Iklan

Titik Krusial Pilkada 2024

narran
Kamis, 25 Juli 2024 | Juli 25, 2024 WIB Last Updated 2024-07-25T07:27:16Z

pilkada, kecurangan, kpu
Sumber: Media Indonesia
NARRAN.ID, OPINI - Pada 18 April 2016 di harian Kompas, saya menulis artikel dengan judul ”Sengkarut Anggaran Pilkada 2017”. Saat itu, persiapan penyelenggaraan pilkada serentak transisi gelombang kedua tahun 2017 sedang berlangsung.

Pemerintah diingatkan untuk tidak lagi mengulang kejadian pada Pilkada 2015. Ketika itu, 69 daerah belum punya anggaran untuk pelaksanaan pilkada di tengah tahapan yang sedang berjalan. Sejak rezim pelaksanaan pilkada serentak dimulai pada 2015, ketersediaan anggaran hampir menjadi salah satu kerawanan untuk tiga gelombang awal pilkada, yakni pada 2015, 2017, dan 2018.

Setelah melewati beberapa kali rangkaian transisi pilkada serentak pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, persoalan anggaran agaknya tak lagi menjadi masalah di Pilkada Serentak 2024. Pada perhelatan akbar di 37 provinsi dan 514 kabupaten/kota ini, hampir tak terdengar ada provinsi ataupun kabupaten/kota yang mengeluh terkendala anggaran untuk pelaksanaan pilkada serentak yang pemungutan suaranya akan dilaksanakan pada 27 November 2024.

Namun, penyelenggaraan Pilkada 2024 menghadapi masalah yang jauh lebih besar dan kompleks. Hasyim Asy’ari dipecat dari jabatannya sebagai ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 3 Juli 2024 oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena melakukan tindak asusila dalam relasi kuasa kepada seorang perempuan anggota Penyelenggara Pemilu Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.

Jika hendak mengidentifikasi titik krusial pada Pilkada 2024, dengan sangat meyakinkan dapat dikatakan masalah persiapan pilkada kita saat ini justru ada di inti jantung tubuh penyelenggara pemilu tersendiri, terutama KPU.

Pukulan telak bagi KPU

Pemecatan Hasyim pasti tidak berdampak langsung kepada implementasi teknis tahapan Pilkada 2024. Sebab, pelaksanaan masing-masing tahapan pemilihan kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dijalankan secara operasional oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Untuk anggaran pun, KPU demikian. Anggaran penyelenggaraan pilkada bersumber dari APBD masing-masing daerah dan dikelola langsung oleh sekretariat KPU provinsi dan kabupaten/kota.

Namun, kedudukan KPU di pilkada tetap sangat strategis. Di Undang-Undang Pilkada disebutkan secara eksplisit bahwa penanggung jawab akhir dari seluruh pelaksanaan pilkada adalah KPU. Termasuk juga seluruh regulasi teknis pelaksanaan pilkada, mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye, pencalonan, pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara, menjadi tanggung jawab KPU untuk menyusunnya.

Pemecatan Hasyim tentu berdampak secara psikologis kepada kelembagaan KPU. Hasyim selama ini adalah corong KPU. Figurnya terlihat begitu kuat dan kental di dalam palagan Pemilu 2024. Paling tidak itu dapat dilihat di dalam proses perselisihan hasil Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi. Tak satu pun komisioner KPU selain Hasyim yang diberikan kesempatan berbicara di forum persidangan.

Ketika ia dipecat oleh DKPP, tentu saja memberikan dampak ketidakpercayaan publik kepada tubuh penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Muncul banyak pertanyaan di benak publik, seperti inikah kelembagaan KPU dikelola? Di kasus pelanggaran etik kali ini, Hasyim bahkan menyalahgunakan fasilitas jabatan ketua KPU untuk kepentingan pribadinya.

Bagi Hasyim, ini bukan kasus pertama di periode jabatannya pada 2022-2027. Pada Agustus 2023 dia terjerat kasus serupa, ketika diadukan ke DKPP oleh Hasnaeni, salah satu ketua umum partai politik calon peserta Pemilu 2024. Sanksi DKPP kepada Hasyim pada saat itu ialah peringatan keras terakhir.

Pemecatan Hasyim tentu berdampak secara psikologis kepada kelembagaan KPU. Hasyim selama ini adalah corong KPU. Figurnya terlihat begitu kuat dan kental di dalam palagan Pemilu 2024.

Sebagai institusi yang menyelenggarakan pemilu, KPU perlu memperoleh, menjaga, dan menguatkan kepercayaan publik. Selain untuk memfasilitasi partisipasi publik di dalam penyelenggaraan pemilu, KPU mempunyai mandat konstitusional menjaga pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Oleh karena itu, seluruh orang yang bekerja di lingkungan KPU, apalagi komisionernya, perlu bekerja dan bertindak secara profesional.

Namun, alih-alih menciptakan wajah institusi penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis, humanis, dan membaur, kelembagaan KPU justru terperosok pada suasana militeristik, glamor, dan kecanduan plesir ke luar negeri. Keadaan semakin suram manakala kerja teknis penyelenggaraan pemilu sering kali tak beres.

