Sumber: Geotimes |
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat Ciputat, Tangerang Selatan, sebagai daerah dengan suhu terpanas di Indonesia. Pencatatan yang berlangsung dari 11-20 April 2023 menunjukkan suhu daerah tersebut mencapai 37,2 derajat celcius.
Beberapa minggu lalu, suhunya turun walaupun tak jauh-jauh. Tercatat pada 1-7 Agustus, suhu menurun dari angka 37,2 derajat celcius ke angka 25-36 derajat celcius. Terkini tanggal 23-25 September 2023, cuaca Ciputat dalam kondisi stabil sekitar 26-27 derajat celcius.
Saya sebagai penghuni Ciputat, mengafirmasi bahwa Ciputat memang kota yang panas. Bukan hanya cuacanya saja yang panas, orang-orangnya pun juga demikian. Klakson sana-sini, trobos sana-sini, lawan arah sana-sini, dan sikut sana-sini. Jenis-jenis persoalan yang memancing emosi di jalanan, semua ada di Ciputat.
Selain dikenal kota yang panas, Ciputat juga dikenal sebagai kota yang macet. Penyebab macet memang kompleks: kendaraan yang terus bertambah, banyaknya putaran balik, hingga diapit oleh beberapa universitas yang jumlah mahasiswanya jika totalkan dapat mencapai ratusan ribu lebih.
“Beberapa upaya telah dilakukan, salah satunya rekayasa lalu lintas. Namun tak ada hasil yang maksimal dan optimal, hanya formalitas saja supaya terlihat kerja,” ungkap pemuda pengangguran Ciputat Berinisial “D”.
Laporan terkini atas situasi kemacetan Ciputat, yang berulang kali pemerintah daerah mencoba menutup beberapa ruas puter balik. Penutupan itu bukan mengurangi kemacetan, tapi justru malah menambah kemacetan.
Tetapi perkenankan saya mengingatkan kembali bahwa Ciputat adalah tempat yang memberikan cerita tersendiri. Melukis kenangan-kenangan indah maupun buruk yang tersimpan kokoh di pikiran dan di hati. Pastinya, Ciputat merupakan kota yang akan selalu dirindukan bagi siapa pun yang pernah singgah.
Salah satu yang dirindukan adalah tradisi-tradisi berpikir yang kuat dan konsisten. Di mana Ciputat terdapat universitas yang berdekatan seperti UIN Syarif Hidayatullah Ciputat (Jakarta), Universitas Muhammadiyah Jakarta, Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Institut Ilmu Al-Qur’an, dan kampus tetangga di Pamulang yaitu Universitas Pamulang.
Kenangan yang dirindukan walaupun hanya sebatas catatan sejarah, salah satunya adalah lahirnya "Mazhab Ciputat". Mazhab pemikiran yang menghebohkan dunia pemikiran di Indonesia. Selain namanya yang provokatif, karya besar ini mencoba menelaah zaman dengan kritis terutama dalam konteks Islam, keindonesiaan dan kemodernan.
Selain itu hal lain yang tak kalah menghebohkan, lingkaran ini telah melahirkan banyak cendekiawan muslim. Cendekiawan yang konsisten berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan secara umum, dan secara khusus terhadap pemikiran Islam di Indonesia.
Di antara para cendekiawan yang berkontribusi dalam penyusunan mazhab Ciputat: M. Dawam Raharjo, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, Kautsar Azhari Noer, Budhy Munawar-Rachman, Saiful Mujani, Hendro Prasetyo, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Sahal, dan lain-lain.
Dari data-data historis yang saya dengar langsung dari saksi hidup salah satunya yaitu Syafiq Hasyim, ia mengatakan bahwa mereka memiliki tradisi intelek yang kuat. Tradisi tersebut misalnya: membaca atau mengkaji teks secara serius, membuat forum-forum diskusi yang berkonsentrasi pada topik tertentu, dan melakukan kolaborasi untuk membuat suatu diskursus keilmuan.
Kemudian, mereka produktif menulis di media cetak dan online. Bahkan pemikiran mereka hingga kini masih terus dibicarakan, terutama pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan diskursus pemikiran Islam yang ditulisnya. Di antara kampus yang masih mendiskusikan pemikiran Cak Nur yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Paramadina Jakarta, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), dan lain-lainnya.
Seperti yang ditulis pada buku Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia disebutkan pada halaman 99, betapa berjasanya dua tokoh (Fachry Ali dan M. Dawam Raharjo) asal Ciputat dalam melebarkan sayap-sayap pemikiran Islam di Indonesia terutama yang digagas oleh Cak Nur.
Lalu kita sebagai mahasiswa masa kini, tak sepatutnya terus-menerus terjebak pada romantisme masa lalu. Perlu adanya semacam antisipasi supaya tak macet tradisi-tradisi intelektual seperti itu. Antisipasi tersebut sebaiknya dimulai dari pertanyaan yang mendasar dalam tulisan ini; Apakah tradisi intelek semacam itu masih ada di lingkungan Ciputat?
