Sumber: Unsplash |
NARRAN.ID, OPINI - Cuaca labil menjadi momok menakutkan dekade belakangan ini. Udara yang beberapa tahun terakhir tiba-tiba menampakkan kekuatannya, polusi bercampur Covid-19 seolah menjadi tsunami besar yang menghantam hampir seluruh penghuni manusia di bumi. Dua fenomena ini adalah gambaran sederhana sekaligus menjadi tamparan keras kepada beberapa kelompok yang fokus pada persoalan-persoalan keberlansungan hidup umat manusia, dia (Bumi) seolah-olah mengabarkan tentang keadaaan yang tidak baik-baik saja.
Tingginya potensi polusi udara di berberapa
negara menjadi salah satu ancaman terbesar bagi keberlansungan hidup dimasa yang
akan datang. National
Institute of Environmental Health Sciences mengungkap fakta bahwa polusi udara
menjadi penyebab kematian 6,5 juta jiwa setiap tahun dan angka ini dari tahun
ke tahun bertambah.
Wisnu Arya Wardana dalam karya
tulisannya, Dampak Pencemaran Lingkungan (2004) memaparkan bahwa pencemaran
udara adalah campuran dari berbagai macam gas yang tidak tetap sehingga gas-gas
tersebut mengganggu kehidupan. Dalam hal ini udara juga adalah atmosfer yang
berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi mahluk hidup.
Ibarat hantu, udara ada tapi tidak
terlihat oleh kasat mata. Polemik tentang polusi udara tidak hanya datang dari
buah tangan manusia, polusi udara juga secara natural diproduksi oleh gunung
berapi dan kebakaran hutan akibat cuaca panas ekstrem. Kedua faktor ini jika
melihat dari kacamata bisnis tidak seimbang antara buah tangan manusia yang
cenderung dominan dengan buah dari fenomena alam, ketidak seimbangan ini
menjadi tantangan sekaligus peluang bisnis menggiurkan di masa depan.
Jika menelisik fenomena di masa lampau,
air minum merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang sangat mudah dijangkau
dan dikonsumsi setiap hari melalui alat bantu sederhana. Bermula dari tingginya
kasus diare yang bermunculan akibat mengonsumsi minum yang berasal dari air
keran, maka timbul ide salah satu produk air kemasan ternama saat ini, ia
mengeluarkan produk air kemasan sebagai solusi yang tergolong gila dalam
mengurangi tingginya kasus diare yang saat itu banyak dialami kaum-kaum
menengah ke atas. Dalam majalah Tempo yang berjudul Menyiasati Rasa Dahaga
(1986), mengisahkan tentang pemasaran air kemasan yang terus meningkat,
terutama setelah perusahaan juga memproduksi mesin (dispenser) untuk botol
ukuran besar (galon). Kala itu perusahaan meminjami dispenser-dispenser itu,
di mana penyebarannya terbatas di kantor-kantor.
Maka muncul pertanyaan, mengapa air mineral
kemasan bisa menjadi ide bisnis gila yang bertumbuh pesat dan bertahan hingga
saat ini meski dibenturkan situasi pandemi? Jika dari paparan diatas menjadi
acuan untuk melanjutkan rasa penasaran, jangan-jangan kita sudah berada di fase
transisi udara yang gratis tapi tercemar ke udara yang berbayar tapi segar.
Pertarungan kedua antara Si Pebisnis vs. Si Peduli dimulai!
Si Pebisnis Vs Si Peduli
Katakan “tidak” pada polusi, udara
bersih untuk Indonesia, Clean Air Healthy Future, Clean Air Day. Kira-kira
begitulah upaya Si Peduli dalam meningkatkan kesadaran manusia terhadap
bahaya pencemaran udara. Gerakan yang dibangun dalam rangka meminimalisasi polusi udara tergolong tidaklah baru. Salah satu contoh misalnya, tepat pada
tahun 1996 diluncurkan sebuah program dalam rangka mengendalikan serta mencegah
pencemaran udara dan mewujudkan perilaku sadar lingkungan baik dari sumber
tidak bergerak (industri) maupun sumber bergerak yaitu kendaraan bermotor
melalui keputusan Menteri Lingkungan Hidup yaitu “Program Langit Biru”.
Selain itu, istilah yang muncul pada tahun 2017 bersal dari Britania Raya yakni Clean Air Day menjadi event tahunan yang menyajikan gerakan penyadaran akan tingginya polusi udara sebagai ancaman kehidupan di masa yang akan datang. Di tengah upaya Si Peduli dalam mencegah dan mengatasi meningkatnya polusi udara, Si Pebisnis tidak mau kalah. Seolah-olah, memperlihatkan perhatiannya dalam mengatasi ancaman ini dengan memunculkan program-progam yang bernuansa ramah lingkungan.
Siapa yang
tidak tau tentang kendaraan listrik yang pada abad ini sedang naik daun. Pola
marketing jitu dari Si Pebisnis yang membuat semua tergiur seakan-akan produk
ini menjadi tren solusi kendaraan di masa mendatang. Kecanggihan dari konsep pengisian
daya (charging), ekonomis, dan ramah lingkungan, seketika membungkam
kampanye-kampanye Si Peduli. Lalu apakah ini menjadi solusi dari masalah emisi
yang dikeluarkan kendaraan, bukankah ini hanya menggeser yang tadinya secara
langsung dikeluarkan oleh kendaraan berpindah ke pabrik pembangkit tenaga
listrik dan nikel. Tidak berdampak lansung di area padat pemukiman, tetapi secara
tidak langsung lebih membahayakan lingkungan. Well played dari Si Pebisnis.
Pada kasus
yang mirip dengan peralihan konsumsi air mineral secara lansung atau dari
proses masak yang berubah menjadi air mineral kemasan. Muncul fakta menarik
yang memicu perang ke dua antara Si Pebisnis dan Si Peduli. Pada tahun 2021
salah satu perusahaan di Inggris mengeluarkan inovasi baru dengan menjual udara
segar yang ditampung dalam botol kaca berukuran 700 ml dengan harga 75 pound
sterling sekitar 1,4 juta rupiah.
Baru-baru
ini tahun 2022 dikutip dari SoraNews 29, penjualan udara segar muncul dalam
unggahan dalam aplikasi yang menawarkan “Air 2022” yang dikemas dalam kantong
dan botol plastik. Penjualan dengan harga yang termasuk tinggi yakni sebesar
2.022 yen, jika dirupiahkan sebesar 234.000 rupiah. tetapi ada juga yang menjual
dengan harga yang fantastis sebesar 20.022 yen jika dirupiahkan sebesar 2,3 juta rupiah.
Menggiurkan, bukan? Apakah pertarungan antara Si Pebisnis Vs Si Peduli jilid dua lagi-lagi
dimenangkan oleh Si Pebisnis? Sejauh mana Indonesia akan terlibat dalam
pertarungan ini, akankah Indonesia berpihak pada salah satu atau berperan ganda? Fenomena-fenomena belakangan ini yang kerap muncul dalam portal
berita akan menjawab ke mana arah Indonesia.
Penulis:
Muh. Nur Muhaimin
(Peramal Andal)