Iklan

Makan Main Iman!

narran
Kamis, 14 Maret 2024 | Maret 14, 2024 WIB Last Updated 2024-03-14T08:45:44Z

takjil, konsul, boros, pesta, iman,
Sumber: FoodTrav
NARRAN.ID, OPINI - Berapa hitungan sisa-sisa makanan di bulan Ramadhan setiap tahunnya. Adakah pemerhati secara matematis menghitungnya. Jika besaran itu ada konklusi untuk menyertai ibadah puasa bisakah itu sebanding dengan kebutuhan sebenarnya. Hilangkan dahulu soal selera, kepekaan penghitungan makanan sisa bisa berdampak secara ekonomi pra-jual namun menimbulkan moril pasca-jual.

Kata filsuf, ”Semakin sedikit uraiannya, semakin besar dustanya.” Tetapi, saya harap esensi artikel ini tidak berisi dusta. Isinya terkait salah satu isu yang sedang marak belakangan: membuang-buang makanan (food waste).

Keberkahan lain dari Ramadhan adalah makanan itu sendiri. Nilai fungsinya mencerminkan kebiasaan dan tujuan puasanya sendiri. Secara umum manusia memang suka makan. Sampai-sampai seorang penulis bernama Alan Wolfelt berujar, ”Makanan adalah simbol cinta ketika kata-kata saja tidak cukup.” 

Bagi yang merasa suka makan, kalimat di atas mungkin saja akan cepat diamini. Namun, masalah menjadi mengemuka ketika kebiasaan suka makan ini tidak dibarengi kemampuan mengelola makanan yang diambil atau ditawarkan dengan bijak.

Pada gilirannya ini akan melahirkan kebiasaan mengambil makanan terlalu banyak, di luar takaran. Makanan yang diambil jadi tidak habis, dan berujung pada membuang makanan yang diambil tadi. Ini sebenarnya masalah serius.

Cukup mengagetkan mengetahui laporan Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa Indonesia berada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbesar di dunia (300 kilogram per orang).

Tentu, bisa saja banyak aspek yang menyumbang praktik membuang sampah makanan ini. Tetapi, aspek ketidakmampuan mengelola makanan oleh individu atau kelompok tampaknya turut berpartisipasi aktif dalam kebiasaan membuang makanan pada sebagian anggota masyarakat di Tanah Air.

Pola Lama

Tanpa disadari “perburuan” takjil menjadi masalah serius secara sosial dan psikologis. Dalam kategori Psikologi dapat digolongkan sebagai Compulsive Shopping Disorder (CSD) atau gangguan pembelian kompulsif, yakni kecanduan membeli barang yang berlebihan dan tidak dibutuhkan. Terdapat perasaan tidak lengkap kalau tidak ada ini dan itu saat agenda makan. Peristiwa ini terjadi secara masif saat buka puasa.

Siapa bilang juga bahwa makan bukan penentu kadar moral kita? Asumsi ini berlebihan namun sulit dibantah. Sebab negeri kita ternyata masih belum sepenuhnya lepas dari tantangan kelaparan yang dialami penduduknya. Global Hunger Index 2021 menyebut Indonesia menempati urutan ke-73 dari 116 negara dalam hal kelaparan.

Masih jauh dari peringkat ideal. Situasi bertambah runyam karena sisa makanan yang dibuang ke tempat pembuangan akhir juga menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan.

Pertanyaan itu kiranya bisa sedikit dikaitkan dengan solilokui menggelitik dari mantan Presiden Burkina Faso Thomas Sankara (1984–1987) ketika dia menulis: ’’Vous ne saves pas oû est l’impérialisme?… Regardez dans votre assiette! (Tak tahukah Anda di mana imperialisme?… tuh lihat yang terhidang di piring Anda!). Sankara ingin memberi unjuk bahwa imperialisme bukan semata soal penjajahan politis. Tapi, juga asimilasi budaya kuliner di Afrika yang dipengaruhi budaya si penjajah (baca: Prancis).

Kemampuan makan seseorang dimulai oleh nafsu atau selera makan (appetite) yang timbul. Ini berbeda dengan rasa lapar, yang merupakan respons biologis tubuh terhadap kekurangan atau kebutuhan makanan.