Tentu masih ada namun menurun drastis. Bahkan di sudut-sudut kosan Ciputat menjadi lahan diskusi bagi mahasiswa. Berdasarkan observasi langsung saya sebagai mahasiswa Ciputat, yang menyedihkan adalah diskusi bukan lagi persoalan keilmuan seperti yang dilakukan pendahulu kita. Cenderung diskusi kepada hal-hal yang tak bermanfaat, seperti diskusi mengenai games, perempuan, laki-laki, dan viralitas yang terjadi di tik tok atau di sosial media lainnya.
Apa yang menjadi penyebabnya? Apakah akibat majunya zaman? Apakah karena adanya teknologi dan sosial media?
Tidak elok rasanya menjadikan perkembangan zaman menjadi suatu problem final atas kemacetan pemikiran kita. Permasalahan sementara ini adalah kita tak mampu mengintegrasi teknologi dalam tradisi intelektual kita.
Misalnya, berapa banyak media online dari Ciputat yang mewadahi tulisan-tulisan mahasiswa? Berapa banyak forum-forum diskusi? Berapa banyak komunitas yang difokuskan untuk membaca buku? Seberapa banyak kontribusi kampus dalam mewadahi riset-riset mahasiswa?
Sangat sedikit, dan dapat dihitung dengan jari.
Mengapa demikian? Dari data yang telah dipaparkan sebelumnya, terutama mengenai jumlah kampus dan mahasiswanya, tak sebanding dengan jumlah wadah menulis mahasiswa, forum-forum diskusi, komunitas membaca buku, dan dana riset untuk mahasiswa.
Nyatanya di UIN Ciputat saja yang jumlah mahasiswanya puluhan ribu lebih, hanya ada dua wadah menulis; Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, dan Ruang Online. Demikian juga forum-forum diskusi mahasiswa sangat minim. Beberapa yang masih bertahan hingga saat ini diantaranya Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH), Konklusi, dan lain-lainnya yang tak terjamah oleh saya.
Dari riset kecil-kecilan, ternyata tidak menemukan komunitas yang memfokuskan pada kegiatan membaca buku. Namun, saya menemukan komunitas yang membantu masyarakat untuk membaca dan menulis, yang menyebut perkumpulannya Komunitas FISIP Mengajar. Berkegiatan di kolong jembatan Ciputat, yang dikenal dengan Taman Bacaan Masyarakat Kolong (TBM Kolong).
Tetapi kalau ditanya, berapa banyak proyek politik yang dirasakan mahasiswa? Berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk kegiatan demo? Berapa banyak seminar yang mewadahi panggung-panggung politikus? Tentu jawabannya sangat banyak, dan tidak dapat dihitung dengan jari.
Sayangnya, hipotesis tentang proyekan tersebut tidak ada data pastinya. Hanya sebagai pengalaman empiris dan sering dituduh sebagai asumsi liar. Asumsi liar tersebut berdasarkan pada banyaknya pekerjan survei-survei untuk lembaga politik.
Kemudian dalam laporan pers kampus di tahun 2016, mengenai dana riset masih sangat minim dikisaran 15-20 juta rupiah. Saya tidak dapat ditemukan sumber-sumber terbaru mengenai besaran dana riset dan tidak adanya keterbukaan mengenai data terkait hibah dana riset untuk mahasiswa.
Setelah saya merenungkan seluruh pertanyaan dan pernyataan di atas, dan berusaha mencari jalan keluar. Di tengah arus deras iklim perpolitikan Ciputat yang menguat; entah telah didesain atau memang terbentuk secara alamiah.
Saya percaya akan dua hal untuk mengantisipasi dan berusaha menguatkan kembali tradisi intelektualisme di Ciputat. Pertama adalah melalui kesadaran; baik secara personal atau individu dengan cara sadar akan tanggung jawab sebagai seorang pembelajar (siswa, mahasiswa, dosen, peneliti, penulis), lalu sadar bahwa pengetahuan kita akan dunia serta isinya masih sangat sedikit.
Sehingga jika kesadaran itu ada secara individu, dengan perlahan tradisi intelektual akan tumbuh subur. Kemudian membentuk komunitas, membuat wadah belajar serta menulis, dan tak lagi ada kesenjangan antara yang si bodoh dan si pintar.
Kedua adalah perlu adanya kolaborasi dan penurunan ego. Ini menjadi problem dasar yang serius tetapi sering diacuhkan, di mana yang pintar asik sendiri dengan bukunya dan si bodoh asik sendiri merenungi bagaimana menjadi si pintar. Tak ada titik temu kolaborasi yang berbasis tanggung jawab terhadap ilmu, berbasis pada kerendahan hati, yang ada hanyalah sifat egosentris, dan superioritas.