Iklan

Politisasi "Kalah" dan Musuh-Musuhnya

narran
Senin, 19 Februari 2024 | Februari 19, 2024 WIB Last Updated 2024-02-19T05:10:28Z

kalah, politik, kekalahan, pemilu, rakyat
Foto: Daily Sabah
NARRAN.ID, OPINI - Ada beberapa hal yang mesti disyukuri selepas Pemilu 2024 kemarin, yakni wacana bahasa dan obrolan kita mulai biasa saja. Diskusi kian mengarah ke konsep lebih jernih bahkan mungkin tidak ada lagi perasaan yang ilusif akibat desakan mengungkapkan pilihan-pilihan politik sempit. Tidak ada yang kalah kecuali kita merasa dikalahkan. Sebab hanya perasaan demikian yang menyatakan diri seseorang sebenar-benarnya kalah.

Masyarakat biasa yang telah totalitas memberikan satu suaranya tidak boleh merasa iri hati pada kalkulasi yang kita sendiri tidak tidak mengerti hitungan ilmiahnya secara terbuka. Masyarakat kecil harusnya bisa berbangga diri sejauh ini menyatakan pilihan dan memberikan hak pilihannya sesuai prosedur yang baik dan diwadahi. Kekalahan tidak bisa diceritakan bahkan diperdebatkan, kesimpulannya sederhana bahwa sebuah kekalahan memiliki psikologi yang tidak tenang bahkan kebencian. 

Saya mengutip pernyataan petinju legendaris, Muhammad Ali, dia pernah meneriakkan ke seluruh dunia bahwa dirinya sebagai The Greatest, pernah kalah dari Joe Frazier dan retak di rahangnya. 

Ini sebuah kekalahan telak yang memalukan? “Maka, orang-orangku pun dengan cekatan membawaku ke ruang ganti pakaian dan menutup pintu bagi siapapun, terutama bagi para wartawan yang pasti akan memburu pertanyaan dariku.” Pernyataan itu dimuat di dalam buku Ali, I am The Greatest, Kalah, menurut Ali, membuatnya merasa seperti telanjang di muka umum: dingin, malu. 

Tapi Ali orang besar. Kepada “orang-orangnya” dia meminta agar pintu dibuka dan para wartawan bebas masuk. “Suruh mereka kemari. Ketika aku menang, mereka bertanya kepadaku bagaimana perasaanku. Kini, ketika aku kalah, mereka juga boleh bertanya dan aku akan bicara kepada mereka seperti ketika aku menang.” Hanya orang besar yang memiliki kebesaran jiwa seperti itu. 

Berbeda

Kalah berbeda sekali dengan mengalah. Yang pertama adalah hasil dari keadaan dan ketentuan. Sementara, yang kedua merupakan penyikapan atas hasil, kalah dan menang hanya masalah angka, bukan segala-galanya. Apalah artinya kemenangan bila ketentuan dipaksakan dan aturan dilanggar oleh sempitnya kepentingan dan tujuan.

Politisasi atas kekalahan terjadi pada banyak peristiwa. Asal-usul persoalan dicari-cari sebagai alasan. Penerimaan hasil bukan kebijakan mengakui, melainkan dihindari semata-mata demi memaksakan kemenangan dan ego diri.

Kalah seringkali menyesakkan di tengah euforia harapan manusia. Batas antara netralitas dan objektivitas penerimaan kabur ketika seseorang mengalami kekalahan. Politik jadi ajang kepentingan dan bukan sepenuhnya kejujuran dan ketulusan menerima hasil. Akibatnya, kalah 'harus' dihindari. 

Sejarah mencatat, pembelaan barangkali penting bagi orang kalah, kejujuran hanya indah didengungkan, tetapi sulit dipraktekkan. Kemenangan dan kebencian dianggap prioritas utama dibanding shahih mengamalkan kewajiban antar kita, antar manusia. Ruang balas dendam ternyata melintasi waktu. Hubungan perang dan olahraga dianggap sinkron dalam politik kepentingan apapun dalam kasus tersebut. 

Masalahnya, siapa pun mungkin kalah, searti pula dengan siapa pun mungkin menang. Umumnya, persoalan kalah lebih serius dipikirkan dibandingkan dengan persoalan kemenangan. Padahal, di balik kemenangan jangan-jangan kita tengah melakukan pemaksaan kehendak dalam kebusukan mental personal dan kolektif, tetapi kita lupa atau tidak peduli dengan cara-cara sepantasnya yang berlaku ideal. Seringkali yang diburu adalah selisih angka, sebuah keuntungan diri yang dihitung dari penderitaan pihak lain.