Peraturan KPU yang berdampak langsung pada tahapan pemilu sering terlambat. Konsekuensinya adalah penyelenggara pemilu di daerah, bakal calon, dan publik kebingungan terhadap detail tahapan pelaksanaan pemilu yang akan dijalankan KPU.

Salah satu contohnya adalah terkait jadwal penyerahan dukungan calon perorangan pada Pilkada 2024. Dalam Peraturan KPU tentang Tahapan Pilkada 2024 tidak dicantumkan kapan jadwal penyerahan dukungan bagi bakal calon perorangan kepada KPU. Peraturan KPU tahapan Pilkada 2024 yang sangat minimalis tersebut hanya mencantumkan tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan, yang tahapannya mulai 5 Mei sampai 19 Agustus 2024.

Namun, tiba-tiba, pada 7 Mei 2024 KPU menerbitkan petunjuk teknis yang di dalamnya terdapat rentang waktu yang lebih singkat bagi pasangan calon perseorangan untuk menyerahkan dukungan. Calon perseorangan hanya diberikan waktu lima hari kalender untuk penyerahan dukungan pada 8 Mei-12 Mei 2024.

Hal tersebut menunjukkan bagaimana KPU secara serampangan menerbitkan jadwal tahapan sepenting penyerahan dukungan calon perseorangan hanya satu hari menjelang tahapan itu dimulai. Kondisi ini tentu saja berdampak pada ketiadaan waktu bagi KPU provinsi dan kabupaten/kota untuk menyiapkan penerimaan berkas dukungan.

Dampak lainnya adalah jadwal ini tidak dapat disosialisasikan kepada bakal calon dengan maksimal karena diterbitkan satu hari jelang tahapan dimulai. Apalagi, bagi bakal calon perseorangan, pengumpulan dan manajemen dukungan pemilih adalah suatu rangkaian yang tidak mudah untuk dipenuhi. Ini satu contoh saja betapa buruknya performa dan profesionalitas KPU saat ini.

Segera berbenah

Pemecatan Hasyim jangan sampai kontraproduktif dengan upaya untuk segera membenahi KPU. Komisioner tersisa jangan sampai sibuk bertarung dan memperdagangkan pengaruh berebut posisi ketua KPU. Pembenahan jangka pendek dan jangka panjang sudah sepantasnya menjadi prioritas.

Dalam pembenahan jangka pendek, kolegialitas KPU mesti diperkuat. Kesan yang muncul selama ini bahwa wajah KPU yang sangat identik dengan Hasyim mesti dihentikan. Sebab, kondisi ini acap kali menjadi bumerang bagi kelembagaan KPU.

Sikap yang keluar ke publik berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu tidak boleh sikap personal komisioner. Keputusan yang menjadi kebijakan adalah keputusan lembaga yang siap dan matang untuk dijelaskan kepada publik. Kepentingan paling dekat tentu saja berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pilkada 2024.

Kontroversi terkait dengan syarat usia calon kepala daerah bisa menjadi salah satu prioritas komisioner tersisa untuk melakukan perbaikan. Beberapa pernyataan publik Hasyim yang sempat membuat persoalan syarat usia calon kepala daerah menjadi semakin membingungkan mesti dikoreksi.

Sikap KPU yang bersetia kepada konstitusi dan UU Pilkada perlu ditunjukkan. Salah satu upaya terdekat yang bisa dilakukan adalah mengembalikan syarat usia sebagai syarat calon kepala daerah mesti dipenuhi bakal calon ketika mendaftar ke KPU, bukan ketika penetapan calon terpilih, apalagi ketika pelantikan. Pengaturan ini penting agar ada kepastian hukum terkait syarat usia calon kepala daerah. Ini juga akan mengembalikan ketentuan syarat usia seusia dengan ketentuan UU Pilkada.

Konsolidasi organisasi juga penting untuk terus dilakukan oleh KPU jelang pilkada. Namun, caranya tidak dengan tiap sebentar membuat rapat koordinasi yang mengumpulkan seluruh komisioner KPU provinsi dan kabupaten/kota di suatu wilayah. Selain tidak bermanfaat, kebijakan ini telah secara nyata memboroskan keuangan negara. Konsolidasi dapat dilakukan dengan kebijakan yang jelas, peraturan yang konsisten, dan sosialisasi aturan yang cukup dan berkepastian hukum.

Waktu KPU untuk berbenah tidak banyak. Tahapan pilkada sudah berjalan. Oleh sebab itu, komitmen yang kuat untuk memastikan Pilkada 2024 berjalan dengan demokratis adalah suatu yang tidak bisa ditawar. Institusi KPU adalah instrumen penting di dalam pelaksanaan pilkada. Oleh sebab itu, KPU tidak boleh membiarkan situasi krusial membelenggu dirinya terlalu lama.


Penulis: 
Fadli Ramadhanil 
(Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Titik Krusial Pilkada 2024

Trending Now

Iklan

iklan