Sumber : Pexell |
Namun, jika situasi seperti saat ini dibiarkan, maka akan memunculkan kastanisasi manusia karena keterbatasan pendidikan. Kondisi ini akan memunculkan marjinalisasi yang akan terus mendera bangsa dengan beban masyarakat yang hidup tanpa ilmu pengetahuan, kebodohan, dan kemiskinan.
Uang kuliah tunggal dan uang pangkal (iuran pengembangan institusi) mahal bukan tanpa sebab. Penulis melihat setidaknya ada tiga pemicu utama.
Pertama, praktik komodifikasi pendidikan, yang menempatkan pendidikan sebagai obyek investasi sehingga mengarah pada komersialisasi.
Kedua, klusterisasi pendidikan tinggi yang memunculkan kelas Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), PTN Badan Layanan Umum (PTNBLU), PTN Satuan Kerja (Satker), dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Ketiga, ketiadaan peta jalan (roadmap) pendidikan yang dapat menjadi pegangan negara untuk mengarahkan pendidikan sesuai cita-cita bangsa.
Pertama soal disrupsi pendidikan melalui Undang-Undang Cipta Kerja sangat terasa kental, yang menempatkan pendidikan sebagai obyek investasi. Pendidikan dapat diselenggarakan oleh siapa saja seolah menghilangkan peran dan tanggung jawab negara. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara.
Namun, kontribusi pihak lain dimungkinkan tanpa kemudian melepaskan kendali atas kebijakan pokok tersebut. Jadi, sifat kontribusi pihak lain seharusnya hanya sebagai penunjang kebijakan pemerintah, tidak sebagai penentu kebijakan. Situasi ini kemudian menempatkan negara berada pada level yang sama dengan pihak investor pendidikan.
Kedua soal klusterisasi PTNBH yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi seperti api dalam sekam. Sejak awal PTNBH dibentuk, sebenarnya tidak bertujuan untuk mendorong kapitalisasi kampus, tetapi lebih mendorong competitiveness kampus dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Selain itu, interpretasi yang kuat dari PTNBH baru bahwa dengan menjadi PTNBH, maka akan bisa leluasa mencari dan menggunakan uang.
Pendidikan berkualitas tidak dicirikan oleh harga UKT mahal, tetapi dicirikan oleh kualitas didikan yang mampu bersaing secara nalar dan akal. Namun, penyimpangan terjadi ketika ketiadaan peta jalan PTNBH yang jadi acuan dan patokan semua PTNBH untuk melangkah. Kemudian, regenerasi pengelola PTNBH sudah lemah sejak awal mengelola PTNBH atau PTN yang kemudian berbadan hukum, mengalami misleading karena acuan tidak baku.
Selain itu, interpretasi yang kuat dari PTNBH baru bahwa dengan menjadi PTNBH, maka akan bisa leluasa mencari dan menggunakan uang. Interprestasi bebas ini yang kemudian menyebabkan beberapa rektor terjebak dalam praktik korupsi yang sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan anak bangsa ke depan.
Ketiga kebijakan kementerian yang menyusun peta jalan PTNBH telah turut mendistorsi peran negara terhadap kampus. Dalam catatan penulis, ada tiga penyebab naiknya UKT dan uang pangkal dari kampus akibat tiadanya peta jalan PTNBH.
Pertama, pemutusan tunjangan kinerja (tukin) aparatur sipil negara PTNBH oleh pemerintah. Kehadiran Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2016 Pasal 3 Ayat 1 bagian h menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil PTNBH tidak menerima tunjangan kinerja dari pemerintah.
Statement ini telah mendistorsi peran pemerintah pusat dan menggesernya menjadi tugas rektor sehingga kemudian rektor berusaha mencari uang pengganti tukin untuk melaksanakan mandat perpres tersebut melalui kampus. Di sini terlihat rektor tidak hanya berperan sebagai pemimpin dalam pencipta iptek, tetapi menjadi wirausaha (entrepreneur) yang harus mencari uang.
Kedua pengurangan dukungan untuk belanja PTNBH termasuk pembangunan dan perawat gedung dan dan peralatan laboratorium. Sejalan dengan poin di atas, peran rektor diperbesar, termasuk untuk mencari pendapatan guna merawat kampus, memperbaki dan memperbarui alat alat laboratorium. Dalan kondisi seperti ini, mau tidak mau kampus berjibaku mencari sumber pendapatan baru, termasuk dari UKT dan uang pangkal.
Ketiga, masih terbatasnya izin yang diberikan pemerintah dalam mengembangkan aset untuk penguatan finansial universitas. Dengan demikian, pilihan yang paling nyata adalah meningkatkan UTK dan uang pangkal.
