Sumber: Indoprogress |
Buku ini hadir untuk merekonstruksi sejarah Perang Dingin. Penulisnya, Vincent Bevins, menunjukkan bahwa pengambilalihan militer—atas nama mencegah kudeta sayap kiri—di Brasil (1964) dan Indonesia (1965) mengarahkan kedua negara ke orbit antikomunis di bawah kepemimpinan Amerika Serikat. Kedua negara tersebut merupakan trofi penting bagi AS dalam perjuangan politik yang keras untuk menguasai Dunia Ketiga.
Dalam investigasinya, Bevins—yang pernah menjadi koresponden Los Angeles Times di Brasil—mewawancarai sekitar 100 narasumber akademisi, saksi mata, dan penyintas. Mantan koresponden Washington Post di Jakarta (2017-2018) itu juga berkunjung ke dua belas negara untuk menghimpun informasi. Upaya tersebut dilengkapi penelusuran dokumen resmi di AS yang telah berstatus declassified. Dedikasinya sebagai jurnalis telah membuat buku yang ditulis selama dua tahun itu diterjemahkan ke dalam lima belas bahasa.
Genosida
Seperti dijelaskan Bevins, represi terhadap kelompok progresif yang dilancarkan AS dilakukan dengan memadukan kebijakan ekonomi dan penguatan kebijakan luar negeri berdasarkan ”keamanan nasional”. Hal ini didasarkan pada tumbuhnya konsensus para perancang kebijakan AS setelah berakhirnya Perang Dunia II bahwa militer harus diberikan lebih banyak pengaruh di Dunia Ketiga, bahkan jika itu berarti melemahkan demokrasi.
Dengan latar semacam itu, buku ini bertutur tentang desain para perumus kebijakan di Washington untuk mengondisikan negara-negara Dunia Ketiga agar selaras dengan kepentingan globalnya. Untuk kasus Indonesia 1965-1966, Bevins menggambarkan bagaimana AS mengorkestrasi sebuah plot yang bertujuan menghentikan langkah Presiden Soekarno dalam melaksanakan politik berdikari.
Kegigihan Soekarno untuk menggalang solidaritas bangsa-bangsa Dunia Ketiga agar terbebas dari belenggu neokolonialisme dan neoimperialisme menjadi ancaman bagi kepentingan global AS. Buku ini menemukan sejumlah fakta tentang hubungan kerja sama antara Washington dan kelompok-kelompok militer sayap kanan di Asia dan Amerika Latin untuk merepresi gerakan rakyat.
Bukan tanpa tujuan jika Bevins mengambil sebagian judul buku ini dengan rangkaian kata ”Metode Jakarta”. Judul tersebut mengacu pada pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965-1966, di mana sekitar satu juta orang terbunuh sebagai upaya untuk menghancurkan politik kiri di negara tersebut. ”Metode Jakarta” merupakan replikasi atau kelanjutan yang berulang dari strategi pembasmian gerakan kiri di Amerika Latin, Asia, dan tempat lain.
Dengan sokongan AS, pembunuhan massal yang terjadi di negeri ini menjadi semacam tolok ukur, dan oleh karena itu, ”Jakarta” menjadi rujukan yang dilakukan oleh rezim-rezim militer sayap kanan dalam membasmi kekuatan-kekuatan progresif-kiri. Sejak pembantaian massal 1965-1966, ”Jakarta” menjadi metafor sekaligus kode untuk pemberantasan kaum komunis dan penggulingan pemerintahan kiri populis di seluruh dunia.
Kata ”Jakarta” muncul di Chile pada awal September 1973 menjelang kudeta berdarah terhadap Presiden Salvador Allende yang berhaluan kiri. Kata tersebut terpampang di dinding-dinding di ibu kota Santiago. Tahap berikutnya, para aktivis sayap kiri menerima kartu pos misterius tanpa identitas pengirim bertuliskan ”Jakarta akan datang”. Para pendukung Allende dengan cepat membayangkan bahwa kata ”Jakarta” merupakan pesan yang sengaja ditujukan agar ”siap” menerima kengerian tragedi 1965-1966 di Indonesia. Pada 11 September 1973, militer Chile yang dipimpin Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan Presiden Salvador Allende melalui kudeta. Dalam kudeta itu Allende memutuskan bunuh diri.
