Foto: Istimewa |
Perkataan Rio seoalah memantik ulang kontras posisi sosial antara masyarakat dan kondisi lingkungan yang bisa jadi selalu tidak sejajar dalam teras keadilan ataupun dan kemapanan. Sejauh sejarah dilipat, postur sosial masyarakat Situbondo tidak jauh berubah, peran ulama dan pesantren memikul peran penting dalam pre-kondisi apapun yang terjadi di kabupaten tersebut. Terkadang, politik dan agama terbungkus setali tiga uang demi menciptakan nuansa masyarakat yang religius namun berkemajuan. Kata “patennang” adalah sambungan kata yang berusaha menerjamahkan dari konteks pemahaman agama yang kaku untuk kian lebih cair. Karena tujuan pesan agama adalah memuluskan jalan budi luhur yang terbentuk dalam sebuah tingkah laku damai dan tenang.
Dalam kultur Madura, sikap dan perkataan menjadi satu paket yang penuh resiko. Sikap bisa salah tetapi mudah luruh jika kata-katanya sopan begitupun sebaliknya. Dua etiket tersebut tidak jarang pula menjadi batu sandungan akibat maraknya desakan ataupun kondisi yang mengharuskan kedua perilaku sikap dan perkataan tidak sejalan.
Patennang menjadi penjeda dari tindakan berlebihan dan keraguan seseorang dalam menentukan sikap yang baik dan perkataan yang pantas. Bisa jadi Rio, sedang mengajak “tabayyun berjemaah” tentang perlunya masyarakat Situbondo berpikir waras dalam ruas iklim politik nasional dan lokal yang menyeret alam wacana dan obrolan masyarakat yang setiap tahun pemilu, mereka hanya bisa menyumbang satu hak suara sah-nya, tidak lebih!
Praktik sikap“patennang” sejalan dengan kebutuhan masyarakat kita hari ini. Sejak media sosial tumbuh, kita tidak memiliki waktu yang cukup mengutarakan kenyataan kita yang shahih. Kondisi ini pastinya menerpa sebagian besar kita dan masyarakat Situbondo, di dalamnya terdapat anak-anak muda yang memiliki potensi dan keinginan besar yang didorong oleh proses rekayasa media sosial yang membuat mereka terkadang berusaha ingin jauh lebih berbeda dari generasi sebelumnya.
Menyambung Asa
Dalam kehidupan sehari-hari, jargon merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon berhubungan erat dengan suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon juga digunakan untuk mengefektifkan proses komunikasi dan meningkatkan citra diri. Dengan menggunakan jargon berupa singkatan dan angka tertentu, anggota komunitas dapat dengan singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan banyak kata.
Penggunaan jargon telah mengotak-ngotakkan masyarakat menjadi kelompok-kelompok kecil dan mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Makin hari, makin banyak pejabat publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan memproduksi jargon. Kesalahan itu karena pada umumnya jargon ditentukan dengan prasangka generalisasi kebutuhan dan bukan kondisi sebenarnya yang dialami.
Bagi anak muda, saat ini mereka sudah mantap untuk tidak lagi memiliki waktu basa-basi, mereka adalah prodak siap jadi. Tetapi, kenyataan itu adalah masalah terbesarnya. Tanpa “Patennang” bisa membuat anak muda Situbondo tumbuh dalam kondisi prematur. Oleh sebab itu, nampaknya Rio yang notabene hanyalah "oreng biasah (orang biasa)" seoalah menunjukkan jalan bahwa dengan “patennang” sebentar akan tercipta ruang penataan dialog, skema dan rencana yang lebih matang.
Kata “patennang” tidak muluk-muluk sebagaimana jargon politik nan gelap serta pasaran. Padahal pelajaran pertama untuk calon pemimpin adalah berbahasa yang baik dan benar. Sebab, selama ini yang terucap seringkali justru menegaskan semakin lebarnya jarak mereka dengan realitas sosial yang ada. Muter-muter, berbelit-belit, lebay, abstrak, dan pemaksaan logika makna alias ngeyel.
Pepatah Madura berbunyi “Kheben etekkuk Tongarrah, Oreng Etekkuh Pentannah (hewan dipegang tali penyekat, manusia dipegang dari perkataannya)” selain memiliki makna ukuran komitmen seseorang, Rio juga dapat menjamin perkataan tersebut membuat nyaman pendengarnya. Kita belakangan menghadapi kebisingan slogan janji yang mereka tidak pernah juga mengalaminya. Berbeda dengan “patennang” dia (kata) menempati posisi yang melekat dan mendalam dalam batin setiap orang. Semacam tune lagu, “patennang” memudahkan pembacaan batin sesungguhnya tentang apa yang diinginkan kita.
Berusaha tenang dan menjaga ketenangan membantu masyarakat tetap terjaga dalam kewarasan untuk tidak mudah berspekulasi. Rio membantu tune masyarakat tetap beresonansi memenuhi ruang kehidupan yang sedang berlangsung. “patennang” bak rambu jalan yang menegaskan agar Masyarakat Situbondo kembali ke akar untuk menjaga nilai yang lebih besar yakni persaudaraan, keummatan, dan persatuan. Rio sudah menunjukkan, tinggal kapan kita mulai “patennang”!
Melqy Mochammad
(Penikmat Masalah Sosial)