Sumber: Riaunews.com |
Bukan hanya ibu kota barunya yang bak kota hantu tapi juga utangnya ke China. Kedua pemberitaan itu paling menonjol di 2022 ini. Berikut rangkumannya: Ibu Kota Baru bak Kota Hantu
Pemindahan ibu kota bukan hal baru bagi negara. Tapi menurut sebagian pihak, yang dilakukan tetangga RI di ASEAN, Myanmar, tak cukup sukses.
Myanmar awalnya memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyitaw November 2005. Pemindahan dilakukan saat junta militer dikuasai Jenderal Than Shew.
Proyek urbanisasi dimulai pada tahun 2001. Kemacetan Yangon macet dan populasi yang sangat padat menjadi alasan.
Meski demikian, mengutip Nikkei Asia, pemindahan juga memiliki motif lain. Mulai dari mewaspadai gerakan pro-demokrasi hingga bentuk strategi militer setempat.
Naypyitaw artinya "Istana Kerajaan". Wilayah ini berada di Desa Kyatpyae, Kota Pyinmana, Provinsi Mandalay, 372,8 kilometer dari Yangon.
Kota itu berukuran empat setengah kota London itu. Luasnya mencapai sekitar 7.054 km.
Namun sayangnya, setelah jadi kota itu kerap dijuluki "kota hantu". Padahal, pemindahan menelan biaya hingga US$ 4 miliar.
Dana dipakai untuk membangun jalan raya megah, pembangkit, lapangan golf, hotel, pusat perbelanjaan, resto dan cafe. Namun, mengutip Business Insider dari The Guardian, kota itu minim penduduk.
Naypyitaw hanya dihuni 924 ribu jiwa saja. Ini merupakan data dari pencatatan tahun 2017.
"Jalan raya yang luas benar-benar kosong dan ada keheningan di udara. Tidak ada yang bergerak," tulis The Guardian seraya menyebut bahkan wifi gratis dan cepat, yang jarang di negara itu, tak sanggup menarik lebih banyak orang ke sana.
"Pada hari Minggu sore yang cerah, jalanan sepi, restoran dan lobi hotel kosong. Sepertinya gambaran menakutkan dari pinggiran kota Amerika pasca-kiamat; seperti film David Lynch di lokasi di Korea Utara," jelas media itu lagi.
Dalam laporan media lainnya, pejabat mengaku tak memilih tinggal di Naypyidaw. Alasannya karena kurangnya fasilitas komersial dan pendidikan.
Sebenarnya, sebelum dijatuhkan junta militer Februari 2021, Aung San Suu Kyi sempat membuat kebijakan yang mendorong kedutaan negara sahabat menempati kantor di Naypyidaw. Namun sayangnya hal itu tak pernah ia realisasikan.
Sementara itu, dalam pemberitaan terbaru dikutip media India, ANI, Myanmar saat ini dilaporkan masuk dalam jajaran negara yang terancam gagal bayar utang China. Hal ini terjadi pasca negara itu jatuh dalam kudeta politik yang datang bersamaan dengan permasalahan ekonomi dan pengangguran.
Ini pun membuat China dengan mudah berinvestasi di sema bident di negara itu, mulai gas, kayu, giok, dan tembaga. Semua investasi ini memperoleh dukungan khusus dari jenderal militer Myanmar.
"Akibatnya, China memperoleh ladang gas dan lahan besar-besaran untuk pelabuhan Kyaukpyu dan Zona Ekonomi Khusus (SEZ) di Negara Bagian Rakhine secara gratis," ujar media itu mengutip media lokal, Mizzima News.
Laporan itu pun menambahkan bahwa China kemudian 'memelintir' Myanmar untuk membuat konsesi diplomatik dan ekonomi. Ini, menurut media itu, dapat membawa Beijing lebih dekat dengan kepentingan militer di Samudera Hindia.
"China di Myanmar melanjutkan dengan 'niat jahatnya' dengan mempromosikan Belt and Road Initiative (BRI) melalui Myanmar untuk membantu menegaskan dominasi ekonomi dan militer di Samudera Hindia," tulisnya.
"Karena hanya itu yang dapat memberi China akses ke samudra Hindia dan Pasifik pada saat yang sama untuk memenuhi pengepungan perbatasannya," tambahnya lagi.
Selain BRI, Myanmar juga dilaporkan dicengkeram China dengan "Koridor Ekonomi China-Myanmar (CMEC)". Di bawah proyek tersebut terdapat koridor transportasi yang terdiri dari jalan, rel kereta api, dan zona ekonomi khusus dari Kunming di provinsi Yunnan China hingga pantai Barat Myanmar.
Beijing juga baru-baru membangun rute pelayaran yang menghubungkan Pelabuhan Teluk Beibu yang baru di Provinsi Guangxi di Laut China Selatan ke Yangon. Bersamaan dengan itu China juga menekankan pembangunan kawasan industri di perbatasan negara bagian Shan dan negara bagian Kachin.
"Rute ini sangat penting karena rute tersebut merupakan satu-satunya jalan menuju 80% impor minyak dan gas di negara tersebut dan dapat memainkan peran penting dalam pengembangan Angkatan Laut China di wilayah tersebut," tambah media itu.[Red]