Sumber: Prabu News |
Mereka berduyun-duyun dan berkerumun yang menambah meriah kala sebuah grup vokal perempuan manggung. Mereka kompak menari dengan satu tangan memegang mikrofon di panggung kecil di dekat eskalator.
Penggemar mereka nyaris semuanya laki-laki. Gegap gempita para wota, sebutan bagi fans berat, grup musik bergaya Jepang itu lantang turut bernyanyi, menyerukan pujian pada idolanya di atas panggung, sambil terus meloncat-loncat energik. Kalau mau, nimbrung saja. Gratis.
Di lokasi yang sama, terpisah dari ”kegilaan” para wota, para remaja berkostum ala tokoh anime atau manga sibuk menunggu giliran tampil di panggung. Kaum muda dengan tatanan rambut, pakaian, detail pernak-pernik lengkap sesuai tokoh panutan atau cosplay itu memastikan karakternya sempurna. Mereka beraksi bak sosok yang ditiru saat difoto.
Siapa pun yang lewat tersedot perhatiannya oleh ulah para wota, wibu, dan otaku tersebut. Ketiganya adalah subkultur yang tumbuh dari kelompok penyuka budaya pop Jepang.
Wibu merujuk pada mereka yang tergila-gila dengan budaya Jepang walau bukan warga ”Negeri Matahari Terbit” itu, bahkan belum pernah berkunjung ke sana. Otaku menempel pada pehobi berat manga dan anime Jepang yang sering mengekspresikan kesukaan mereka itu dalam kesehariannya.
Ada irisan-irisan dalam kelompok pendukung tiap subkultur yang bisa memicu terbentuknya subkultur baru. Pelaku cosplay, misalnya, bisa disebut subkultur terpisah karena tidak semua penyuka manga dan anime otomatis hobi berdandan ala tokoh idolanya.
Tak selalu menyimpang
Namun, subkultur tak hanya yang berkenaan dengan budaya pop Jepang.
Teori subkultural pertama kali dikembangkan para sarjana sosiologi di Chicago School di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Chicago School mengeksplorasi keberadaan perilaku menyimpang dan membahasnya sebagai produk dari masalah sosial dalam masyarakat.
Pada perkembangannya, subkultur tak selalu berarti penyimpangan atau perilaku yang melawan norma umum. Subkultur atau subbudaya kemudian diterjemahkan sebagai sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan berbeda dengan kebudayaan induk mereka.
Subkultur lahir karena ada perbedaan usia, ras, etnisitas, kelas sosial, jenis kelamin, dan/atau jender anggotanya. Dapat pula terjadi karena perbedaan estetika, agama, politik, dan seksual, ataupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Anggota dari suatu subbudaya biasanya menunjukkan identitas mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu.
Menurut sosiolog Robert King Merton, individu belajar mengenal tujuan-tujuan penting kebudayaan dan mempelajari cara-cara mencapai tujuan yang selaras dengan kebudayaan. Apabila kesempatan untuk mencapai tujuan itu tidak ada atau terkendala, individu-individu mencari alternatif. Perilaku alternatif itu bisa berupa penyimpangan sosial.
Merton menyebutkan, ada empat perilaku menyimpang, yaitu inovasi, ritualisme, peneduhan diri, dan pemberontakan. Setiap perilaku itu berpotensi menelurkan subkultur baru.
Subkultur ada di setiap budaya. Di perkotaan, subkultur tumbuh subur yang didorong beberapa hal, yaitu desain kota, situasi kawasan urban dan masyarakatnya, serta teknologi.
Subkultur yang berakar dari Jepang dan Korea Selatan kini begitu mudah dikenali. Di luar itu, berkembang kelompok-kelompok yang memiliki perilaku khas yang berpotensi besar atau bahkan sudah menjadi subkultur.
Para pengemudi ojek daring, misalnya, telah menjadi kelompok massa yang memiliki solidaritas tinggi antarmereka. Para pengguna angkutan umum juga punya kesamaan dan saling berbagi suka duka ataupun tips serta informasi penting lewat media sosial.
Ada orang-orang yang tertarik masuk dalam suatu kelompok tertentu berdasarkan kegemaran main gim, olahraga atau aktivitas kebugaran, pencinta lingkungan, serta hobi lain, termasuk kulineran.
Berkembang di mal
Walau tak semua bisa mendapat tempat di pusat perbelanjaan, mal telah menjadi salah satu wadah ideal bagi perkembangan subkultur di kota. Pusat belanja dan bangunannya menjadi tempat strategis untuk berkumpul para pengusung subkultur dari berbagai penjuru kota, bahkan dari pelosok negeri.
Di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, pernah dan masih berlaku istilah mall goth. Mall goth atau mal gotik ini muncul berkat aktivitas subkultur gotik.
Menurut The Conversation, gotik adalah subkultur yang tidak akan pernah mati.
Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di Inggris, gaya berbusana pendukung subkultural gotik mulai menjadi tren alternatif. Mereka mengejar gaya berbeda dengan menyerbu toko-toko penjualan pakaian bekas dan bursa amal, mendaur ulang pakaian yang didominasi warga hitam atau gelap, dan membuat baju serta aksesorinya sendiri.
Riasan tebal dengan banyak pernak-pernik dari metal menjadi salah satu ciri khas mereka. Tak lupa rambut dicat dengan warna gelap atau menyala tegas, seperti putih, merah, sampai ungu.
Hingga saat ini, subkultur ini berkembang dan diadopsi oleh subbudaya lain. Perancang busana papan atas mulai berminat dan industri pun tertarik. Gaya pakaian gotik ikut meramaikan peragaan busana. Berbagai produk massalnya menembus gerai-gerai di pusat belanja.
Pengikut subkultur ini meluas dan kian lengket dengan mal. Mal sebagai tempat membeli kebutuhan gaya busana mereka, lokasi jumpa darat sesama penganut gotik, ada juga yang sekadar ikut arus tanpa tahu pasti aliran yang diikuti. Istilah mal gotik terbit menandai tren subbudaya ini.
Relasi harmonis antara mal, dunia industri, dan subkultur urban seperti fenomena mal gotik terlihat pula pada tren subkultur budaya Jepang. Berbagai kegiatan subkultur lain tak ketinggalan makin terbiasa menggelar acara disertai demonstrasi di mal.
Individu dan sosial
Maraknya aktivitas pendukung subkultur urban di mal pada dasarnya menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, tetapi juga individual. Kaum urban seperti berlomba menjadi bagian kelompok subkultur apa saja demi menemukan jati diri, pembeda dari yang lain. Menjadi terlihat dan eksis di bawah bayang-bayang budaya kota sebagai induknya.
Akan tetapi, dengan tetap berada di dalam cangkang besar budaya pop urban yang mewujud dalam bentuk mal, mereka menunjukkan subkulturnya sejajar dengan subkultur lain, saling memengaruhi, bahkan bisa saling menikmati satu sama lain. Sikap merendahkah atau menstigma subbudaya tertentu sudah ketinggalan zaman.
Kota yang tak pernah terlepas dari aspek kegiatan ekonomi menjadi kian dinamis, kian menarik, berkat beragam subkultur. Jadi, jika memutuskan ke mal lagi akhir pekan ini, pasrah saja menerima diri bagian dari kaum urban. Malu, ragu, gengsi, simpan dulu. Rayakan kemajemukan yang sangat kaya ini.
Penulis:
Rima Michela
(Komunitas Kajian Sosial Lamalera)