Sumber: Aulanews |
Partai PDIP nampaknya mulai menemukan celah bahwa Presiden “petugas partai” memiliki agenda yang berbeda. Respon cepat itu adalah deklarasi mengawinkan Ganjar dengan sosok yang dianggap sepadan untuk mengunci ceruk suara kunci yakni Jawa Timur. Sosok itu hanya akan bermuara pada satu nama yakni Menko Polhukam Mahfud MD.
Mahfud bisa jadi sudah ditimbang bebet-bobot oleh Ketua Umum PDIP, Megawati untuk mengisi kekosongan sosok. Jika resmi, Mahfud MD akan jadi batu sandungan bagi PKB di Jawa Timur terkhusus sang cawapresnya Muhaimin Iskandar. Suara NU bisa saja terbelah, namun konstelasi hitung-hitungan akan bulat jika PDIP bergerak cepat meyakinkan publik bahwa Mahfud MD adalah figur yang sudah dimatangkan dan bukan hasil rasa “kaget”.
Mahfud MD sebagai mantan Ketua Hakim MK akan menjadi antitesa dari cermin terbalik perilaku putusan MK soal batas usia presiden yang melukai nurani publik dan hukum. Ini sama sebagai serangan simbolik bahwa Ganjar-Mahfud MD adalah koalisi produk mandiri politik bukan selingkuh politik dan hukum.
Target Man
PDIP memang santer dari awal memasukkan Mahfud dalam daftar cawapres Ganjar. Hanya saja perhitungan itu segera harus diakhiri, pilihannya satu ambil Mahfud atau tidak sama sekali. Bukankah masih ingat pengakuan Mahfud MD tiba-tiba mengaku mendapat tawaran untuk maju bersama Anies Baswedan sebagai calon wakil presiden (cawapres). Tawaran itu datang dari Presiden PKS Ahmad Syaikhu saat berkunjung ke rumahnya. Terkait tawaran itu, Mahfud mengaku menolaknya.
Mahfud pun menjelaskan alasan dirinya menolak tawaran Anies menjadi calon wakil presiden. Menurut dia, calon Anies bisa saja berasal dari partai politik pendukung Anies. Di antaranya Nasdem, Demokrat, atau PKS. Mahfud menilai akan merugikan demokrasi jika bergabung dengan calon Anies.
Mahfud kemudian meminta Denny Indrayana yang cukup keras mengkritik istana membagi tugas. Denny diperintahkan melindungi Anies Baswedan agar demokrasi tetap hidup dan tidak lagi menyalahkan pemerintah. Pada saat yang sama, tugas Mahfud adalah menyelenggarakan pemilu sendiri. Rendahnya kekuatan partai politik yang didukung gerakan masyarakat sipil membuat dukungan masyarakat awam terhadap Jokowi simpang siur. Masyarakat Indonesia dicirikan oleh berbagai gerakan sukarela, baik yang lahir secara organik maupun yang dimobilisasi.
Kala itu, pendukung independen Jokowi sangat menonjol dalam hal ini. Pada saat yang sama, Prabowo dipandang sebagai wakil saingan dari elit tradisional yang lama. Saat itu, PDI-Perjuangan merupakan kekuatan oposisi yang koheren. Mereka menjadi saluran keresahan masyarakat. Kader PDI-Perjuangan berdialog dengan seluruh lapisan masyarakat sipil untuk menyeimbangkan kekuasaan penguasa.
Kegaduhan masyarakat berubah menjadi euforia atas kemunculan seorang pemimpin yang dianggap sebagai bagian dari rakyat. Sebenarnya usulan Jokowi ini di saat yang tepat. Tanpa mengecilkan peran parpol, kemenangan Jokowi merupakan hasil orkestrasi berbagai kekuatan.
PDI-Perjuangan yang dulu mendukung Presiden Jokowi berbeda jauh dengan yang saat ini mendukung Gubernur Ganjar. PDI-Perjuangan saat ini merupakan partai yang memenangkan pemilu dua kali berturut-turut, sedangkan PDI-Perjuangan yang mendukung Jokowi pada tahun 2014 menjadi partai oposisi dua kali berturut-turut.
Posisi Ganjar cukup lesu karena Istana bermain di banyak kaki. Kondisi ini bisa mengulang periode menakjubkan pertama Jokowi di 2014 lalu. Dikeroyok banyak partai namun meraih kemenangan manis. Hanya saja itu mungkin dugaan, pasalnya koalisi PDIP kehilangan dua ornamen partai penting PKB dan NasDem yang sudah beda Haluan.
Jika PDIP utuh mendaulat Mahfud, maka PDIP hanya fokus mengurus suara Jawa Barat basis dukungan terbesar Prabowo Subianto. Bagaimana dengan Jawa Timur, arena itu akan menjadi duel sengit yang seimbang. Dengan mengurangi peluang menang besar PKB di sana, maka peluang PDIP dan Ganjar akan besar memenangkan pemilu 2024 mendatang.
Hadi Suprapto Rusli
(Direktur Eksekutif Ide Cipta Research and Consulting)