Sumber: Tempo.co |
Di saat sejumlah negara maju mengurangi ketergantungan dagang dengan China, Indonesia justru semakin bergantung pada negara tersebut. Ada keuntungan sekaligus risiko bagi Indonesia semakin bergantung pada ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Amerika Serikat (AS) pelan-pelan meninggalkan China sejak Donald Trump memulai perang dagang dengan negara itu pada 2018. Sejumlah langkah terkait dengan sektor perdagangan dan industri telah dan sedang ditempuh.
Hal itu mulai dari merelokasi industri yang dilakukan ke sejumlah negara di Asia dan Eropa Timur. AS juga menggulirkan kebijakan rendah karbon yang salah satu tujuannya untuk mengurangi kekuatan China atas bahan baku kunci kendaraan dan baterai listrik, seperti litium, kobalt, nikel, dan magnesium.
AS bahkan membuat Undang-Undang (UU) Cip dan ilmu pengetahuan. UU itu dibuat untuk meningkatkan daya saing AS terhadap China dengan mengalokasikan anggaran miliaran dollar AS untuk produksi semikonduktor, riset, dan sumber daya manusia.
Adapun Jepang berupaya meningkatkan kerja sama dengan Uni Eropa dan negara-negara di Timur Tengah. Kerja sama itu mencakup penelitian dan pengembangan pertambangan dan pemurnian logam tanah jarang atau unsur logam langka, serta peningkatan rantai pasokan sumber daya alam itu.
Hal itu dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan dengan China untuk perdagangan di sektor sumber daya alam, khususnya logam tanah jarang. Komoditas itu sangat penting sebagai bahan baku teknologi canggih, seperti cip, telepon pintar, peralatan militer, kendaraan listrik, dan turbin angin.
Berdasarkan data Survei Geologi AS (USGS), pada 2022, China menyumbang 44 juta ton dari 115,82 juta ton atau 62,01 persen dari produksi tambang logam tanah jarang (rare earth) dunia. Negara produsen berikutnya adalah Vietnam (22 juta ton), Brasil (21 juta ton), Rusia (12 juta ton), dan India (6,9 juta ton).
Dominasi China itu memunculkan kekhawatiran. Beijing akan membatasi ekspor untuk merusak saingan ekonomi atau politiknya. ”Semula ancaman itu hanya tersirat selama beberapa waktu terakhir. Kini, ancaman itu sudah terjadi,” kata Robert Dujarric, co-director Institute of Contemporary Asian Studies di Temple University, Tokyo.
Hasil riset jaringan penelitian China in the World berupa China Index pada 2022 menunjukkan, AS dan Jepang bukan termasuk negara yang paling bergantung atau terpengaruh China. Dari 82 negara yang dikaji, pengaruh China terhadap AS dan Jepang masing-masing berada pada peringkat ke-21 dan ke-52.
Adapun 10 besar negara yang paling terpengaruh China secara berurutan adalah Pakistan, Kamboja, Singapura, Thailand, Peru, Afrika Selatan, Filipina, Kirgistan, Tajikistan, dan Malaysia. Faktor pengaruh atau ketergantungan itu beragam, antara lain terkait ekonomi, teknologi, militer, pendidikan, dan kebijakan luar negeri.
Dominasi China itu memunculkan kekhawatiran. Beijing akan membatasi ekspor untuk merusak saingan ekonomi atau politiknya.Perdana Menteri China Li Qiang (kiri) dan Presiden RI Joko Widodo (kanan) menuju ruang konferensi di Jakarta, Rabu (6/9/2023). ASEAN dan China bertemu dalam rangkaian KTT Ke-43 ASEAN.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak menggulirkan hilirisasi di sektor besi-baja dan nikel, ekspor Indonesia ke China semakin meningkat. Diversifikasi produk ekspor juga makin beragam dengan semakin menguatnya produk olahan berbasis bijih logam.
China in the World mencatat, tingkat pengaruh China terhadap Indonesia cukup tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-16 dari 82 negara. Sejumlah sektor di Indonesia yang paling terpengaruh China adalah kebijakan luar negeri dengan indeks 41 persen, teknologi (40,38 persen), kebijakan dalam negeri (37,2 persen), dan ekonomi (33,6 persen).Ini menandakan hilirisasi Indonesia yang ditopang investasi China mulai berhasil.
Proporsi nilai ekspor Indonesia ke China pada 2012 sebesar 11 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Hingga Juli 2023, proporsi nilai ekspor itu meningkat menjadi 24 persen.Nilai ekspor besi-baja RI ke China terus meningkat sejak 2016 hingga Juli 2023. Begitu juga dengan nilai ekspor nikel dan produk turunannya yang mulai tumbuh pada 2022 hingga Juli 2023. Indonesia akan bergantung pada China. Apabila terjadi sesuatu hambatan di pasar China, industri domestik bakal terkena dampaknya langsung. Untuk itu, diversifikasi pasar ekspor komoditas-komoditas yang sudah bernilai tambah tinggi itu sangat diperlukan.
Kendati begitu, kebergantungan Indonesia terhadap China juga telah berbuah positif. Dalam lima tahun terakhir defisit neraca perdagangan RI atas China semakin berkurang. Berdasarkan Portal Satu Data Kementerian Perdagangan, defisit neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China pada 2018 sebesar 20,84 miliar dollar AS.
Pada 2022, defisit tersebut berkurang drastis menjadi 3,69 miliar dollar AS. Kemudian, pada Januari-September 2023, defisit perdagangan nonmigas RI terhadap China 297,9 juta dollar AS. Defisit itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan defisit neraca perdagangan pada Januari-September 2022 yang mencapai 5,09 miliar dollar AS.
Hal itu tidak terlepas dari nilai ekspor nonmigas RI yang cenderung meningkat sejak 2018 di tengah stagnasi nilai impor RI dari China. Nilai ekspor RI ke China pada 2018-2020 yang bergerak di kisaran 24 miliar dollar AS-29 miliar dollar AS naik menjadi 45 miliar dollar AS-63 miliar dollar AS pada 2021-September 2023.
Sementara itu, nilai impor nonmigas RI dari China pada 2018-September 2023 bergerak di kisaran 44 miliar dollar AS-67 miliar dollar AS. Namun, dengan catatan, pada 2020-2022, permintaan China masih lemah akibat menerapkan kebijakan nol Covid-19. Di sisi lain, Indonesia diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas global, seperti minyak sawit mentah (CPO), bijih besi, dan nikel.
Pada dasarnya, kerja sama dengan China memang dapat menguntungkan Indonesia baik di sektor investasi maupun perdagangan. Namun, jangan sampai Indonesia terus bergantung pada China agar tidak mudah terpapar risiko perlambatan ekonomi China.
Di tengah arus friend-shoring atau relasi bilateral yang memprioritaskan negara-negara yang memiliki kesamaan pandangan politik dan ekonomi yang semakin menguat, RI justru diharapkan dapat membidik peluang kerja sama investasi dan perdagangan. Hal itu termasuk dengan negara-negara yang teraliansi blok Barat dan Timur.[]