Kapan fenomena “kalah-menang” ditentukan? Dalam dunia persilatan, seorang jagoan bisa saja dirobohkan— bahkan dibunuh tandas beserta keluarganya—tapi adakah itu tanda kemenangan bagi jagoan yang membunuh mereka? Dapatkah sang jagoan kemudian berpangku tangan, menikmati kemenangan, dalam ketenangan yang tak mungkin terusik? Tidak. Dunia jagoan tak mengenal “kalah-menang”. Jagoan tak boleh lengah. 

Tokoh yang dikalahkannya tadi boleh jadi memiliki guru, beserta saudara-saudara seperguruan, yang siap membalas dendam. Jagoan yang membunuh tadi, yang kita sebut “menang”, sebenarnya selalu terancam bahaya. Kecuali bila sang jagoan menguasai jurus-jurus “langit” yang tak dikenal di bumi. Juga bila tokoh itu memiliki ilmu masa lampau yang tak lagi dikenal di zaman ini, sedang semua musuhnya bukan jenis orang dari masa lampau. Itu sama sekali tak ada jaminan bahwa yang “menang” bakal tetap “menang” selamanya. 

Di dunia politik pun fenomena “kalah-menang” itu “subtil”, “sumir”, tidak “telak”, dan tidak”mutlak-mutlakan”. Idiom “winning the battle, losing the war”, memenangi pertempuran tapi kalah dalam perang, secara keseluruhan kelihatannya menjelaskan dengan bagus sekali ruwetnya perkara “kalah-menang” itu. 

Tapi kemenangan pertempuran itu tak pernah diikuti kemenangan dalam perang yang lebih besar. Mereka kelihatannya menang, tapi sebenarnya kalah telak dan memalukan. Untung mereka sudah tak lagi memiliki rasa malu. Semangat “asal ada UU atau peraturan” kelihatannya membikin kehidupan kita menjadi dangkal, kekanak-kanakan, dan naif dalam pengertian yang lebih sejati. Kita dibuat kehilangan kearifan yang dulu menerangi kegelapan jiwa kita bersama. 

Orang yang kalah memang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mengalah. Orang yang kalah itu ada pada banyak keadaan, tidak menang pilkada, tidak lulus CPNS, SNMPTN, bangkrut, atau beragam jenis aktivitas yang berakhir rugi dan modal tidak kembali. Kalah dapat dijelaskan dengan perhitungan terlihat, fisik yang lebih tampak berbeda dari mengalah yang nonfisik. 

Anarkisme tak jarang jadi cara menanggapi kekalahan. Dianggapnya apa pun selesai dengan cara merusak dan menghancurkan. Padahal, kalah tetaplah kalah, hanya mungkin dianulir oleh siapa pun yang berani mati. Anarkisme menjelaskan kepanikan pelaku, sekaligus kemarahannya. Argumentasi sehat dianggap terlalu mahal dikedepankan. Jadilah kemudian kasus apapun dicurigai sebagai ajang politis baru bahwa kalah akan membongkar aib orang, elite politik, parpol, termasuk kedudukannya, dan sebagainya. Kalah tidak ditanggapi sebagai realitas yang netral kebenarannya dan patut ditempatkan kelayakannya. Yang terjadi, konfrontasi atas kekalahannya.

Mendalam

Kalah dapat berarti juga tidak beruntung. Inggris bolehlah tidak beruntung karena cara-cara Maradona. Seringkali masalahnya "Dewi Fortuna" tidak jadi bagian integral hidupnya. Akan tetapi pada banyak gejala, kalah bertendensi kegagalan, hasil yang menyesakkan dalam aktivitas atau kompetisi apa pun. Yang kalah adalah yang menyerah. Memang terdapat kemenangan yang sering dipaksakan. Dalam kenyataan demikian, kalah adalah hasil kesatria yang tidak patut ditangisi keberadaannya. Justru ketika kalah adalah direncanakan sepihak, dicurangi, yang kalah sesungguhnya adalah sang pemenang juara tanpa piala, pahlawan tanpa penghargaan.

Kalah sebagai hasil yang telah diperjuangkan bukanlah kalah dalam pengertian gagal, tetapi kalah dalam ketidakberuntungan. Menegakkan muka masih patut dilakukan, standing applause masih patut dihargakan bagi pahlawan-pahlawan yang tidak mengenal lelah melakukan perjuangan. Yang kita hargai adalah semangat juang, motivasi tanpa kecuali. Sikap demikian sangat penting dalam mengedepankan kualitas dan kompetensi sebagai kelayakan. Kelak persoalannya bukan suka atau tidak (like and dislike), tetapi responsif pada siapa dan pada apa kelayakannya. 

Dapat dikatakan, orang-orang mengalah di atas lebih baik dari yang kalah. Ini bukan karena penolakan hasil, tetapi kemauan diri menerima, merefleksi diri. Jiwa matang hanya akan tumbuh dari seseorang yang elegan, dan mengalah adalah elegan pada keadaan. Mengalah adalah tidak memaksakan keinginan, elegan pada hasil, menghargai proses dan cermin kemanusiaan diri pelaku. 

