Sumber: Pena Katholik |
Ada pepatah dalam bahasa Italia, "tradurre è tradire". Artinya: menerjemahkan itu mengkhianati. Pembelajar filsafat berbahasa Indonesia di hari hari ini banyak diguyur oleh aneka terjemahan buku buku filsafat. Bahkan, beberapa karya filosof besar juga bisa kita jumpai dalam bahasa Indonesia di gerai toko buku.
Pengalaman personal saya, tanpa menyebut nama buku terjemahannya (agar tetap dalam imaginasi nyata), saat membaca terjemahan buku itu (salah satu), saya malah tidak mengerti filsafat dari filosof yang diterjemahkan. Saya pernah konfirmasi ke Prof. Bertens tentang buku filsafat terjemahan itu di suatu pertemuan HIDESI Semarang banyak tahun silam. Dia juga mengamini bahwa buku filsafat terjemahan bahasa Indonesia tidak bisa (sulit bisa) dimengerti. Penerjemah kerap HANYA memindahkan kata dan arti literernya (umumnya dari Bahasa Inggris ke Indonesia). Yang "missed" banget dari buku terjemahan ialah metodologi berfilsafatnya, skema skema pemikiran filosofisnya, kontras dan sinonimitas konteks dan peristiwanya, juga metafora dan penggunaan simbolisasi makna bahasanya.
Seorang kawan (doktor filsafat lulusan luar negeri) ingin menerjemahkan "Sein und Zeit" (Being and Time)-nya Heidegger ke bahasa Indonesia. Dia minta pendapat saya tentang rencananya. Saya bilang, sebaiknya tidak melakukan. Karena sudah pasti akan ada banyak "footnotes" untuk setiap lembar halamannya. Tanpa banyak "notes", filsafat Heidegger (bahasa Indonesia) pasti sangat beda dengan yang kita kenali. Kawan itu mengurungkan niatnya. Kita semua tahu filsafat Heidegger nyaris "untranslatable". Karya yang dikagumi dan diterbitkan oleh gurunya itu (Edmund Husserl) merupakan salah satu mahakarya filsafat yang entah sampai kapan mungkin tak akan bisa kita baca dalam bahasa Indonesia. Mungkin. Dan, Heidegger bukan satu satunya.
Prof Kees Bertens, menurut salah satu sahabat yang mengenalnya secara dekat, mungkin lebih merupakan seorang "guru filsafat" atau "sejarawan filsafat" ketimbang filosof. Dan, saya mengamini sekaligus menambahkan, dia "guru top" yang menguasai "landscape" historis filosofis secara mengesankan. Buku SEJARAH FILSAFAT YUNANI adalah buku yang "banyak dipinjam" para dosen filsafat di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia untuk dibawa ke kelas kelas pengantar filsafat. Belakangan muncul lagi tandem dengan murid-muridnya, buku PENGANTAR FILSAFAT.
Dari perspektif METODOLOGI BERFILSAFAT, upaya Prof. Bertens -- menurut saya -- bagaikan membangun "rel" dari KA dengan gerbong gerbong filsafat. "Gerbong-gerbong" itu didatangkan dari belahan dunia Barat. Dia sendiri tidak ada di dalam salah satu gerbong itu. Kita para pembelajar seakan akan diminta (oleh Prof. Bertens) untuk membuka dan membongkar muatan gerbong gerbong itu. Ada yang menyukai gerbong Aristoteles. Ada yang terpaku pada gerbong eksistensialisme. Ada yang terkesima dengan gerbong strukturalisme. Dan, seterusnya.
Selagi, setiap dari kita hampir selalu mengasosiasikan filsafat dengan "gerbong gerbong" itu, sementara Prof Bertens tidak ada dalam salah satunya (sebab dia membangun "rel"-nya), kita langsung punya kesan Prof Bertens adalah seorang "guru filsafat" ketimbang "filosof".
Cita cita filsafat Prof Bertens secara metodologis (menurut saya) sesungguhnya justru melampaui sekedar membongkar dan menikmati muatan "gerbong" filsafat Barat yang ada. Maksudnya, Prof Bertens berharap para pembelajar filsafat Indonesia kelak mampu menciptakan gerbong-gerbong baru yang tidak sekedar copy paste pemikiran Barat.
Seorang teolog Felix Wilfred dari India (yang juga punya latar belakang penguasaan studi filsafat Barat) pernah mengritik keras para "students India" yang merasa belum berfilsafat atau berteologi apabila belum mengutip pandangan para teolog/filosof Barat (betapa pun kutipan itu nampak "over" juga). Mungkin, "Indonesian students" dalam hal pengembangan ilmu filsafat dan teologi tidak jauh jauh amat dengan yang dikritik oleh Felix Wilfred itu.
Sekitar tahun 1925-an atau sebelumnya atau sekitar itu, berkumpulah para filosof India di Kolkata. Hadir atau menjadi salah satu anggota prominent, Rabindranath Tagore, pemenang Nobel. Berkumpulnya para filosof India ini konon "pertama kalinya". Tahun itu India tidak sama dengan sekarang ini. Belum merdeka. Kemiskinan dan keterbelakangan luar biasa. Program program makan gratis masih menjadi tindakan sedekah dari segelintir para kaya yang murah hati. Yang menarik justru ini, mereka sepakat untuk menggali khasanah filsafat sendiri (INDIA) dan MENGEMBALIKAN FILSAFAT KE RAKYAT.
"Pertemuan filosof India" itu konon menginspirasi para ilmuwan fisika untuk juga ngumpul membahas perkembangan baru riset riset mereka (Einstein, Planx, Bohr, DePauli, Schrödinger, dll). Dan, kita sekarang menjumpai, bahwa dunia kita ini telah diubah oleh para ilmuwan yang "ngumpul" itu.
Kembali ke Prof. Bertens. Jelaslah, bahwa menguasai berfilsafat TIDAK SAMA DENGAN sekadar mengenal dan memahami "gerbong gerbong" filsafat Barat atau mengutip term term filsafat (atau sekedar membaca buku buku Prof Bertens lalu berhenti pada kepuasan pengenalan terminologi filosofis).
Adalah "kehendak" Prof Bertens (secara metodologis-filosofis) -- menurut saya -- bahwa kita menggumuli pemikiran Barat, mengkritiknya, memrethelinya, mendialogkannya, mengkomparasikannya, dan pada gilirannya mampu MEMBANGUN "GERBONG-GERBONG" FILOSOFIS BARU, bahkan "Lokomotif" penggerak gerbong-gerbong itu, atau sistem dan struktur kompleksitas "rel-rel filosofisnya", atau malahan membangun sebuah "STASIUN BARU" yang "sophisticated," yang bernama filsafat Indonesia. Dan, "stasiun baru filsafat Indonesia ini" tak mungkin terjadi apabila kita: 1) tidak menyimak kritik Felix Wilfred di atas, 2) rekomendasi pertemuan pertama para filosof India 1925 itu, dan 3) bila tidak mengupayakan KEBERANIAN FILOSOFIS ala Prof Bertens dalam membangun "rel-rel" berfilsafat Barat yang sudah dia selesaikan dengan mengesankan di banyak tahun bakti hidupnya.
Armada Riyanto CM
(STFT Widya Sasana)