Sumber: Pexell |
Paradigma tersebut pernah dipopulerkan oleh aktivis lingkungan yang juga mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, dalam film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth pada 2006. Film tersebut bercerita banyak tentang fenomena perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global. Perubahan iklim yang berlangsung lambat membuat kita terlena. Tidak mampu belajar dari kondisi alam yang berubah.
Saat ini lonceng peringatan telah bergema keras. Perdamaian dunia tengah terancam. Bukan hanya karena perang atau terorisme, lebih dari itu, fenomena pemanasan global yang memicu krisis iklim menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi. Perubahan iklim yang terjadi secara perlahan membuat kita terlena dan akhirnya sadar telah berada pada situasi mematikan, tidak ada lagi jalan keluar.
Tepat pada peringatan Hari Meteorologi Sedunia pada 23 Maret 2024, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis laporan “WMO State of the Global Climate 2023”. Laporan itu menegaskan bahwa 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Rata-rata suhu global di dekat permukaan sebesar 1,45 derajat Celsius (dengan margin ketidakpastian ± 0,12 °C) di atas suhu dasar. Itu adalah periode sepuluh tahun terpanas yang pernah tercatat.
Panas ekstrem melanda banyak wilayah di dunia, khususnya pada paruh kedua Juli 2023. Suhu di Italia mencapai 48,2 °C, dan rekor suhu tertinggi dilaporkan di Tunis (Tunisia) 49,0 °C, Agadir (Maroko) 50,4 °C, dan Aljir (Aljazair) 49,2 °C.
Tahun lalu, rata-rata setiap hari hampir sepertiga lautan global dilanda gelombang panas laut sehingga merugikan ekosistem penting dan sistem pangan. Jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan akut di seluruh dunia meningkat lebih dari dua kali lipat. Sebelum masa pandemi Covid-19, terdapat 149 juta orang yang menghadapi kondisi tersebut. Pada 2023, jumlahnya meningkat menjadi 333 juta orang.
Seharusnya fenomena perubahan iklim ini tidak lagi direspons secara amatiran. Pemerintah harus mencurahkan sumber daya yang memadai untuk menangani permasalahan ini. Diakui atau tidak, maraknya bencana ekologi yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan ulah manusia yang semena-mena mengelola lingkungan. Merujuk pada definisi Vandana Shiva, pembangunan adalah proses eksploitasi sumber daya alam yang mengukuhkan dominasi, penyeragaman, dan sentralisasi.
Celakanya, praktik malpembangunan berlangsung masif selama bertahun-tahun di negeri ini. Perilaku dan tindakan yang tidak bersahabat dengan alam serta lingkungan telah mengakibatkan defisit ekologis. Kecenderungan memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan yang bersifat materi telah mengakibatkan tercerabutnya keseimbangan dan daya dukung lingkungan.
Atas nama pembangunan ekonomi, atas nama perang terhadap kemiskinan, harmoni dan keselarasan hidup bersama alam diabaikan. Jika berhubungan dengan kesulitan ekonomi, masyarakat kita cenderung permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Akibatnya, kapasitas dan daya dukung lingkungan berada pada titik nadir.
Dalam kondisi seperti itu, peristiwa bencana ekologi, seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, serta kekeringan, akan selalu menjadi persoalan dari generasi ke generasi. Tanpa antisipasi dari seluruh komponen masyarakat, bencana ekologi tersebut boleh jadi merupakan fenomena puncak gunung es yang terjadi lebih dahsyat di kemudian hari.
Jika kesadaran kita dalam menghadapi perubahan iklim tidak segera dibangkitkan, kita mungkin akan bernasib sama seperti katak dalam kuali yang direbus secara perlahan. Tidak menemukan lagi jalan keluar dari situasi mematikan. Karena itu, fenomena perubahan iklim ini harus segera direspons secara profesional. Pemerintah serta seluruh komponen bangsa harus mencurahkan seluruh sumber daya dan energi untuk menangani permasalahan perubahan iklim ini.
Salah satu upaya dalam antisipasi perubahan iklim ini adalah pembangkitan energi terbarukan untuk mencapai target dekarbonisasi. Upaya ini terutama didorong oleh kekuatan dinamis dari radiasi matahari, angin, dan siklus air.
Hanya dengan kearifan dan upaya komprehensif berkelanjutan dalam memelihara alam serta lingkungan, kita dapat terhindar dari bencana ekologi. Semua itu harus disadari sejak dini, sebelum semuanya terlambat. Kita tidak ingin peradaban hancur hanya karena tak mampu belajar mengenali situasi lingkungan yang berubah. Beradaptasi atau mati!