Sumber: Tempo |
Maraknya guru besar abal-abal yang diberitakan akhir-akhir ini menunjukkan martabat perguruan tinggi telah runtuh, jauh dari kesan terhormat, baik dari segi etik, hukum, maupun politik.
Menjauh dari sifat ilmiah, wibawa perguruan tinggi (PT) terjerembap hingga titik terendah akibat persekongkolan para pesohor yang mabuk jabatan dan gila hormat dengan oknum pimpinan kampus.
Di zaman sepur lempung, ”kambing congek” adalah idiom untuk orang suruhan, untuk menyindir perilaku para penguasa pribumi kala itu yang segala keputusannya dikendalikan oleh kepentingan penjajah. Disayangkan, budaya ini justru lekat diwarisi oleh kalangan yang amat terpelajar di PT.
Di zaman internet sekarang, ia mematut diri menjadi makhluk penunggu sinyal yang serba canggih dengan radar dan sensor selalu menyala. Segala keputusan yang diambil tak digerakkan oleh hati dan naluri keilmuannya, tetapi berdasarkan sinyal yang diterima dari luar kampus. Hati dan pikirannya telah membeku dan membatu.
Berkomplot dengan oknum
Kambing congek memilih akrab dengan para tokoh kehormatan antagonis, di sisi lain berwatak bengis terhadap dosen dan bawahannya sendiri, seperti memecat dosen tanpa alasan jelas. Kambing congek telah menancapkan jangkar ketidakadilan hukum di kampus.
Mereka umumnya tak terlalu peduli dengan karier dosennya yang tersengal puluhan tahun, tetapi tergopoh menyambut hangat hadirnya para penerobos akademik dari luar kampus.
Dalam situasi seperti itu, selalu saja tersedia kesempatan mereka menangguk keuntungan finansial, sebagaimana para penguasa pribumi dulu menilap uang gaji pekerja tanam paksa.
Derajat PT tak lagi lebih terhormat daripada koruptor, tahanan, atau pelanggar integritas. Bagaimana tidak? Sudah cukup banyak contoh pesohor dan tokoh kehormatan yang diagungkan oleh dunia kampus dalam sebuah forum pengukuhan guru besar, kemudian terbukti berbondong-bondong terjerembap menjadi pesakitan.
Opini Kompas sebelumnya secara gamblang menjelaskan fenomena ini. Secara diam-diam, sebagian dosen mempelajari cara para pesohor melakukan terobosan akademik hingga bisa lolos menjadi guru besar.
Dikenali kemudian bahwa kata kuncinya adalah jurnal abal-abal. Jurnal predator yang umumnya selalu dihindari oleh para dosen, tetapi bagi dosen tertentu barang haram tersebut justru menjadi solusi.
Jurnal semacam ini ternyata memiliki penggemar di beberapa negara. Tentang jumlah pengguna jurnal jenis ini, penelitian Vit Machacek dan Martin Srholec (2022) pada kurun 2015-2017 menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Kazakhstan.
Miskinnya penghayatan atas nilai keadilan hukum menjadikan negara ini sering heboh bukan untuk hal yang bermutu, melainkan hanya sibuk mengurusi sifat tamak, rakus, dan serakah.
Yang juga diamati dan ditiru oleh sebagian dosen ”lemah iman” tersebut adalah cara para pesohor bisa menguasai pejabat dikti beserta tim penilai angka kredit yang sebenarnya terdiri atas pakar dari berbagai PT.
Kisah sukses 1-2 orang menyebar ke banyak orang dan terbentuklah kemudian yang disebut dengan oknum komplotan reviewer yang tentu saja dalam menjalankan operasinya mesti berkomplot dengan oknum pejabat dikti.
Malah tahap penilaian berkas usulan di tingkat kampus umumnya tak begitu membuat khawatir karena mereka sangat tahu cara bermain dengan kambing congek.
Menegakkan martabat PT
Di bumi Pancasila ini banyak pejabat negara yang tak peduli dengan martabat PT, bahkan ada yang tanpa rasa malu dan rasa kemanusiaan menari-nari dan menginjak-injak perasaan dan harkat para sivitas akademika yang sudah puluhan tahun mengabdi penuh dedikasi.
Tak ada yang bisa melindungi profesi dosen kecuali dosen itu sendiri dan masyarakat kampus harus bersatu melawan ketidakadilan ini, yaitu berani bangkit menegakkan martabatnya, kecuali apabila cita-citanya memang ingin menjadi kampus kambing congek. Berjuang, cabut semua peraturan pengangkatan guru besar oknum luar kampus.
Kalaupun ada dampak finansial yang menyertai kehadiran oknum luar, dipastikan itu hanya dinikmati oleh si kambing congek belaka. Selebihnya, oknum tersebut berpotensi membawa virus yang mematikan, menyumbat pernapasan dan menghentikan detak jantung universitas. Kita harus memperjuangkan secara bersama-sama bahwa guru besar adalah jabatan untuk dosen, bukan gelar obralan.
Para pejabat negara semestinya memberikan suri teladan tentang cara menghadirkan keadilan dan merawat rasa kemanusiaan di tengah berbagai kesulitan hidup rakyat, bukan malah sebaliknya, pongah dan sombong. Kurang kaya dan terhormat apa, misalnya, seorang ketua MPR sehingga merasa berhak untuk mengambil dan memiliki jabatan akademik dosen, sebuah jabatan yang semestinya memang menjadi hak orang kecil?
Apakah di lembaga tertinggi negara semacam MPR tak ada kode etik dan aturan hukum yang mengatur agar para pejabatnya khusyuk menjalankan tugas jabatan yang menjadi kewajiban sesuai tunjangan jabatannya yang demikian besar? Sungguh memalukan seandainya MPR tak punya komitmen jelas tentang ini dalam perspektif profesionalisme dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jika seorang dosen karena berbagai alasan bertugas menjadi pejabat negara semacam ketua MPR atau komisioner semacam ketua KPU, dijamin sejak menit pertama mereka dilantik pada jabatan baru, jabatan akademiknya pasti dinyatakan nonaktif. Ketentuan ini sangat rigid mengatur dan seketika berlaku secara otomatis terutama untuk PNS. Selama nonaktif, jabatan akademiknya tak bisa dinaikkan dengan syarat apa pun dan tunjangan jabatan dosennya dihentikan.
Sungguh memalukan seandainya MPR tak punya komitmen jelas tentang ini dalam perspektif profesionalisme dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Apabila di negeri ini ada keadilan hukum, hakikat ketentuan itu semestinya berlaku untuk sebaliknya, semua pejabat negara tidak boleh menduduki jabatan akademik aktif. Miskinnya penghayatan atas nilai keadilan hukum menjadikan negara ini sering heboh bukan untuk hal yang bermutu, melainkan hanya sibuk mengurusi sifat tamak, rakus, dan serakah.
Sesungguhnya, betapapun deras serangan para penerobos akademik dari luar, martabat PT tak akan pernah tergoyahkan jika kepemimpinan kampus memiliki budaya akademik dengan integritas tinggi. Sayangnya, saat ini masih banyak kambing congek bercokol.
Supriadi Rustad
(Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro)