Iklan

Guru Besar ”Discontinued”

narran
Jumat, 19 Juli 2024 | Juli 19, 2024 WIB Last Updated 2024-07-19T07:49:11Z

  

Guru Besar, opini, polemik, gelar palsu
Sumber: Tempo
NARRAN.ID, OPINI - Guru besar ”discontinued” adalah istilah bagi mereka yang lolos guru besar lewat jurnal akademik yang ”discontinued”.

Guru besar discontinued menjelaskan dua hal. Pertama, karena sang profesor meraih jabatan itu dengan paper akademik yang di-submit di jurnal yang sudah tidak terbit lagi dan atau tidak terindeks lagi di database bereputasi. Kedua, jawabannya di akhir tulisan ini.

Ketentuan untuk menjadi guru besar di Indonesia salah satunya mensyaratkan dosen memiliki publikasi hasil penelitian yang terbit di jurnal internasional bereputasi (terindeks di database yang diakui seperti Scopus dan atau Web of Science). Selain itu, jurnal tersebut memiliki faktor dampak seperti Impact Factor/Scimago Journal Rank (IF/SJR).

Aturan ini telah menjadi ketentuan di dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK), yang sekalipun terus-menerus dibaharui, tetap menjadi salah satu syarat mutlak. Hal itu terkait dengan implementasi darma penelitian di dalam Tridarma Perguruan Tinggi dosen.

Persoalannya, entah karena tidak paham prosedur atau memang tidak mampu tetapi sudah sangat berambisi menjadi seorang guru besar, banyak dosen menempuh jalan pintas untuk menyiasati publikasi di jurnal ilmiah tersebut. Penyelidikan yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kepada para profesor yang belum lama ini dikukuhkan di Universitas Lambung Mangkurat menjadi bukti terbaru mengenai adanya indikasi bermasalah dalam proses pengangkatan guru besar di Indonesia terkait syarat publikasi jurnal internasional.

Bagai domino yang jatuh, muncul juga laporan investigatif dari sebuah majalah nasional yang menelusuri jejak digital publikasi ilmiah sejumlah nama dosen Indonesia. Temuan investigatif memperlihatkan bahwa artikel-artikel penelitian yang di-submit sebagai syarat menuju guru besar itu ternyata hasil fabrikasi, terbit di jurnal predatory dan bahkan tidak dapat diakses lagi.

Lebih mengagetkan, beberapa karya akademik itu memaparkan topik yang sangat berbeda dari disiplin ilmu sang guru besar. Bahkan, syarat reputasi jurnal diragukan karena jurnal-jurnal itu mendapatkan status dicontinued dari tempatnya terindeks.

Semakin lengkap hantaman yang diterima kalangan akademik Indonesia dengan munculnya laporan penelitian Vit Machacek dan Martin Scholec yang meneliti karya akademik peneliti dunia yang terbit pada 2015-2017, Indonesia menempati urutan kedua dalam hal ketidakjujuran akademik setelah Kazakhstan.

Pengecekan

Lolosnya sejumlah karya fabrikasi dan luaran jurnal predatory dalam penilaian kinerja akademik para calon guru besar di Indonesia harus segera disikapi serius oleh Ditjen Dikti Kemendikbudristek. Di satu sisi, hal tersebut mencerminkan lemahnya sistem validasi dokumen baik oleh tim admin sebagai penyeleksi berkas dan penilaian oleh asesor jabatan fungsional tersebut. Umumnya pengecekan melibatkan beberapa hal.

Pertama, apakah jurnal yang menerbitkan paper sang dosen terindeks di database internasional yang diakui dan masih terindeks di sana alias tidak discontinued. Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah memiliki Sinta (Science and Technology Index), sistem yang mampu merekam seluruh karya akademik dosen di Tanah Air, tetapi sistem ini tidak punya kemampuan memverifikasi keabsahan sebuah jurnal.

Check and recheck sebuah jurnal sebetulnya sangat mudah. Bahkan, seseorang di luar sistem Dikti mampu melakukan penyelidikan mandiri apakah sebuah jurnal masih di dalam database atau tidak. Juga dapat dilihat secara kasatmata apakah sebuah jurnal adalah bereputasi, biasa saja, atau predatory.

Teknologi digital membuat semua itu mudah untuk dilakukan, apalagi jika para asesor Dikti memang memiliki kemampuan penelusuran digital dan telah dibekali daftar jurnal-jurnal yang diakui untuk pengajuan Panduan Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) dosen. Artinya, jika sampai ini lolos dalam tahap penilaian guru besar, sangat keterlaluan dan patut dipertanyakan.

