Academia |
Dunia kampus adalah dunia istimewa. Bangsa ini banyak menaruh harapan kepada komunitas akademik yang menduduki pendidikan tinggi ini. Mereka lepas dari masa pancaroba selama sekolah menengah atas, masa ketika pemikiran dan sikap bisa berubah-ubah, tidak stabil. Usia mereka ialah peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Masa peralihan itu menyebabkan perubahan biologis, psikologis, dan sosial. Ibarat musim, pancaroba ialah peralihan musim, dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya.
Masa mahasiswa ialah masa yang kritis dalam berpikir karena mereka menemukan hal-hal baru secara kognitif di bangku perkuliahan. Kritis bisa karena terbiasa setiap hari berdiskusi untuk mempertahankan tugas individu atau kelompok di kelas. Kritis bisa pula pengaruh dari dosen yang membongkar mindset mahasiswa tentang suatu hal. Dari berbagai teori tentang berpikir kritis dapat disimpulkan bahwa critical thinking ialah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Dalam ranah media sosial, saring sebelum sharing ialah bagian dari cara berpikir kritis.Berpikir filsafat ialah untuk memahami hakikat dari kenyataan dalam rangka menemukan kebenaran. Jalannya ialah dengan proses berpikir secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Dunia kampus memiliki keistimewaan karena mahasiswa diberikan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Semua itu diberikan agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk berpikir kritis (critical thinking), analitis, sistematis, mendasar, komprehensif, dan bertanggung jawab.
Karena itu, sungguh mengherankan apabila mahasiswa berpikir bodoh dan bertindak di luar nalar, seperti terjebak investasi ilegal dan pinjaman online (pinjol).
Sebanyak 121 mahasiswa terjebak pinjol karena mengikuti investasi ilegal. Mereka terjerat 197 pinjaman dengan total tagihan peminjaman mencapai Rp650,19 juta, dengan pinjaman tertinggi Rp16,09 juta. Selain itu, sebanyak 4.000 mahasiswa baru Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Surakarta mendaftarkan akun di aplikasi pinjol yang diduga dipaksa seniornya di Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Surakarta.
Ada pula kasus mahasiswa jurusan sastra Rusia UI membunuh adik tingkatnya di satu jurusan lantaran terjerat pinjol karena mengalami kerugian Rp80 juta dalam investasi kripto. Pelaku dan korban tak ada masalah, bahkan seperti kakak-adik. Kasus itu membuat miris terjadi di kampus perjuangan yang mentereng namanya.
Boleh jadi kasus-kasus pinjol di atas fenomena gunung es kasus pinjol menjerat mahasiswa. Pasalnya, perusahaan financial technology (fintech) lending alias pinjol sangat mudah diakses siapa pun. Banyak debitur karena kepepet atau gaya hidup konsumtif tak menyadari bunga yang mencekik dari pinjol. Bunga pinjaman harian pinjol dari 1%-4% per hari. Sementara itu, bunga yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya 0,4%/hari.
Namun demikian, urusan dengan pinjol bisa runyam dan memalukan jika debitur telat membayar pinjaman. Jika debitur telat membayar, perusahaan pinjol tidak segan-segan untuk menyebarkan data tunggakan ke seluruh nomor kontak yang dimiliki sang debitur. Jika penyebaran data tunggakan yang disebar tak digubris debitur, penagih utang (debt collector) akan menyatroni rumah, kantor, dan beberapa tempat lain yang biasa dikunjungi debitur. Sungguh menyeramkan.
Mahasiswa memang menjadi sasaran empuk pinjol. Celakanya, tingkat literasi keuangan di kalangan pelajar dan mahasiswa sebesar 47,56% persen atau di bawah rata-rata nasional yang sebesar 49,68%. Melihat kondisi itu seharusnya pihak kampus bekerja sama dengan OJK lebih intensif menyosialisasikan bahaya pinjol ke mahasiswa.
Yang terpenting kampus harus meningkatkan kecerdasan dan sense of crisis mahasiswa mereka. Selain itu, semangat kewirausahaan (entrepreneurship) mahasiswa harus dibangkitkan agar mereka memiliki kemandirian secara ekonomi. Hal itu sangat penting jika mereka lulus kelak bisa menciptakan lapangan kerja, bukan memburu lapangan kerja yang memang rasionya sudah tak seimbang. Terlebih korporasi saat ini lebih mengedepankan efisiensi dengan teknologi canggih (otomatisasi) ketimbang SDM yang gemuk.
Kampus seyogianya menciptakan mahasiswa sebagai insan akademis yang memiliki spirit sebagai agent of change (agen perubahan) dan guardian of value (penjaga nilai) di masyarakat. Namun demikian, sikap akademis mahasiswa tergantung pada iklim akademis yang dibangun pihak kampus dan Kemendikbud-Ristek. Jika fenomena pemberian gelar doktor/profesor kehormatan dibiarkan merajalela demi kepentingan politik jangka pendek di negeri ini, hal itu sama dengan melumpuhkan dan melemahkan budaya akademik yang menghargai akal sehat, ilmu pengetahuan, dan budi pekerti yang luhur.