Kudeta Chile 1973 memiliki pola yang sama dengan penggulingan Soekarno di Indonesia. Kedua presiden memiliki komitmen kuat membangun negaranya berdasarkan prinsip berdikari dan keadilan sosial. Allende dan Soekarno berhaluan progresif, dan oleh karena itu, dimusuhi kaum konservatif yang disokong Washington. Setelah kejatuhan Allende dan Soekarno, kedua negara dikendalikan rezim militer bertangan besi dan membangun sistem ekonomi dalam orbit kapitalisme global yang dipimpin AS.
Sama seperti Orde Baru, dalam menyelenggarakan kekuasaannya, junta militer Chile melakukan berbagai bentuk pelanggaran HAM sistematis, termasuk kekerasan fisik dan seksual yang mengerikan, serta membuat kerusakan psikologis bagi para pembangkang. Dari tahun 1973 hingga 1990, sebanyak 27.255 orang mengalami penyiksaan dan 2.279 lainnya dieksekusi. Dalam periode itu, junta militer Chile secara serius melembagakan ketakutan dan teror kepada rakyat.
Dengan demikian, ”Jakarta”—sebagai leksikon geopolitik era Perang Dingin—menjadi model kediktatoran militer sayap kanan Amerika Latin selama dua dekade berikutnya. Mengikuti model pembasmian gerakan kiri di Indonesia dan Chile, pada tahun 1976 AS mengoordinasi sebuah program yang dinamakan Operasi Condor. Operasi yang difasilitasi dan dibiayai Badan Pusat Intelijen AS (CIA) ini berlangsung di Argentina, Bolivia, Brasil, Chile, Paraguay, Peru, dan Uruguay.
Operasi Condor menyasar para pemimpin partai politik berhaluan kiri, pemimpin serikat pekerja, petani, seniman, advokat, pendeta, biarawati, pelajar, guru, intelektual, dan gerilyawan. Mereka dinilai mengganggu stabilitas keamanan yang amat diperlukan bagi model pembangunan yang berorientasi pada kapitalisme, dan oleh karena itu, perlu ”dihabisi”. Melalui ”daftar kematian” yang telah disusun sebelumnya oleh dinas intelijen, mereka yang mencita-citakan visi yang berbeda dengan selera rezim diculik, disekap, disiksa, dan dibunuh secara keji.
Hingga operasi ini berakhir pada tahun 1989, sebanyak 60.000-80.000 orang tewas terbunuh, sementara sekitar 400.000 orang menjalani masa tahanan disertai dengan berbagai metode penyiksaan yang mendirikan bulu kuduk. Fenomena ini digambarkan sebagai genosida. Genosida menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa didefinisikan sebagai ”tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama”.
Di sisi lain, selama Perang Dingin, AS mempropagandakan ”free world” ke seluruh dunia. Makna free world dinyatakan sebagai nilai-nilai demokrasi liberal di mana kebebasan individu dan humanisme menempati posisi sentral sebagai lawan dari otoritarianisme. Ironisnya, para pengkhotbah fanatik free world di AS adalah bagian dari mereka yang secara sadar ikut merancang program pembantaian massal ini.
Hantu Perang Dingin
Alur buku—yang merupakan terjemahan dari The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (Public Affairs: New York, 2020)—itu tidak berakhir dengan nada rekonsiliasi. Perang Dingin sudah usai lebih dari dua dasawarsa lalu dengan kemenangan di tangan AS dan para sekutunya. Jurnalis yang lahir pada tahun 1984 di California, AS, itu menyimpulkan bahwa perjuangan Dunia Ketiga berakhir dengan prospek terbatas pada periode usainya Perang Dingin. Meminjam kata-kata Bevins, ”Aman untuk mengatakan bahwa gerakan Dunia Ketiga berantakan, jika tidak musnah.”
Meski sebagian besar Dunia Ketiga kini hidup di alam demokrasi, era Perang Dingin telah memberikan dampak destruktif bagi kemanusiaan. Indonesia boleh jadi yang terparah dibandingkan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Negeri ini menderita korban manusia terbanyak dalam konflik dan kekerasan di era Perang Dingin. Sementara negeri-negeri Amerika Latin telah membentuk komisi kebenaran untuk mengungkap sejarah hitam mereka, di Indonesia para pelaku masih menikmati status impunitas.
Saksi bisu kuburan massal korban kekerasan 1965-1966 di Indonesia masih tetap hening. Kekerasan dan keheningan itu kini menyatu dalam memori kolektif publik yang terkubur lebih dari setengah abad lalu. Sementara itu, sisa-sisa para penyintas yang renta saat ini harus menanggung stigma masa lalu yang kelam.[]