Apakah jurnal yang menerbitkan paper sang dosen terindeks di database internasional yang diakui dan masih terindeks di sana alias tidak discontinued.

Kedua, bukti korespondensi. Sebuah jurnal yang baik akan terus-menerus menjalin komunikasi kepada penulis, sejak paper submit,review, dan revisi, hingga terbit. Di dalam rentang waktu itu berlangsung komunikasi timbal balik antara penulis dan editor perihal review, revisi, klarifikasi konsep, pengecekan referensi, proof read, perbaikan bahasa, hingga pada galley final (tampilan akhir pra-publish).

Seluruh komunikasi ini dapat menjadi dasar penilaian eligibility bahwa jurnal tersebut mementingkan mutu dan tidak asal terbit. Melaluinya juga terlihat bahwa penulis memang telah melalui sejumlah tahapan prosedural yang teruji, untuk menerbitkan karya penelitiannya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Salah satunya memperlihatkan bahwa naskah tersebut telah melalui proses tinjauan sejawat yang benar. Prosesnya tidak mudah, butuh waktu, dan melelahkan.

Tahapan seperti ini tidak dimiliki oleh jurnal predatory yang justru memberikan kemudahan kepada dosen asalkan membayar biaya publikasi yang tinggi. Aspek yang sangat penting, seperti tinjauan sejawat, diabaikan atau hanya sekenanya dan paper dapat diterbitkan hanya dalam hitungan hari. Tidak ada kerumitan sebagaimana proses di jurnal bereputasi. Beberapa jurnal predatory ini bahkan terdapat di dalam list database pengindeks seperti Scopus.

Oleh karena itu, diperlukan kemampuan dan kejelian tim Dikti di dalam menilai usulan paper jurnal yang diajukan para dosen. Terindeks di dalam database internasional bukan jaminan bahwa sebuah jurnal non predatory.

Ketiga, bidang ilmu. Setiap jurnal bersifat khas di dalam scope tulisan yang hendak diterbitkannya. Jurnal predatory mengabaikan hal tersebut dan menerbitkan topik riset dalam wide range. Artinya, scope publikasinya gado-gado. Itu sebabnya jurnal-jurnal ini disenangi para penulis dari Indonesia karena mau menerbitkan tulisan apa saja, proses cepat sekalipun isi paper-nya tidak bermutu.

Sekali lagi, kemampuan asesor Dikti diperlukan untuk menilai kualitas jurnal di satu sisi, dan linieritas keilmuan penulis dengan topik tulisannya. Kasus-kasus yang diinvestigasi terhadap beberapa nama besar di Indonesia dan telah menyandang gelar guru besar memperlihatkan indikasi, beberapa tulisan akademik yang diajukan, topiknya ternyata berbeda dengan disiplin ilmu sang guru besar. Mengapa lolos?

Jadi dapat disimpulkan bahwa guru besar discontinued adalah sebuah istilah bagi mereka yang lolos menjadi guru besar melalui jurnal akademik yang telah discontinued dari database. Mengapa discontinued?

Pengindeks seperti Elsevier tentu berusaha menjaga reputasinya sehingga terus-menerus melakukan evaluasi internal untuk setiap jurnal di dalam database-nya. Yang terbukti mengabaikan prinsip integritas akademik dan hanya menarik keuntungan pasti akan discontinued.

Mereka bisa saja berkilah bahwa pada waktu pengajuan berkas, status jurnal tersebut masih continue. Namun, ini adalah sebuah alarm bahwa perubahan status jurnal dari continue menjadi discontinued seharusnya menjadi penanda bagi Dikti dan para asesor bahwa jurnal tersebut bermasalah.

Dengan demikian, dapat ditarik mundur, siapa saja yang menggunakan jurnal itu untuk pengajuan guru besarnya perlu mengganti syarat publikasinya demi mempertahankan integritas dan menegakkan sistem penilaian jabatan fungsional yang kredibel. Bukankah selalu ada klausul di surat keputusan guru besar bahwa keputusan ini ”dapat ditinju kembali apabila...”.

Kebijakan seperti ini dapat dijadikan hukuman moral dan administratif bagi siapa saja yang meraih jabatan fungsional guru besar melalui publikasi abal-abal. Karena arti kedua dari guru besar discontinued adalah mereka yang status guru besar ditangguhkan, bahkan dicabut, akibat syarat akademiknya—khususnya publikasi jurnalnya—meragukan. Kita tentu tidak mau dikenal sebagai negara dengan profesor (publikasi) abal-abal terbanyak bukan?


Penulis:
Sonny Eli Zaluchu
(Guru Besar Ilmu Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia Semarang)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Guru Besar ”Discontinued”

Trending Now

Iklan

iklan