Sumber: Pexell |
Dalam setiap langkahnya, perguruan tinggi seharusnya menjadi mercusuar atau pun simbol dari kebenaran dan keadilan dalam menjaga demokrasi. Namun di balik fasad akademis yang gemilang, ada realitas kelam yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi juga dapat menyumbangkan dosa bagi perjalanan demokrasi Indonesia.
Perjalanan demokrasi Indonesia tidak terlepas dari reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto, dimana ada peran mahasiswa dalam menegakkan demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila. Merealisasikan mimpi negara kesejahteraan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Tapi apakah pasca-reformasi 1998 penerapan demokrasi sesuai koridornya? Ataukah sesuai cita-cita reformasi? Tentunya tidak juga sebab nampaknya penerapan demokrasi di Indonesia kian hari kian jauh dari esensi.
Selama 2 dekade terakhir sejak tumbangnya Orde Baru, penerapan demokrasi tidak secara substansial, akhirnya rakyat Indonesia hanya terjebak pada demokrasi secara prosedural. Demokrasi diartikan begitu sempit yaitu hanya sebatas aktivitas elektoral, selain itu masyarakat juga tidak diberikan pendidikan demokrasi oleh para eliteelite negara. Hal ini, tidak terlepas dari drama-drama kepentingan elite dan degradasi peran perguruan tinggi sebagai wadah dalam menempah mahasiswa yang kritis untuk menjadi agent of change, social control, dan moral force.
Pada tahun 2020 masyarakat dihebohkan oleh jalan tol UU Cipta Kerja yang diketuk dalam waktu semalam. Hal itu memancing banyak kemarahan masyarakat akar rumput yang merasa sangat dirugikan. Begitupun mahasiswa, merasa bahwa tidak ada keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses pembuatannya, akibatnya banyak aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Setelah aksi besar-besaran, akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 91/PUU- XVll/2020 mengeluarkan putusan inkonstitusional bersyarat atas UU cipta kerja, keputusan ini menjadi salah satu alasan indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2020 merosot, dimana tahun itu juga menjadi titik terendah bagi demokrasi indonesia selama the Economic Intelegent Unit menyusun indeks demokrasi Indonesia. Tidak ada gerakan yang masif oleh mahasiswa dari berbagai kampus manapun setelah itu, setiap aktivis kampus dari satu daerah dengan daerah lainnya berjalan sendiri-sendiri.
Rupanya drama tidak sampai disitu saja, akhir-akhir ini demokrasi di perkosa dengan begitu brutalnya. Bagaimana tidak, pesta demokrasi 2024 nampaknya menjadi sasaran empuk para oligarki dalam melacuri praktik demokrasi. Banyak diksi baru yang muncul di tengah masyarakat sebagai wujud kekecewaan atas gagalnya pemerintah dalam menjaga demokrasi. Mulai dari istilah anak haram konstitusi, politik gentong babi, cawe-cawe Jokowi sampai pada jokowisme. buntut kekecewaan tersebut berawal dari keputusan MKMK terhadap pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman sewaktu menjadi hakim dalam memutuskan syarat usia calon wakil presiden yang meloloskan keponakannya Gibran menjadi calon wakil presiden. Walaupun inkonstitusional dalam proses pencalonannya, gibran tetap saja melaju menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Jika kita sebutkan satu persatu barangkali tidak akan habisnya pelucutan nilai-nilai demokrasi dalam pemilu 2024, Hal ini mencerminkan lemahnya fungsi check and balance antar lembaga Negara. Indeks demokrasi 2024 di perkirakan akan merosot kembali yang di sebabkan oleh banyaknya pengaduan kecurangan dalam proses pemilu 2024.
Dosa Perguruan Tinggi
Satu-satunya harapan dalam menjaga demokrasi adalah perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa yaitu agent of social control yang juga merupakan kaum akademis yang nantinya melanjutkan estafet kepemimpinan. Tapi apakah masih ada optimisme untuk harapan ini dapat benar-benar dipikul oleh perguruan tinggi jika melihat ada banyak dosa yang di sumbangkannya pada demokrasi. Beberapa dosa perguruan tinggi bagi demokrasi Indonesia.
Hambatan Kebebasan Berpendapat: Salah satu dosa perguruan tinggi terhadap demokrasi adalah di batasinya kebebasan berpendapat mahasiswa dan menyensor ide-ide yang berbeda. Demokrasi membutuhkan ruang untuk diskusi terbuka dan beragam pandangan agar dapat berkembang, namun seringkali dosen yang konservatif di perguruan tinggi tidak menerima pendapat mahasiswa yang berbeda dengannya, terkesan memaksakan pendapatnya kepada mahasiswa, bukan hanya persoalan kebebasan berpendapat dalam kelas, tetapi kebebasan berpendapat mahasiswa benar-benar di hambat ketika mahasiswa menuntut haknya, seperti yang terjadi di Universitas Riau belakangan ini. Khariq Anhar dilaporkan oleh rektornya atas dugaan menyerang kehormatan dan nama baik usai melakukan protes atas pemberlakuan iuran pengembangan institusi. Khariq adalah salah satu dari banyaknya mahasiswa yang menjadi korban. Kadangkala mahasiswa dibungkam dengan ancaman drop out ataupun pencabutan beasiswa.
Korupsi dan Nepotisme: Praktik korupsi dan nepotisme di perguruan tinggi dapat merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas, yang merupakan landasan utama dari sistem demokratis. Hal ini juga dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya. Praktek pungli adalah salah wujud nyata dari praktik korupsi di perguruan tinggi, salah satu contohnya adalah kasus di Universitas Udayana Bali pada tahun 2018 sampai 2023 dan Universitas Negeri Manado pada tahun 2023. Praktik nepotisme di perguruan tinggi juga tidak kalah maraknya seperti akses beasiswa melalui orang dalam, ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia sehingga ketidakadilan akses terjadi.
Ketidaknetralan Politik: Perguruan tinggi seharusnya tetap netral dalam hal politik dan tidak memihak pada satu pihak. Ketika institusi pendidikan terlibat dalam politik partisan, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat pada integritas dan otonomi perguruan tinggi. Ketidaknetralan ini pernah terjadi pada Universitas Tribhuwana Tunggadewi pada tahun 2023 lalu, dimana beberapa oknum dosen berkampanye untuk salah satu capres di kampus 2 Unitri Malang, sampai saat ini oknum dosen yang terkait belum ditindaklanjuti oleh pihak kampus.
Ketidakadilan dalam Struktur Kekuasaan: Struktur kekuasaan yang tidak adil di perguruan tinggi, seperti dominasi kelompok tertentu atau kurangnya representasi dari berbagai latar belakang, dapat menjadi dosa terhadap demokrasi. Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai kelompok untuk mencapai keputusan yang inklusif dan representatif. Dominasi kelompok tertentu dapat memicu beberapa tindakan rasisme, bullying, intoleransi sampai pada pelecehan seksual. Beberapa kasus tersebut bukan hanya terjadi antar mahsiswa tetapi juga dari dosen ke mahasiswa.
Perguruan tinggi saat ini hanya fokus pada transfer pengetahuan, tidak dengan transfer nilai. Hal ini bisa dilihat dari penerapan-penerapan kurikulum yang bertolak belakang dengan fungsi dan peran mahasiswa yang berdampak pada kurangnya partisipasi aktif mahasiswa dalam mengawal demokrasi. Tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan dan penelitian hanya menjadi formalitas yang berorientasi pada IPK, sedangkan pengabdian di artikan hanya sebatas KKN (kuliah kerja nyata) yang berlangsung hanya satu bulan. Selebihnya memikirkan prospek kerja untuk kenyang sendiri.
Mahasiswa dituntut hanya memikirkan IPK dan pemikirannya dipenjara dalam ruang-ruang kelas. Sehingga tidak jarang kita menemukan mahasiswa yang individualis serta apatis dalam masalah politik yang berimbas pada kehidupan bangsa.
Tak heran jika petisi yang dikeluarkan pada akhir Januari sampai awal Februari 2024 lalu oleh sivitas akademika beberapa kampus di seluruh Indonesia untuk mengkritik pemerintahan Jokowi mendapatkan beragam tanggapan. Beberapa pihak bersimpati sedangkan tak jarang ada pihak yang menganggap gerakan tersebut di politisasi, selain melihat dari segi positifnya kita juga harus menelaah lebih jauh dan melihatnya dari sudut pandang orang-orang yang kecewa terhadap institusi perguruan tinggi yang sudah banyak menyumbang dosa bagi demokrasi Indonesia.
Kembali pada Khitah
Perguruan tinggi sudah saatnya kembali pada khitah sesuai peran dan fungsinya menjadi wadah dalam mencetak generasi intelektual yang cerdas secara kapasitas keilmuan maupun dalam hal kebermanfaatan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Perguruantinggi sudah seharusnya mampu membenahi masalah dalam penerapan pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini, perguruan tinggi diharapkan menjadi lembaga yang mendorong pemahaman dan praktik demokrasi di kalangan mahasiswa dan sivitas akademika. diharapkan aktif dalam melakukan riset-riset yang mendukung demokrasi, seperti penelitian tentang partisipasi masyarakat, pemilu, dan isu-isu demokrasi lainnya. Hasil riset ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam memperkuat institusi demokrasi di Indonesia.
Selain itu, perguruan tinggi juga diharapkan turut berperan aktif dalam pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan pendidikan dan pelatihan tentang demokrasi, mendukung partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, serta memberikan masukan dan solusi terhadap permasalahan demokrasi yang ada di masyarakat. Perguruan tinggi juga diharapkan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan internalnya, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan. Hal ini mencakup proses pengambilan keputusan, pemilihan pimpinan, dan pengelolaan sumber daya secara transparan dan partisipatif.
Dengan menerapkan khitah yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, perguruan tinggi dapat menjadi agen perubahan yang signifikan dalam memperkuat demokrasi di Indonesia melalui pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan pengelolaan internal yang demokratis.
Sahidatul Atiqah
(Mahasiswi Unitri Malang)