Kembali ke pangkal
Sebelum jauh terjebak dalam komersialisasi jangka panjang, kementerian tidak usah malu mundur ke titik pangkal menata ulang tata kelola perguruan tinggi. Penataan pertama dalam mengalkulasi kembali kebutuhan perguruan tinggi di Indonesia. Kedua, mengembalikan peran negara yang lebih utuh dalam membangun pendidikan tanpa pandang status penghasilan orangtua.
Kalau disimak secara baik, Indonesia termasuk negara dengan jumlah perguruan tinggi yang sangat banyak. Dari jumlah yang ada tersebut, harus dievaluasi ulang, sesungguhnya Indonesia butuh berapa banyak perguruan tinggi. Tentu ini juga termasuk fakultas dan program studi yang diperlukan negara ini untuk membangun.
Seharusnya negara tidak membiarkan pendidikan tumbuh bebas seperti jamur saat hujan, tetapi mengatur jumlah dan jenisnya sesuai kebutuhan bangsa. Indonesia bisa mengembangkan pendidikan berkualitas dengan mengundang periset internasional datang ketika kampus yang berkembang sesuai dengan kebutuhan bangsa.
Langkah ini juga penting untuk mengontrol pendidikan agar tidak mengobral gelar dengan kemampuan abal-abal. Jika Indonesia ingin maju dengan sumber daya alam, industri berbasis sumber daya alam harus dibangun, termasuk pendidikannya.
Sebelum jauh terjebak dalam komersialisasi jangka panjang, kementerian tidak usah malu mundur ke titik pangkal menata ulang tata kelola perguruan tinggi.
Lemahnya peran negara saat ini bisa dilihat dari fakta kurangnya minat masuk perguruan tinggi berbasis sumber daya alam, seperti pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan. Ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah karena pendidikan jenis ini menjadi tulang punggung ekonomi bangsa dan kedaulatan bangsa sehingga tidak selalu impor dan menjadi negara dengan industri berbasis pangan yang kuat dan tangguh.
Penataan ini bagian dari peran negara untuk memberikan kesempatan sekolah kepada seluruh anak bangsa mendukung pembangunan nasional tanpa harus bersedih karena tidak bisa masuk karena berasal dari keluarga tidak mampu.
Kedua mengembalikan peran negara lebih besar pada semua anak bangsa. Faktor beasiswa tidak mampu tidak menyelesaikan masalah besar karena hanya membantu sebagian kecil saja dari anak bangsa yang perlu pendidikan. Sementara itu, sebagian besar lainnya tetap tidak bisa kuliah karena alasan tidak masuk kriteria beasiswa atau beasiswa terbatas. Beasiswa yang sejati bagi anak bangsa membebaskan anak bangsa dari UKT dan uang pangkal.
Solusi
Jika UKT dan uang pangkal dibebaskan, apa solusi yang bisa diberikan untuk kampus. Setidaknya ada empat solusi, satu kembalikan fungsi negara untuk gaji dan tunjangan ASN perguruan tinggi. Dua, secara bertahap negara melengkapi fasilitas laboratorium yang canggih dan berkualitas bagi semua kampus yang berstandar internasional. Solusi kedua ini penting untuk memastikan kampus Indonesia berada pada level dan standar yang sama dengan kampus kelas dunia.
Tiga, mewajibkan semua perseoran berkolaborasi dengan kampus untuk melakukan research and development (RnD) sehingga kekurangan, keterbatasan kampus dalam mendukung fasilitas sudah diantisipasi oleh kontribusi perusahaan. Saat ini banyak perusahaan di Indonesia, tetapi tidak ada kontribusi dan kerja sama yang nyata dalam mendukung pendidikan. Selain itu, kampus juga menjadi pusat tumbuh dan berkembangnya inovasi bangsa.
Empat, memberikan kewenangan ke rektor dalam mengembangkan aset non-kampus dalam penguatan kampus untuk pendanaan. Banyak aset kampus tidak bisa dimanfaatkan karena tidak ada izin dari Kementrian Keuangan sehingga kemudian aset menjadi menganggur dan tidak termanfaatkan.
Melalui empat langkah tersebut, selain soal UKT dan uang pangkal yang mahal terselesaikan, soal kualitas pendidikan juga bisa diperbaiki. Penulis yakin dalam lima tahun pendidikan kita bisa bangkit, ekonomi berkembangan dan sektor lapangan pekerjaan tumbuh.
Kini momentum untuk melakukan perubahan tata kelola perguruan tinggi melalui presiden baru. Mengubah tata kelola itu tidaklah sulit karena sebenarnya yang sulit mengubah kebiasaan tata kelola yang lama.[Red]