Sumber: Opinia |
Badan Pusat Statistik pada awal November 2023 melansir tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2023 sebesar 5,32 persen atau turun 0,54 persen dibandingkan dengan Agustus 2022. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 pun tingkat pengangguran turun 0,13 persen.
Secara nominal, jumlah pengangguran terbuka per Agustus 2023 tercatat 7,86 juta orang, turun sekitar 560.000 orang dibandingkan dengan Agustus tahun 2022. Jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 juga terjadi penurunan sekitar 130.000 orang.
Penurunan pengangguran ini cukup menggembirakan karena menjadi indikator pulihnya perekonomian setelah didera pandemi Covid-19. Perekonomian yang mulai berputar normal telah meningkatkan permintaan akan barang dan jasa. Produksi meningkat sehingga sumber daya manusia sebagai faktor produksi dibutuhkan lebih banyak. Terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Namun, jika dilihat lebih rinci dari data pengangguran, jumlah pengangguran yang turun ini disebabkan berkurangnya tingkat pengangguran di kalangan yang berpendidikan rendah dan menengah. Sementara tingkat pengangguran di kalangan berpendidikan tinggi atau kalangan yang mengenyam bangku kuliah justru bertambah.
Tingkat pengangguran pada kelompok yang pendidikan terakhirnya tamat SD dan SMP turun sekitar masing-masing 1 persen dibandingkan dengan setahun yang lalu. Penurunan pada kelompok yang pendidikan terakhirnya SMA angkanya lebih rendah, yaitu 0,4 persen. Sementara pada kelompok pendidikan diploma, pengangguran meningkat 0,2 persen dan pada kelompok pendidikan terakhirnya sarjana universitas meningkat 0,38 persen.
Hal ini menunjukkan lapangan kerja yang tersedia lebih banyak diisi oleh kalangan yang berpendidikan rendah, bagi lulusan SMA ke bawah. Hal ini bisa diartikan kualifikasi yang dibutuhkan untuk bekerja memang bukan untuk kalangan yang berpendidikan diploma ke atas. Karena lulusan perguruan tinggi umumnya berada di perkotaan, pengangguran pun banyak terjadi di perkotaan.
Jika dilihat per wilayah, penurunan pengangguran paling banyak terjadi di Bali, yang turun sekitar 2 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara yang paling sedikit penurunannya, artinya jumlah pengangguran tidak jauh berubah, adalah di Jambi, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua Barat dengan penurunan kurang dari 0,1 persen.
Pengangguran dari kalangan terdidik sempat meningkat cukup tajam pada saat awal pandemi Covid-19 tahun 2020. Terjadi penambahan 330.000 lulusan dari diploma dan sarjana universitas yang menganggur pada Agustus 2020 dibandingkan dengan Agustus 2019. Jumlahnya 1,28 juta orang atau 13,2 persen dari total pengangguran yang ada.
Pengangguran kalangan terdidik ini berhasil turun secara perlahan seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi. Pada Agustus 2022, jumlahnya berkurang menjadi 832.975 orang atau 9,9 persen dari total pengangguran yang ada.
Hanya saja, pengangguran kelompok ini mulai meningkat lagi sejak Februari 2023 menjadi hampir 1 juta orang atau 11,8 persen dari total. Padahal, pandemi sudah teratasi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sudah dihapuskan, dan kondisi ekonomi relatif sudah kembali normal.
Pascapandemi, pasar tenaga kerja berubah. Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengenai The Future of Jobs Report 2023 menyebutkan tren ekonomi, kesehatan, dan geopolitik telah mengubah pasar tenaga kerja global secara berbeda-beda.
Meskipun pasar tenaga kerja yang ketat umumnya terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi, pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah masih mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Menurut WEF, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan berkurangnya lapangan kerja, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, berkurangnya pasokan dan meningkatnya biaya bahan baku, serta meningkatnya biaya hidup masyarakat. Ketersediaan lapangan kerja masih menjadi tantangan besar pascapandemi Covid-19.
Untuk Indonesia, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga 2023 (4,94 persen) harus diwaspadai akan semakin menurunkan permintaan akan tenaga kerja. Terutama bagi kalangan terdidik yang umumnya mengharapkan upah atau gaji yang lebih tinggi.
Berkurangnya permintaan akan tenaga kerja itu diperparah oleh kondisi meningkatnya biaya produksi yang memberatkan perusahaan atau disrupsi teknologi yang menyebabkan bisnis proses menjadi lebih terdigitalisasi.
Disrupsi teknologi sangat berdampak pada pasar tenaga kerja. Sejumlah pekerjaan baru muncul akibat dari kombinasi tren makro dan adopsi teknologi. Begitu pula sebaliknya, dapat menghilangkan sejumlah jenis pekerjaan.
Beberapa jenis pekerjaan baru yang tumbuh terkait dengan adopsi teknologi menurut WEF, antara lain, adalah spesialis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), pembelajaran mesin, dan analisis keamanan informasi. Juga insinyur atau teknisi energi terbarukan seiring dengan beralihnya perekonomian dengan memanfaatkan energi terbarukan.
Pertumbuhan lapangan kerja dalam skala besar diperkirakan terjadi di bidang pendidikan, pertanian, perdagangan, dan pasar digital. Pekerjaan di industri pendidikan akan tumbuh sekitar 10 persen, yang akan menghasilkan tiga juta pekerjaan tambahan bagi guru pendidikan kejuruan dan tenaga pendidik di perguruan tinggi.
Pekerjaan bagi para profesional pertanian, khususnya operator peralatan/mesin pertanian, diperkirakan juga akan meningkat sekitar 30 persen, yang akan menghasilkan tambahan sebanyak tiga juta pekerjaan.
Adapun pekerjaan yang mendukung digitalisasi, seperti spesialis e-commerce, spesialis transformasi digital, serta spesialis pemasaran dan strategi digital, diperkirakan akan membuka 4 juta pekerjaan yang baru.
Pencari kerja antre memasuki bursa kerja di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (26/7/2023). Secara keseluruhan, pasar tenaga kerja global telah mengalami gejolak pada tahun ini.
Adapun lapangan kerja yang mengalami penurunan paling cepat terkait dengan peran administrasi dan sekretaris, teller bank, petugas layanan pos, kasir, petugas penjualan tiket, petugas entri data, dan lainnya.
Dengan berubahnya kebutuhan akan tenaga kerja akibat disrupsi teknologi, kegamangan pun melanda para pemberi kerja atau pemilik perusahaan. Hal itu terkait dengan berubahnya keterampilan yang dibutuhkan seiring dengan digitalisasi.
Para pemilik perusahaan pesimistis dengan ketersediaan tenaga kerja yang sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan di masa mendatang. Kesenjangan keterampilan dan ketidakmampuan mendapatkan tenaga kerja atau talenta yang sesuai menjadi hambatan dalam transformasi industri.
Namun, berdasarkan studi WEF, terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan hasil dari identifikasi oleh organisasi. Hal itu, antara lain, menawarkan pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan bagi tenaga kerja yang dimiliki atau merekrut talenta baru dengan tawaran upah yang lebih tinggi. Keduanya membutuhkan biaya, tetapi biaya untuk pilihan yang kedua bisa jadi lebih besar.
Turun naiknya penyediaan lapangan kerja akan terus dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pendidikan tinggi dalam menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. []