Iklan

Dilema Pemilih dalam Memilih

narran
Kamis, 30 November 2023 | November 30, 2023 WIB Last Updated 2023-11-30T05:10:30Z
opini , pemilu
Sumber: Detik.com
NARRAN.ID, OPINI - Kebutaan arah ditengah masyarakat selalu dirasakan oleh siapapun dalam memilih pemimpin yang diinginkan. Tontonan yang sangat menarik terlihat secara langsung dalam penataan negara dan wilayah untuk masyarakat. Selayan pandang diatas sepertinya menjadi gerbang untuk menarik pemahaman kita semua bahwasanya kalimat “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” hanya keluar ketika masa pencalonan pemimpin ingin berlangsung di negara kita. Rasa penasaran dan keingintahuan kita tentang sebenarnya bagaimana cara menyusun konsep dasar sosial masyarakat dari para pemimpin kita semua.

Kritik dan saran yang dianggap sebagai cacian dan hinaan tidak akan terlontarkan untuk para pemimpin kita jika bisa membenahi masalah sosial dalam tatanan masyarakat. Modal sosial yang ditanamkan dan menjadi bekal pada sosok pemimpin kita seperti, Presiden, Gubernur, Bupati, DPR, dan sebagainya tanpa harus diberikan pemahan terkait sosial masyarakat, mereka sudah faham dari modal yang mereka punya. Dalam sistem perwakilan, demokrasi juga menuntut adanya pertanggung jawaban dari para wakil, jika memang tuntutan yang disusun oleh masyarakat terealisasi seyogyanya sistem demokrasi yang kita fahami bersama bisa saja menjadi falsafah kebahagiaan dalam hidup bernegara. Masyarakat akan bahagia jika para pemimpinnya pun bisa berbagi kebahagiaan dengan kita semua, dan sebaliknya pula, pemimpin akan bahagia jika masyarakatnya pun bahagia.

Dilema yang tertanam pada kita semua ketika memilih seorang pemimpin, sepertinya sangat sulit memilih pemimpin baik dan benar-benar baik untuk masyarakatnya. Kesadaran menjadi masyarakat dalam melihat pemimpin yang akan mencalonkan pun tidak bisa sembarang, karena mereka  akan melihat kita sebagai masyarakat dan pemilih. Untuk memahaminya terdapat tipologi pemilihan calon. Pertama yaitu rasional (pemilih akan melihat dari sudut pandang program kerja yang dibuat oleh calon).

 Kedua yaitu kritis (pemilih bukan hanya melihat dari program kerja calon saja, akan tetapi akan melihat background seperti partai asal dan latar belakang sebelum pencaloanan, sebuah penilaian untuk melihat rekam jejak calon). Ketiga yaitu tradisional (pemilih yang mengacu kepada ras, agama, dan background yang sama untuk memilihnya). Keempat yaitu apatis (pemilih mempunyai sikap bodoamat terhadap ajang kontestasi seperti pemilu). Hal tersebut dalah bagian dasar sebagai pemilih dan yang dipilih, dengan melihat pada aspek personal masyarakat, jika menurut Samuel Huntington demokrasi tidak semata-mata adanya pemilu yang bebas, yang olehnya disebut sebagai definisi minimal demokrasi. Minimal demokrasi yang dimaksud Huntington ialah sebagai gerbang awal untuk membangun masyarakat yang bebas berekspresi dan pemimpin yang mempunyai kesadaran dalam perannya dengan dituntun oleh konsep demokrasi. 

Kendatipun konteks demokrasi yang tertuang kepada kita sebagai masyarakat hanya serpihannya saja. Terlihat jelas jika berbagai tuntutan dan koreksian dari masyarakat akan selalu menghampiri para pemimpin kita. Seperti apa yang disampaikan oleh David Edson bahwa dalam menghadapi tuntutan-tuntuntan yang berkembang di dalam masyarakat, sistem politik bisa menempuhnya melalui dua cara, pertama membuat keputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat, kedua melakukan politisasi, membangun nilai-nilai yang ada di masyarakat yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang ada di pemerintahan. Tegasnya sistem politik dalam mengambil sebuah kebijakan jangan hanya berpihak kepada pemerintah saja, melainkan mengambil dua aspek antara pemerintah dan masyarakat.

Pada dasarnya sistem demokrasi itu menuntut adanya opurtunis kepada semua pihak. Langkah dalam pengemasan sistem demokrasi seperti apa yag dilakukan oleh pemerintah?, hal tersebut menjadi pertanyaan untuk kita semua sebagai masyarakat yang hanya mengikuti dan merasa diayomi. Jalur kekuasaan yang ditempuh dengan konsep demokrasi sepertinya tidak akan amburadul dari apa yang kita lihat, karena kekuasaan merupakan sentral didalam suatu negara, dan negara pun merupakan perkembangan masyarakat politik yang paling besar dan memiliki kekuatan yang otoritatif. Demokrasi dibangun untuk siapapun, dan bukan hanya untuk segelintir orang saja, peninjauan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan hanya untuk segelintir orang saja. 

Menaruh harapan kepada para penguasa atau pemerintah apakah menjadi kesalahan untuk kita saat ini?, cara pandang dan berfikir seperti itu yang bisa dibenarkan oleh siapapun. Pada dasarnya hal tersebut sudah menjadi penyakit yang tersebar kemana-mana. Seperti apa yang disampaikan oleh Kacung Marijan bahwa demokrasi itu muncul bukan semata-mata disebabkan oleh kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat, melainkan juga berkaitan dengan pilihan desain kelembagaan yang dianutnya. Sistem demokrasi kita dengan membentuk banyak sekali lembaga untuk membahagiakan masyarakat seharusnya tersalurkan dengan baik, walaupun bahagia yang diturunkan sekedarnya saja.

 Stimulus yang didapatkan dan bisa saja diterapkan oleh pemerintah dan masyarakat dengan membuat sebuah resolusi agar terbangun paradigma kolektif untuk kita semua dalam memahami kebijakan yang ada. Modal sosial sebagai masyarakat dan pemimpin harus tersalurkan dengan sendirinya. Demikian kebahagiaan dalam menjadi masyarakat di sebuah negara akan tersalurkan sadar atau tidaknya kita. 


Penulis:
Ajar Enggar
(Pegiat Kajian Sejarah)

 


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dilema Pemilih dalam Memilih

Trending Now

Iklan

iklan