Hipwee |
Bangsa ini bukan lagi mendayung di antara dua karang seperti yang dikatakan Mohammad Hatta. Di abad ke-21, bangsa ini kini tengah mengarungi samudra yang penuh ombak dan badai. (Dino Pati Djalal)
Panggung depan politik bangsa ini begitu gaduh. Kasus Panji Gumilang, Pemimpin Pondok Al-Zaitun yang kini ditahan Mabes Polri, belum reda. Kini, sejumlah sukarelawan bergemuruh merespons pernyataan Rocky Gerung yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi merespons itu masalah kecil. Penolakan terhadap Rocky terjadi di sejumlah tempat. Ada yang damai-damai saja. Ada yang sempat ricuh.
”Ini yang saya cemaskan. Ini bisa menjadi pintu masuk menyalurkan kekecewaan dan frustrasi.” Demikian sahabat saya mengirim pesan Whatsapp. Semoga saja tidak. Rocky kemudian meminta maaf atas keonaran yang terjadi. Rasa perasaan publik seperti diaduk-aduk. Ada hakim agung dijerat KPK, kemudian dibebaskan hakim pengadilan negeri. Alasannya tidak cukup bukti. Ada Kepala Basarnas dijerat menerima suap Rp88 miliar untuk pengadaan barang dan kini menjadi tersangka. TNI meminta agar anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil tetap diproses secara hukum militer. Ada uang Rp25 miliar dikembalikan penasihat hukum ke Kejaksaan Agung. Namun, sampai sekarang tak jelas uang itu statusnya apa dan uang siapa.
Dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) rakyat mendengar pemerintah dan DPR setuju syarat batas minimal usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Padahal, undang-undang mensyaratkan 40 tahun. Entah untuk siapa uji materi di MK itu. Benar kata hakim konstitusi Saldi Isra, jika DPR dan pemerintah bersepakat menurunkan batas usia jadi 35 tahun, ya, diubah saja oleh DPR dan pemerintah melalui revisi UU. Tak perlu melibatkan MK.
Memang ada kabar lain. Seperti diberitakan koran ini, Jumat, 4 Agustus 2023, pembangunan Ibu Kota Nusantara terus dipacu. Upacara hari kemerdekaan 17 Agustus 2024 akan digelar di Ibu Kota Nusantara. Pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan mencapai 22 persen. Yang harus diingat bagaimana nasib Jakarta. UU IKN menyebutkan nasib UU Ibu Kota Jakarta harus diselesaikan 15 Februari 2024, sehari setelah pemilu.
Teman sekantor saya yang hobi nongkrong di pinggir jalan, pada satu malam, mengirimkan pesan. Dia mengirimkan pesan obrolannya dengan pedagang kopi keliling. ”Mau milih siapa di tahun 2024,” tanyanya. ”Kagak saya pikirin, Bang. Negara kita semrawut … kayak enggak ada aturan orang pada nyelonong.” Begitulah jawaban tukang kopi keliling.
Saya tercenung dengan jawaban itu. Suasana terasa seperti tintrim (bukan tenteram). Tintrim saya maknai sebagai suasana hati campuran, ada harapan, ada kekhawatiran, ada kecemasan, ada ketidakpastian.
Sejenak saya tinggalkan politik wira-wiri, saya memilih hadir di acara GagasRI. Sebuah forum semacam public lecturer atau sejenis Ted Talk yang diadakan KGMedia, awal pekan ini. Tiga anak bangsa, yaitu Dr Dino Pati Djalal, doktor lulusan London School of Economics and Political Science; Dr Rizal Sukma, lulusan London School of Economics and Political Science; serta Prof Dr Dewi Fortuna Anwar dari Monash University dan School of Oriental and African Studies, sementara Sukidi Mulyadi, PhD dari Harvard University sebagai moderator. Mereka coba menerawang perubahan global dan dampaknya bagi kemanusiaan di Indonesia.
Dino, mantan Dubes Indonesia di Amerika Serikat dan mantan Wamenlu, melihat tata dunia global telah berubah. ”Kita sekarang bukan mendayung dua karang, tapi mengarungi samudra yang penuh ombak dan badai,” ujar Dino mengutip ucapan Mohammad Hatta.
Ia memaparkan, di abad ke-20, obsesi bangsa Indonesia adalah mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Di abad ke-21, misi bangsa Indonesia adalah mencapai ketangguhan dan keunggulan karena agenda kemerdekaan dan persatuan telah tercapai. Ada tiga tren dunia yang dipaparkan Dino. Pertama, dunia multipolar dengan dua superpower. Dunia multipolar disertai rivalitas yang semakin melebar, semakin berkembang, dan semakin meruncing. Pada sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa, baik Majelis Umum maupun Dewan Keamanan, seakan tidak berdaya mengatasinya.
Kedua, dunia yang eksponensial karena perkembangan pesat teknologi internet dan teknologi lainnya. Perkembangan teknologi dengan kemunculan artificial intelligence bisa membawa manusia ke arah post-human. Dan, ketiga, perkembangan global yang mengarah pada net zero emission. Sebuah konsensus global untuk mencegah secara bersama pemanasan global. Namun, konsensus global itu juga tak bisa disepakati. Kini, bukan pada tahap global warming, melainkan global boiling. Bumi yang mendidih.
Pada 27 Juli 2023, Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, era pemanasan global telah berakhir. Dan, kini memasuki era pendidihan global. Ia mengatakan, laju kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius akan sulit ditahan jika tak ada aksi radikal. ”Kemanusiaan diletakkan pada kursi terpanas,” kata Guterres.
Franz Magnis-Suseno, rohaniwan Katolik, memaparkan penjelasannya dalam diskusi buku berjudul "Kata Bersama: antara Muslim dan Kristen", di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (22/8/2019).
Dalam sebuah acara lain, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno pernah menyebutkan, jika bencana pemanasan global tak bisa dikendalikan akan terjadi bencana kemanusiaan. Paus Fransiskus telah mengeluarkan Ensiklik Laudato Si sebagai gerakan moral untuk menyelamatkan Bumi.
Dalam tatanan global yang berubah, Indonesia selalu menegaskan posisinya sebagai nonblok atau non-alignment. Dino menyebut pendekatan creative multialignment. Dalam mengantisipasi pemanasan global dibutuhkan nasionalisme yang juga internasionalisme. Indonesia perlu mengambil peran untuk bersama-sama komunitas internasional mencegah bencana kemanusiaan itu tiba.
Bangsa ini masih punya modal sosial yang kuat. Namun, kekuatan itu sedang digerogoti ketamakan elite, ancaman korupsi yang tak kunjung reda, kehancuran ekologi, dan cara berdemokrasi yang semata-mata jual beli kekuasaan. Jika tak dikelola dengan baik, jangan sampai bencana kemanusiaan itu tiba. Benar kata Guterres, kemanusiaan berada di kursi panas.
Tantangan esensi negara bangsa haruslah diupayakan didiskusikan dengan sedikit mengurangi eksistensi atau ego personal elite politik. Politik wira-wiri untuk memperbesar barisan guna menggapai kekuasaan perlulah diimbangi dengan empati dan politik gagasan untuk kesejahteraan rakyat.
Budiman Tanurejo
(Pimpinan Redaksi Harian Kompas)