Seseorang dapat memiliki nafsu makan bahkan jika tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda lapar, dan sebaliknya. Salah satu indikator seseorang sehat tubuh dan jiwanya adalah adanya faktor nafsu makan tersebut. Hal ini menjadi masalah tersendiri jika nafsu makan itu tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makanan yang diambil.

Arena Iman

Dulu filsuf Socrates mengatakan bahwa ”orang berbuat yang tidak baik karena tidak tahu apa yang baik”. Jika membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik, maka orang yang biasa membuang-buang makanan tidak tahu bahwa hal itu adalah tidak baik.

Dalam konteks Indonesia, membuang-buang makanan, saya pikir, tak terjadi karena seseorang kurang mengetahui apa yang baik atau tidak baik. Tidak pula karena rendahnya intelektualitas seseorang. Kenyataan masih ada di antara kita yang masih ”suka” membuang-buang makanan adalah suatu fenomena yang layak dilihat sedikit lebih mendalam.

Yang mengejutkan, makanan dalam sampah itu sebagian besar berupa makanan yang pada awalnya layak konsumsi, tetapi jumlahnya berlebih dan kemudian dibuang atau makanan yang kualitasnya baik, tetapi disimpan dan pada akhirnya dibuang karena tak dikonsumsi pada waktunya. Persentase makanan dalam sampah ini kian meningkat mendekati 70 persen di lokasi timbulan sampah lain, seperti apartemen kelas menengah dan atas serta kantin universitas di Jakarta.

Kosseva (2013) menyebutkan bahwa sampah makanan timbul karena sejumlah hal, dimulai dari saat panen, pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan pada tingkatan konsumen. Ia juga melaporkan bahwa secara global, memang terdapat kecenderungan peningkatan jumlah makanan yang menjadi sampah di banyak negara (terutama di negara maju). Sebagai gambaran, negara maju seperti Amerika Serikat menghasilkan sampah makanan lebih kurang 34 juta ton per tahun dan hanya 3 persen dari 34 juta sampah makanan ini yang dimanfaatkan kembali.

Sebuah pertanyaan besar muncul mengenai mengapa begitu banyak makanan dibuang oleh masyarakat Jakarta? Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang secara umum masih relatif rendah, makanan yang terbuang jadi sampah persentasenya seharusnya kecil, bahkan mendekati nol. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan gambaran tingginya komposisi makanan dalam sampah sebenarnya mencerminkan banyak hal, seperti pola konsumsi, tingkat ekonomi, dan juga perilaku masyarakat.

Di tengah kekhawatiran terkait ketahanan pangan bangsa yang amat rawan, banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan dengan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, bahkan di sekitar Jakarta; besarnya jumlah makanan dalam sampah menceritakan sebuah ironi besar sebuah masyarakat.

Untuk kondisi Jakarta, dalih bahwa makanan itu menjadi sampah pada proses produksi dan lain-lain tidaklah tepat karena sampel penelitian diambil pada tingkatan konsumen. Kuat dugaan yang terjadi sebenarnya penyediaan makanan yang berlebih melampaui kebutuhan sehingga makanan itu tak dikonsumsi pada waktunya dan terbuang begitu saja.

Menegaskan apa dibalik kebiasaan menumpuk makanan, saya kutif pernytaan Leon Festinger di dalam bukunya, A Theory of Cognitive Dissonance, menyebut situasi semacam ini sebagai ”disonansi kognitif”, yaitu konflik di dalam diri seseorang ketika perilakunya berbeda dengan wawasan dunia yang ia pegang. Disonansi kognitif juga menjelaskan keadaan batin, di mana orang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain, yang dalam istilah saya pribadi, saya sebut sebagai ”spiritualitas yang terpecah”.

Menggunakan kata ”spiritualitas” karena, sebagaimana kita tahu, ia bukanlah sekadar ”kehidupan batin” atau sesuatu yang bersifat rohani, lebih dari itu, spiritualitas juga menyatu dengan aspek tubuh dan jiwa seseorang, yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, seluruh aspek termasuk aktivitas memakan makanan sejatinya masuk dalam kategori adalah spiritualitas.



Penulis :
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Makan Main Iman!

Trending Now

Iklan

iklan