Sumber: Pexell |
Namun, jika pemerintah langsung melompat pada kesimpulan pembentukan dewan media sosial tanpa menyempurnakan fondasi-fondasi yang diperlukan lebih dulu, dewan ini berisiko menjadi lembaga yang bias terhadap kepentingan pemerintah dan timpang bagi masyarakat sipil maupun platform teknologi.
Setidaknya ada lima prasyarat yang harus dipenuhi sebelum mempertimbangkan perlu atau tidaknya keberadaan dewan media sosial di Indonesia. Prasyarat pertama adalah regulasi yang kokoh, yang mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi, keamanan digital, penegakan hukum, dan inovasi.
Masalahnya, prasyarat pertama ini belum tampak pada rantai regulasi yang berkaitan dengan media sosial. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, kendati telah direvisi pada akhir 2023, masih menyisakan pasal-pasal yang riskan interpretasi ganda. Aturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, bahkan masih mengacu pada UU ITE lama.
Aturan turunan dari peraturan pemerintah tersebut, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020, juga belum banyak mengeksplorasi langkah-langkah dalam hal penyelesaian sengketa atas konten di media sosial, selain penurunan konten (takedown). Adapun aturan lainnya, Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 172 Tahun 2024, memiliki beberapa titik kemacetan (congestion points) dalam skema denda dan bandingnya. Hal ini berisiko menghambat alur komunikasi di antara pihak yang bersengketa.
Celah-celah dalam rantai regulasi ini berisiko disalahgunakan untuk menyensor konten yang dianggap bermasalah dengan kriteria yang multitafsir, seperti “konten yang mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat”. Jika konten tersebut tidak diturunkan, sanksinya mulai dari pemutusan akses hingga denda jutaan rupiah.
Tanpa rantai regulasi yang menempatkan hak dan kewajiban aktor non-negara setara dengan negara, dewan media sosial berisiko menjadi alat kontrol narasi di media sosial, alih-alih menciptakan ekosistem yang adil dan transparan.
Prasyarat kedua adalah kepastian bahwa aturan formal lain dan pengalaman informal dari aktor-aktor non-negara dijadikan bahan pertimbangan. Misalnya platform media sosial memiliki standar komunitas global yang kompleks yang senantiasa diperbarui menurut pembelajaran dari berbagai negara.
Masyarakat sipil pun berperan besar dalam mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dalam implementasi regulasi, seperti Paguyuban Korban UU ITE dari Koalisi Serius. Mengintegrasikan patokan dan pengalaman ini dalam regulasi nasional akan membantu menciptakan kerangka kerja yang lebih harmonis dan koheren dalam penanganan konten daring.
Prasyarat ketiga adalah perlunya koordinasi dengan dewan-dewan yang beririsan di level global. Di antaranya Meta Oversight Board, Global Network Initiative (GNI), atau Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT). Untuk menghindari redundansi dan ketidakefektifan, aktor-aktor nasional harus berkolaborasi dengan dewan-dewan global ini.
Kolaborasi dengan organisasi di tingkat global juga perlu untuk memanfaatkan pengalaman dan sumber daya yang ada. Dengan langkah ini, pemangku kepentingan bisa memastikan bahwa standar yang diterapkan di Indonesia sesuai dengan praktik terbaik internasional.
Prasyarat keempat adalah pengklasifikasian jenis konten negatif tanpa praktik pukul rata. Konten-konten yang jelas berbahaya, seperti judi online, pornografi anak, dan penyebaran paham terorisme, memang memerlukan respons yang cepat. Namun penanganan konten-konten yang masih bersifat “abu-abu”, seperti misinformasi atau disinformasi, memerlukan diskresi dan kolaborasi antarpihak. Regulasi yang ada sebetulnya mulai menampakkan perbedaan perlakuan untuk masing-masing jenis konten.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Selanjutnya, dewan media sosial perlu menciptakan beragam mekanisme sengketa berbeda untuk masing-masing tipe konten, sesuai dengan urgensi dan daya rusaknya. Dalam penyusunan mekanisme ini, penting untuk mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik untuk mencegah sensor berlebih.
Prasyarat terakhir adalah membangun sistem untuk mengakomodasi fragmentasi internal masing-masing aktor. Pemerintah bukanlah entitas yang monolitik, melainkan untaian lembaga-lembaga dengan beragam wewenang dan mandatnya. Demikian pula dengan platform media sosial. Proses bisnisnya berbeda sesuai dengan produk inti dan negara asalnya. Terlebih masyarakat sipil, yang memiliki keragaman pendekatan dan jejaring.
Jika dewan media sosial dirancang menjadi melting pot yang inklusif bagi ketiga pihak tersebut dan mengharmonisasikan rantai regulasi, maka ia pun perlu meluruskan tumpang tindih kepentingan internal di masing-masing pihak. Jika tidak, dewan ini berisiko memberi beban baru bagi benang kusut birokrasi negara yang sebetulnya lebih mendesak untuk disederhanakan.
Survei opini publik Safer Internet Lab (SAIL) dari CSIS pada September 2023 menunjukkan bahwa hanya 7 persen masyarakat Indonesia yang menganggap konten daring perlu diatur hanya oleh pemerintah atau hanya oleh platform. Sebagian besar masyarakat (62 persen) menganggap bahwa konten daring adalah tanggung jawab bersama.
Dari hasil survei itu, bisa diartikan bahwa hubungan antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil dalam mengatur konten semestinya berbentuk segitiga sama kaki. Karena itulah, lima prasyarat pembentukan dewan media sosial tersebut perlu diupayakan lebih dulu untuk memastikan pembagian tanggung jawab yang setara.
Jika kolaborasi antara pemerintah, platform teknologi, dan masyarakat sipil dapat berjalan dengan baik melalui prasyarat tadi, boleh jadi kita tidak memerlukan dewan formal seperti dewan media sosial. Sebab, kerja sama yang baik akan mampu menangani aneka persoalan konten daring secara efektif. Pada akhirnya, tujuan menciptakan ekosistem digital yang aman dan adil pun dapat tercapai. []