Mengalah tidaklah mementingkan hasil, melainkan ajaran bahkan ajakan pada kebaikan. Mahatma Gandhi melalui Ahimsa (anti kekerasan), begitupun Nelson Mandela dalam politik Apartheid Afrika Selatan, adalah contoh sosok 'pengalah' demi meretas kebaikan melawan kekerasan penjajah dan politik rasial. 

Orang-orang yang mengalah boleh jadi adalah orang-orang yang 'dikalahkan', tetapi cara mengalahkannya melalui beragam perencanaan pihak lawan. Bisa dengan kebaikan terselubung, memaksakan kehendak, memprovokasi kenyataan bahwa kemenangannya berarti persoalan atau bahkan kematian. Bagi pengancamnya yang terpenting semangat memenangkan dengan cara menghancurkan. Kalah akhirnya adalah 'pilihan' karena bagaimana mungkin nilai-nilai humanistis diraih bila pemaksaan kehendak dianggap 'solusi' damai sepihak.

Akan tetapi, kalah tanpa perjuangan searti dengan menyerah. Bahwa permainan hanya semata-mata menggugurkan kewajiban, dan bukan menikmati keha-rusan, gagal akhirnya adalah sesuatu yang memang ia persiapkan. Bagaimana mungkin pencapaian hasil akan maksimal bila perjalanannya tidak direncanakan? 

Kekalahan dan kemenangan seringkali jadi dokumentasi yang demikian penting. Dalam film, komik, buku, bahkan kaset, CD, DVD, kemenangan dan kekalahan bukan sekadar pelipur lara manusia, melainkan adalah sumber inspirasi dan motivasi, cermin mengawali apa pun bagaimana serta pembelajaran moral dan edukasi pada apa dan siapa.

Politik Hati Ke Hati

Betul bahwa politik adalah penentu ”siapa yang dapat apa”. Itu sebabnya tak jarang yang menang dengan gampang bersikap ”yang menang dapat semua dan apa saja pada setiap saat”. Namun, jangan juga dilupakan, politik mencerminkan kepiawaian, bahkan seni, buat mencari kompromi. Atau, tak ada yang tak mungkin dalam politik. Sejarah kita mencatat, bagaimana para pendiri RI kuat di dalam kemauan berkompromi saat membahas Mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 beserta pasal-pasal penjelasannya serta konflik fisik PRRI–Permesta dan pemerintah pusat yang diakhiri dengan kompromi pada tingkat militer di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Karena politik melibatkan berbagai aktor, mulai dari calo-calo politik di bagian paling bawah, lalu kelompok lobi yang berkerumun di seputar politisi, untuk memengaruhi para negarawan di bagian teratas, yang menonjol adalah kepentingan jangka pendek. Makin demokratis suatu sistem politik, makin menonjol peran kepentingan jangka pendek di dalam pergulatan politik. 

Kepentingan politik jangka pendek ini bertebaran di dalam sistem politik, mulai dari yang bersifat oportunisme, lalu yang bersifat pragmatisme, dan sedikit saja yang tidak bersifat transaksional—yang ditujukan untuk merumuskan macam kebijakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa-negara. Itulah yang dicoba kekang Presiden Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya dengan didekritkannya ”kembali ke UUD 1945” pada 1959. Sejak saat itu sampai dengan saat Reformasi, GBHN digunakan mengendalikan dan meredam politik dagang sapi itu.

Kalaupun masih tersisa ruang melawan atau mencoba merevisi hasil pemilu yang dianggap“tidak benar”, siapapun kita harus siap jika persangkaan itu justru keliru. Kita mesti waspada bahwa sebagian besar dari kita masih tidak memahami arti bersaing. Kerangka kalah dan menang dalam politik dipengaruhi keinginan berkuasa dan bukan persoalan menyelesaikan masalah sebenarnya. Kita tidak peduli siapa dia Anies, Prabowo, dan Ganjar Pranowo jika dihadapkan pada posisi publik yang memanas karena pemaknaan dan pemahaman “kalah menang” tidak seluas ketiga tokoh yang dimaksud

Tak heran, politik kemudian sering diwarnai rujukan yang paling rendah nilainya karena tarikan kepentingan jangka pendek itu. Maklum, yang menentukan keberhasilan bertahan di dalam posisi sebagai pemenang adalah keberhasilan memuaskan beragam kepentingan jangka pendek pendukungnya dan peserta koalisi. Pihak yang kalah pun akan melakukan oposisi dengan serangan bersifat kepentingan jangka pendek.


Penulis:
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politisasi "Kalah" dan Musuh-Musuhnya

Trending Now

Iklan

iklan