Sumber: Merdeka.com |
Pernyataan Menteri Perdagangan, Airlangga Hartanto Senin (8/4) memberikan angin segar di mana angka Purchashing Managers Index (PMI) pada Maret 2024 berada di level ekspansif selama 31 bulan. Itu artinya sektor manufaktur masih memberikan kepada perekonomian Indonesia. Terjadinya kesinambungan antara permintaan pasal global dan lokal serta kesanggupan pengusaha memenuhinya.
Dalam posisi lonjakan nilai tukar rupiah trend positif di atas bisa meredakan kepanikan. Percaturan dunia yang kurang stabil dan seringkali merugikan, Indonesia memang dipaksa harus bersahabat dengan segala kemungkinan baru. Sejauh ini The Fed, ECB, dan BoJ masih terus menahan untuk tidak menurunkan atau menaikkan suku bunga acuan. Secara umum ekonomi kawasan Asia.
Inflasi dan pertumbuhan harus seimbang untuk menjaga daya beli dan produktivitas perekonomian sebuah negara. Umumnya inflasi yang tinggi akan dikurangi bebannya jika target pertumbuhan lebih tinggi dapat dicapai.
Saat ini posisi ekonomi negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah terlihat lebih baik dibandingkan dengan Amerika dan Eropa. Bisa saja dengan keengganan tidak menaikkan atau menurunkan suku acuan, membuat peruntungan dolar atas alat tukar dengan mata uang Asia dan Afrika (Hot Money) dapat terjadi.
Masalah krusial sebenarnya bisa diteropong dengan posisi cadangan devisa yang dipengaruhi utang luar negeri pemerintah dalam upayanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pembayaran hutang tidak bisa ditunda karena menyebabkan banyak masalah.
Kita tidak punya banyak opsi, bahwa transaksi ekonomi luar negeri masih bertumpu pada dolar AS. Mengandalkan pasokan dari pemilik devisa hasil ekspor dan investasi portofolio asing belum mencukupi.
Kenapa rupiah harus segera stabil, karena nilai rupiah yang baik akan memudahkan pelaku ekonomi dapat mengambil keputusan lebih baik atas jenis usahanya. Jika tidak cadangan devisa juga bisa ikut turun.
Harus Presisi
Mari belajar pada peristiwa Krisis moneter pada 1997/1998 memberi pelajaran berharga bahwa semakin gencar BI mengintervensi pasar, semakin tinggi pula tensi pembelian valas. Ini situasi tidak mudah. Bisa jadi spekulan ekonomi dapat masuk mencari peluang keuntungan pribadi.
Melihat kuantitas cadangan devisa adalah salah satu indikator utama ekonomi makro. Kuantitas cadangan devisa yang material niscaya memberikan rasa percaya diri terhadap potensi gejolak kurs. Sementara itu, fluktuasi nilai tukar yang diredam dengan intervensi BI berisiko menggerus kembali posisi cadangan devisa.
Penyebab rupiah terus melemah tidak terlepas dari kecenderungan perilaku pasar keuangan ataupun investor yang lebih memilih memegang uang kertas dolar, alias fenomena cash is the king. Kecenderungan itu dipicu oleh terus bertahan tingginya suku bunga di negara-negara maju, khususnya kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed.
Sulit disangkal bahwa dorongan penyebab eksternal dari pengaruh negatif data ekonomi Amerika. Walhasil, investor harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa nilai tukar rupiah bakal sulit kembali.
Konflik di Timur Tengah yang tak kunjung reda juga terus menjadi ancaman. Jika harga minyak sampai melambung karena meluasnya perang, ekonomi Indonesia bisa terkena imbas negatif, dari ancaman inflasi hingga beban ekstra dalam anggaran pemerintah karena naiknya subsidi energi.
Kita sangat beruntung dimana kinerja investasi dalam Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami pertumbuhan 5,8% dibandingkan dengan tahun 2023 lalu. Angka ini juga diikuti dengan tren beberapa sektor manufaktur yang mencerminkan posisi ekonomi kita masih aman.
Harus Selesai
Pemerintah sangat ditunggu, minimal mereka dapat menyelesaikan desakan erosi konflik global dari luar. Mengingat, dukungan AS kepada Israel mulai berdampak pada ekspektasi pasar terhadap perekonomian AS. Bahkan, Michael Reynolds, petinggi Glenmede Investment Strategy, memperkirakan hal itu akan mendorong naiknya inflasi di AS. Analisa lain dari Standard & Poor menunjukkan data yang sama, bahwa lembaga pemeringkat ternama, memperkirakan inflasi dunia akan meningkat bila konflik bertambah runyam.
Sejauh ketegangan di Gaza yang merupakan faktor eksternal. Kebijakan luar negeri yang menunjukkan empati dan keberpihakan kepada kaum yang tertindas adalah hal yang paling minimal yang harus ditunjukkan. Bantuan kemanusiaan yang digalang dengan baik dapat menyalurkan energi positif masyarakat.
Pelemahan rupiah sebenarnya tidak berpengaruh terhadap fundamental ekonomi dalam negeri, apalagi fundamental ekonomi saat ini dalam keadaan yang cukup kokoh. Namun, jika pelemahannya permanen dan cukup lama, hal itu bisa meningkatkan biaya dan semakin berdampak terhadap perekonomian.
Ketidakpastian meningkat, dan ini bisa membuat perekonomian tertekan. Oleh karena itu, menjaga stabilitas, dengan intervensi, fasilitasi, dan memperbaiki iklim investasi, membuat BI tidak lengah menjaga rupiah.
BI sebagai penjaga stabilitas rupiah lebih fokus pada stabilitas, menjaga volatilitas, daripada mempertahankan tingkatan tertentu nilai rupiah. Biaya, impor inflasi akan meningkat, dan daya saing ekspor menguat dengan pelemahan rupiah. Kebalikannya, daya saing ekspor terhambat dengan terlalu kuatnya rupiah.
Oleh karena itu, menjaga stabilitas sangatlah penting, semacam mencari jalan tengah. Ini adalah konsekuensi dari ekonomi terbuka, yang tentu juga membawa berkah. Kita tidak bisa menutup ekonomi dengan gegabah untuk menjaga nilai rupiah. Keterbukaan membuat ekonomi merekah, sedangkan ketertutupan membuat ekonomi menjadi rapuh.
BI sebaiknya tetap fokus pada fundamental dalam menjaga stabilitas rupiah. Menjaga terpenuhinya permintaan dan pasokan dolar yang dicukupi dari cadangan devisa. Iklim investasi langsung maupun pasar modal dan obligasi diperbaiki untuk lebih cerah. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekonomi riil dengan konsumsi dan investasi yang bisa lebih bergairah.
BI tetap menjaga volatilitas nilai rupiah. BI lebih leluasa untuk menjalankan intervensi dengan inflasi yang rendah. Hanya dengan melemahnya ekonomi dunia, harga komoditas dan ekspor melemah. Bagi pelaku ekonomi, pelemahan rupiah membuat biaya dari komponen impor meningkat.
Demikian pula pembiayaan utang luar negeri,sedapat mungkin berpindah mempergunakan rupiah. Peluang ekspor semestinya meningkat dengan melemahnya rupiah. Sayangnya, kesempatan bisa ekspor berkurang dengan ekonomi global yang melemah.[]