Sumber: Hukumonline.id |
Mengajukan diri sebagai Amicus Curae bukan kali pertama terjadi di Indonesia beberapa kasus di Indonesia juga melibatkan amicus curiae, seperti kasus jurnalis Upi Asmaradhana dan peninjauan kembali kasus Majalah Time versus Soeharto serta kasus peninjauan kembali praperadilan atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra. Bahkan dalam kasus penggusuran di Papanggo, Jakarta Utara, pihak yang bertindak sebagai amicus curiae adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari luar negeri.
Salah satu sorotan dari proses ini adalah keterlibatan Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden kelima Indonesia, dalam mengajukan amicus curiae terkait sengketa Pilpres 2024. Pada Selasa, 16 April 2024, Ketua Umum Partai PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menyerahkan amicus curiae ini kepada MK. Dokumen tersebut diserahkan oleh Ketua Umum PDI-P melalui Sekretaris Jenderal partai tersebut, Hasto Kristiyanto, didampingi oleh beberapa tokoh penting dari partai PDIP.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah langkah ini merupakan strategi yang direncanakan secara matang ataukah tindakan kepanikan dari pihak tertentu, yang menyebabkan kehadiran langsung ketua partai dalam proses ini?
Pakar hukum, Feri Amsari, pernah menjelaskan Megawati Soekarnoputri memiliki kelayakan untuk menjadi amicus curiae di Mahkamah Konstitusi. Kelayakan Megawati sebagai amicus curiae dapat dilihat dari peran serta sejarahnya ketika menjabat sebagai presiden.
jelasnya, dalam posisi lain, Megawati dinyatakan telah berkontribusi besar dalam pembentukan undang-undang pertama tentang MK (Nomor 24 Tahun 2003) dan dalam pelantikan hakim MK pertama. Megawati dianggap layak layak untuk menjadi mitra pengadilan MK.
Langkah Megawati Soekarnoputri sebagai amicus curiae di MK dapat dilihat sebagai upaya yang relevan dan berbasis pada pengalaman serta kontribusinya dalam dunia hukum dan politik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pandangan serta partisipasi tokoh-tokoh terkemuka dalam memastikan integritas dan keadilan dalam proses hukum, terutama dalam kasus yang memiliki dampak besar bagi negara dan masyarakat.
Di mata publik, keterlibatan Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP, dalam upaya menggugat keadilan dalam proses pemilu 2024 di Indonesia dianggap sebagai langkah menyelamatkan demokrasi. Hingga saat ini, putusan MK belum menemukan titik terang, menyebabkan kegelisahan di kalangan masyarakat. Di media sosial, beberapa menilai bahwa upaya gugatan ini hanya akan memperpecah belah bangsa dengan narasi "Kalah ya kalah aja".
Namun, kekhawatiran terbesar adalah potensi putusan MK yang dapat mengguncang ketertiban masyarakat, sebagaimana putusan sebelumnya mengenai batasan usia calon wakil presiden yang memicu kontroversi di masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat belum memahami sepenuhnya putusan MK terdahulu, seperti batasan usia calon wakil presiden yang menetapkan Gibran sebagai wakil presiden Prabowo Subianto. Kekhawatiran ini menyoroti perlunya pendidikan masyarakat yang lebih baik terkait interpretasi putusan MK.
Langkah Megawati Soekarnoputri dinilai sebagai bagian dari upaya mengukur demokrasi di Indonesia, yang saat ini dianggap mengalami penurunan signifikan. Tindakan tersebut dianggap sebagai wujud partisipasi publik yang penting, selama mematuhi prosedur dan aturan yang berlaku.
Amicus curiae, sebagai pihak ketiga yang memberikan keterangan di sidang MK, bertujuan untuk memastikan bahwa putusan MK nantinya akan adil. Megawati Soekarnoputri, sebagai tokoh politik berpengaruh, memiliki peran yang besar dalam memberikan pandangan kepada MK.
Patut dicatat, kehadiran pimpinan partai dalam sidang ini juga menimbulkan pertanyaan apakah ini juga merupakan bentuk kepanikan dari pihak tertentu. Hal ini karena pucuk pimpinan partai biasanya tidak turun langsung dalam proses seperti ini, tetapi pada kasus ini, keputusan ini tampaknya dibuat bersama-sama, sehingga public berhak untuk berasumsi banyak hal dari fenomena yang terjadi hari ini.
Harapan kita adalah agar ada transparansi dalam setiap proses demokrasi, sehingga keadilan tidak hanya terjadi di ruang sidang, tetapi juga tetap terjaga dalam pikiran masyarakat yang menjadi dasar bangsa yang terdidik
Muhammad Yusril Taib
(Mahasiswa Universitas Negeri Makassar)