Sumber: VOI |
Penilaian itu disampaikan pengamat pertanian sekaligus Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB Dwi Andreas Santosa. Kata dia, kegagalan itu terjadi terus menerus dari masa pemerintahan Soeharto hingga Jokowi.
Menurutnya, kegagalan itu terjadi karena pemerintah melanggar 4 pilar pengembangan lahan pertanian skala besar, yakni ketidaksesuaian tanah yang dijadikan tempat food estate, persoalan infrastruktur, budidaya dan teknologi, serta sosial-ekonomi.
Ia mencontohkan salah satu kendala soal masalah sosial, yakni terkait kesiapan sumber daya manusia (SDM) di dalam pengembangan food estate. Satu hal ini bersama dengan sejumlah masalah lain harus diselesaikan bersamaan demi keberhasilan program lumbung pangan.
"Kalau sumber daya menusia, lahan dibuka tapi enggak ada petani yang mau menggarap di sana ya? Terus yang terbengkalai menjadi semak belukar lagi. Dana yang sudah dimasukkan ke sana mungkin ratusan miliar hilang, lenyap karena lahan kembali seperti semula enggak bisa lagi dibiarkan enggak bermanfaat kan. Membuang uang percuma. Membuang uang yang sangat besar," kata dia kepada KBR, Selasa, (29/11/22).
Fokus Satu Lokasi
Andreas juga menyebut, program daerah lahan gambut 1 juta hektare milik pemerintah yang mendatangkan petani dari Jawa, tetapi akhirnya tak bertahan lama.
Itu sebab, ia mengusulkan pemerintah fokus membuat semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau aturan yang memastikan siapapun presidennya, maka komitmen untuk menyelesaikan proyek food estate bisa tetap berlangsung.
Tidak seperti saat ini yang dinilai tidak konsisten. Yakni, ketika terjadi perubahan kepemimpinan, berganti juga kebijakan proyek food estate, sehingga tak kunjung selesai dan mangkrak.
Ia menyarankan pemerintah fokus kepada satu lokasi saja, yaitu memperbaiki lahan gambut 1 juta hektare yang sekarang sudah rusak berat.
Dengan begitu, pemerintah diharapkan juga bisa fokus dan menargetkan produktivitas pertanian sesuai target.
"Usulan saya eks gambut 1 juta hektare karena itu menjadi bencana karhutla. Kalau El Nino itu, pasti itu titik-titik api di situ semua dan itu yang menyebabkan Singapura Malaysia marah-marah. Sehingga kita harus tekuni betul," pungkasnya.
Perintah Presiden Jokowi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan program pengintensifan lahan sebagai lumbung pangan atau food estate dilakukan lebih maksimal.
Permintaan itu disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, usai mengikuti rapat yang dipimpin Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, (4/9/2022).
“Cadangan-cadangan lahan kita di Kalimantan, di Sumatra Utara, di Papua, di Maluku, harus menjadi bagian-bagian dari strategi kita. Dan di sana Presiden mengarahkan food estate agar bisa dilakukan lebih maksimal,” ujar Mentan.
Sejumlah Lahan Belum Maksimal
Mentan tak memungkiri ada sejumlah lahan pertanian yang belum mampu memberikan hasil maksimal. Hal ini disebabkan karakteristik lahan yang digunakan.
“Ada beberapa lahan yang tentu saja berhasil cukup bagus, tapi ada lahan-lahan yang kemudian karena air, namanya juga tempatnya seperti itu, kadang-kadang kalau hujan sedikit dia langsung banjir, naik ke atas, tentu saja di situ gagal, tapi enggak seberapa,” ujarnya.
Syahrul mengatakan pemerintah akan terus mengintensifkan lahan pertanian di berbagai daerah untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
"Kelihatannya memang ini membutuhkan konsentrasi-konsentrasi untuk kita buat cadangan-cadangan lahan baru di beberapa tempat untuk mengantisipasi itu,” ujarnya.
Pengembangan di Daerah Lain
Pemerintah saat ini tengah melakukan pengembangan lumbung pangan di berbagai daerah. Di antaranya di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.
Syahrul mengklaim, pengembangan food estate di sejumlah daerah berjalan dengan cukup baik. Salah satunya adalah di Kalimantan Tengah yang mampu meningkatkan produktivitas dari 3 ton menjadi di atas 4-5 ton.
“Di Sumatra Utara bagus hasilnya, di Temanggung bagus, di Wonosobo bagus, di Sumba Tengah di NTT bagus,” katanya.[Red]