adalah di masa depan semua warga negara yang tersentuh oleh konflik akan bergabung dengan organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), untuk memperjuangkan perubahan kebijakan dan undang-undang di tingkat nasional. Supaya ada reforma agraria. Sudah bertahun-tahun orang Indonesia berbicara tentang reforma agraria, tapi tidak jadi karena gerakan masyarakat tidak cukup kuat. Harapan saya, nanti, pada saat pemilihan presiden, isu reforma agraria dibahas oleh calon karena itu topik yang menyentuh kepentingan jutaan warga Indonesia. Dalam pilpres 2019 tidak ada janji apa pun dari calon tentang itu.
Anda pernah membandingkan politik Indonesia dengan politik Argentina dan India. Apa pelajaran pentingnya?
Ada hal yang mirip: membeli suara, cenderung oligarkis, politik informal yang cukup tinggi. Tapi juga ada yang berbeda. Di Argentina dan India, partai politik cenderung sangat kuat. Di sana orang condong memilih partai dibanding di sini yang memilih calon. Dari situ juga muncul lebih ke politik programatis. Partai menjual program kebijakan yang hendak mereka laksanakan saat terpilih. Di Indonesia, justru di tingkat bawah tawaran programatis dari calon tidak terlalu banyak. Mereka cenderung bercanda tentang visi dan misi. Walaupun ada, tidak terlalu penting. Menurut saya, itu topik yang perlu dipantau, apakah memang pola programatis akan muncul, bahwa calon berkampanye tidak hanya dengan tawaran uang atau bagi-bagi keuntungan kepada lembaga sipil, tapi juga dengan tawaran kebijakan dan rencana. Ini sudah kita lihat di beberapa wilayah. Semoga di masa depan ini menjadi lebih umum supaya orang memilih bukan karena mendapat uang, melainkan lantaran suka programnya.