Iklan

Berhentilah Bicara Soal Palestina !

narran
Rabu, 20 Maret 2024 | Maret 20, 2024 WIB Last Updated 2024-03-20T11:26:57Z

gaza, palestina, israel,
Sumber: ArabNews
NARRAN.ID, OPINI - Kekerasan yang menimpa Penduduk Gaza kian hari menjadi ajang percobaan melatih nalar antara batas-batas puncak kekerasan dan serendahnya kemanusiaan. Jujur saya tidak tertarik dan muak dengan situasi dan kampanye di media sosial dengan fakta diluar batas kepedulian kita. Jumlah korban tewas dan hilang di Gaza kini telah mencapai jumlah korban genosida Muslim di Srebrenica, bahkan jumlah itu terus bertambah.

Negara Palestina seperti laboratorium percobaan, di mana politisi juga menggunakannya sebagai syarat kampanye. Negara timur tengah terlihat “kondusif ?” karena menemukan titik konflik yang “bukan daerahnya”. Palestina dalam dua dekade terakhir tidak menjadi simtom di mana rasa dukungan global tidak memberi tekanan “sifat genitnya” militer Israel yang saban hari selalu mengusik.

Dalam diksi celah keburukan narasi perlawanan Global, Palestina telah membantu agar teori sosial postkolonialisme cocok dan realitasnya ada. Di sisi lain, sejumlah kajian think-tank keamanan global masih mendapatkan studi kasus yang cukup memadai dari peristiwa di Gaza hingga saat ini. Siapa yang merawatnya?

Kita memasuki suasana yang mulai terbiasa mendengar seruan menolak, mengutuk, blokade, dan boikot. Efek gerakan itu terlihat nyata dampaknya, tetapi kita tahu bahwa Israel sudah memiliki “anti-bodi” dengan banyak minum asam garam dari peristiwa semacam ini.

Jumlah 193 negara anggota PBB bahkan tidak sekalipun membangun satu adagium perjanjian konkret, mereka masih bersembunyi kosa kata "kutuk". Kita seolah menyaksikan bahwa negara-negara pasca perang dunia II masih terlihat memiliki moral dan pandangan politik soal batas kerugian dan kekerasan sipil dari pada saat ini?

Bayangkan 

Cerita siklus kekerasan Gaza, dengan segala pre-text (dalih pembenaran) versi Israel, akan menemukan bentuknya yang sangat buruk dan terus berulang di masa yang akan datang, jika tidak ada langkah konkret masyarakat internasional untuk menghentikannya. Ini masalahnya!

Tidak ada banyak harapan di mana negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya tidak bisa berbuat banyak, kecuali sebatas mengutuk kekejaman Zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina. Sebab, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim didera berbagai masalah seperti kemiskinan, korupsi, despotisme, serta pertikaian horizontal dan vertikal yang tak berkesudahan, sehingga tidak berdaya dihadapan kolonial Israel yang didukung Barat.

Kesulitan itu seolah masyarakat timur tengah tidak begitu ingat imanjinasi dari semangat Pan-Islamisme atau Asshabiyyah (kesukuan) arab yang seringkali dijadikan mengikat persaudaraan tak kala terjadi perselisihan dan konflik di sekitarnya.

Alih-alih membantu perjuangan rakyat Palestina, dunia Islam justru menjalin hubungan dengan kolonial Israel, baik langsung maupun tidak langsung. Hingga kini, sejumlah negara Arab dan mayoritas muslim memiliki hubungan resmi dengan bangsa penjajah ini. 

Sebut saja Turki, Mesir, dan Yordania, disusul Uni Emirat Arab, Maroko, Bahrain, dan Sudan. Adapun Arab Saudi, yang selama ini dikenal memiliki hubungan ‘di bawah meja’ dengan kolonial Israel, belakangan berupaya membangun kesepakatan untuk menormalisasi hubungan kedua negara.

Rumusan negara Palestina menjadi simbolik yang kini tidak menggerakan apapun untuk menghentikan itu. Semua ditutupi oleh slogan dan munkin diksi konferensi internasional fiktif.

Di atas semua realitas politik yang berpihak pada kolonial Israel, janji Tuhan dalam kitab suci dijadikan dalil dan dalih untuk menduduki tanah Palestina. Sungguh absurd, eksistensi sebuah negara bangsa modern ditentukan oleh janji primordial ribuan tahun silam.

Persepsi dan Asa

Lebih jauh, seperti ditulis Gideon Levy, kolomnis Haaretz (16 Mei 2021), “Tidak ada hal yang disepakati semua [kebanyakan] orang Yahudi Israel, terlepas dari spektrum ideologi politik, melebihi daripada dilancarkannya perang terhadap Palestina.”

Selama persepsi di atas di dukung sebagian negara adidaya, dengan tambahan sokongan senjatan dan dana tetap saja menjadi bumerang. Keyakinan primordial atas janji Tuhan juga menjadi panduan bagi sebagian besar Yahudi dan non-Yahudi di luar tanah Palestina. 

Siapa sangka bahwa di AS, misalnya, dari sejumlah survei lintas tahun oleh Gallup dan AJC, terungkap sebagian besar--antara 60% dan 95% --Yahudi Amerika memiliki keterikatan emosional dengan Zionis Israel atau pro eksistensinya di tanah Palestina. Adapun 70% kalangan Evangelis kulit putih di ‘Negeri Paman Sam’ itu menyakini Palestina adalah tanah yang dinjanjikan Tuhan kepada kaum Yahudi (Pew Research Center, 2022).

Ini Bukan Soal Palestina

Kampanye ke depan bukan lagi soal tanah hak masyarakat Palestina tetapi menyambungkan derajat hak kehidupan yang tertidas di Gaza menjadi perasaan yang sama. Jikalau memang mengharuskan vandalisme kenapa tidak? 

Saya tidak hendak mengatakan kekerasan “boleh” berbalas kekerasan. Sebagai perbandingan, perlakukan yang diulang-ulang dan menyangkut nyawa dengan metode kekerasan maksimal terhadap sipil tidak bersenjara adalah satu tindakan yang harusnya direspon yang sama.

Apakah narasi ini berbahaya, kalau kita sangkutkan pada batasan kita sebagai warga negara berdaulat memang kita dibatasi ikut campur secara terbuka. Satu-satunya cara dilakukan hanya berdoa, donasi, dan campaign. Cukup?

Kita masih belum ada gerakan masif dan terbatas masih kampanye “Bela Palestina”, paling tidak kita harus terbiasa mendesak “Keluarkan negara arab dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI)” bukankah Indonesia masuk di dalamnya?

Ketahuilah konflik Palestina-Israel adalah pemindahan kebencian orang Eropa terhadap orang Yahudi ke tanah “Arab”. Sedangkan tabiat orang Yahudi tetap sama, menjadi parasit di Eropa dan menjadi binatang buas di Timur Tengah.

Sebagai saudara jauh kekerasan Gaza hanya jadi pengingat dan ujian atas batasan kita yang tidak melakukan banyak hal. Paling tidak kita mestinya mulai terbiasa menempatkan dan mempertanyakan posisi negara arab yang meriah nan kaya itu dalam situasi Gaza saat ini.  


Penulis :
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Berhentilah Bicara Soal Palestina !

Trending Now

Iklan

iklan