Sumber: Gatra |
Sarung adalah sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga membentuk tabung. Kain ini biasanya dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang, memanjang dari pinggang hingga ke mata kaki. Sarung dikenal luas di berbagai budaya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina.
Asal Usul dan Sejarah Sarung di Sulawesi Selatan
Sarung telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan selama berabad-abad. Sarung mulai digunakan di wilayah ini seiring dengan penyebaran Islam oleh para pedagang dan ulama dari Timur Tengah dan Gujarat. Sarung menjadi simbol penting dalam masyarakat Bugis dan Makassar, mewakili kesederhanaan, kehangatan, dan kebersamaan (Pelras, 1996).
Perbandingan Nilai dalam Budaya Sarung dengan Berbagai DaerahSarung memiliki makna dan penggunaan yang berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jawa, sarung sering digunakan dalam konteks keagamaan dan upacara adat. Di Bali, sarung dikenal dengan nama kain dan digunakan dalam upacara keagamaan Hindu. Sementara di Sulawesi Selatan, sarung tidak hanya digunakan dalam upacara adat dan keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai simbol identitas budaya.
Peran Sejarah Sarung sebagai Simbol oleh Raja-Raja Pada masa kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa dan Bone, sarung menjadi simbol kekuasaan dan status sosial. Raja-raja dan bangsawan sering mengenakan sarung dengan motif dan bahan yang khusus, menunjukkan status mereka dalam masyarakat. Sarung yang dikenakan oleh bangsawan sering kali dibuat dari kain sutra yang mahal dan dihiasi dengan motif-motif yang rumit, mencerminkan kekayaan dan kekuasaan mereka (Lineton, 1975).
Penggunaan Sarung dalam Kampanye Politik
Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat banyak politisi di indoneisa dan khususnya di Sulawesi Selatan yang memanfaatkan sarung sebagai bagian dari strategi kampanye mereka. Misalnya, dalam acara-acara kampanye, mereka sering kali terlihat mengenakan sarung sebagai cara untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat. Sarung menjadi alat untuk membangun citra diri yang merakyat dan dekat dengan masyarakat biasa.
Lebih dari itu, sarung juga digunakan dalam berbagai kegiatan sosial yang diadakan oleh politisi, seperti pengajian, pesta rakyat, dan upacara adat. Dengan cara ini, sarung tidak hanya berfungsi sebagai pakaian, tetapi juga sebagai simbol kehadiran dan keterlibatan aktif dalam kehidupan masyarakat.
Sarung sebagai Alat Tukar Suara
Namun, dalam perkembangannya, sarung juga telah mengalami pergeseran makna. Di beberapa daerah, sarung telah menjadi alat transaksional dalam politik. Politisi memberikan sarung kepada pemilih sebagai bentuk barter untuk mendapatkan suara. Praktek ini secara kultural telah mengubah sarung menjadi alat tukar suara, yang secara langsung mempengaruhi preferensi pemilih dalam momentum politik.
Praktek sarung sebagai alat tukar suara biasanya diberikan kepada kepala keluarga tingkat menengah. Masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah cenderung menerima amplop berisi uang, sementara mereka yang berada pada tingkat sosial ekonomi atas lebih sering terlibat dalam transaksi kepentingan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, sasaran utama pemberian sarung adalah masyarakat menengah, khususnya kepala keluarga yang masih dekat dengan pengaruh budaya namun tidak begitu kental.
Penggunaan sarung sebagai alat transaksional ini cenderung menggerus nilai-nilai budaya dari sarung itu sendiri. Sarung yang seharusnya menjadi simbol identitas budaya dan kebanggaan masyarakat kini tereduksi menjadi komoditas politik. Praktek ini tidak hanya merendahkan makna sarung sebagai bagian dari warisan budaya, tetapi juga mengorbankan esensi dan nilai budaya yang melekat pada sarung (Mattulada, 1982). Faktor Pengaruh Pemilih Suaranya Dapat Dibeli Lewat Transaksi Sarung
Faktor Budaya
Di Sulawesi Selatan, sarung bukan hanya pakaian sehari-hari, tetapi juga simbol identitas budaya yang mendalam. Sarung mencerminkan status sosial dan keanggunan seseorang dalam komunitas Bugis dan Makassar. Ketika sarung digunakan sebagai alat tukar suara, ini menggambarkan bagaimana politisi memanfaatkan simbol budaya untuk keuntungan politik mereka.
Budaya kasta dalam masyarakat Sulawesi Selatan, di mana sarung sering kali menunjukkan status sosial, membuat sarung menjadi alat yang efektif untuk memengaruhi pemilih. Politisi memberikan sarung kepada kepala keluarga tingkat menengah sebagai cara untuk mendapatkan dukungan, karena kelompok ini masih terhubung dengan tradisi budaya namun tidak begitu terpaku pada hierarki sosial.
Faktor Pendidikan Politik
Pendidikan politik di Indonesia masih kurang merata dan belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Banyak pemilih yang belum memahami hak dan kewajiban mereka dalam proses demokrasi. Hal ini membuat mereka rentan terhadap praktek-praktek politik transaksional, termasuk pemberian sarung sebagai alat tukar suara. Menurut data dari berbagai survei, tingkat literasi politik di Indonesia masih rendah, terutama di daerah-daerah terpencil.
Sebuah laporan dari Lembaga Survei Indonesia (2019) menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% dari penduduk Indonesia yang memahami dasar-dasar sistem politik dan demokrasi. Rendahnya pendidikan politik ini menyebabkan pemilih lebih mudah terpengaruh oleh hadiah-hadiah materi seperti sarung daripada berfokus pada program atau visi misi calon politisi.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi pemilih. Di banyak daerah di Sulawesi Selatan, tingkat kemiskinan masih tinggi, dan banyak keluarga yang hidup dengan penghasilan pas-pasan. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, hadiah seperti sarung dapat memiliki nilai yang signifikan bagi pemilih. Pemberian sarung menjadi bentuk bantuan langsung yang diterima dengan baik oleh masyarakat yang membutuhkan, meskipun pada akhirnya merusak proses demokrasi yang sehat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2023), Sulawesi Selatan memiliki tingkat kemiskinan sebesar 8.70%, atau 788.850 Orang masih dalam kategori miskin, yang menunjukkan bahwa banyak masyarakat masih berjuang secara ekonomi.
Faktor Sosial
Interaksi sosial dan tekanan dari komunitas juga dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Dalam masyarakat yang terikat oleh norma-norma budaya yang kuat, keputusan individu sering kali dipengaruhi oleh pendapat dan tindakan kelompok. Jika pemberian sarung dianggap sebagai bentuk kebaikan dari politisi, banyak anggota komunitas yang mungkin merasa berkewajiban untuk membalas kebaikan tersebut dengan memberikan dukungan suara. Hal ini menciptakan siklus di mana politik transaksional menjadi norma yang diterima dan sulit untuk diubah.
Analisis Keterlibatan Sarung dalam Momentum Politik
Penggunaan sarung sebagai alat transaksional dalam politik menunjukkan betapa pentingnya simbol budaya dalam proses politik. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia, di mana elemen budaya sering dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan politik.
Dalam konteks politik modern, sarung menjadi lebih dari sekadar pakaian tradisional; ia menjadi alat strategis yang digunakan untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih. Politisi yang memahami nilai budaya lokal dan memanfaatkannya secara efektif sering kali berhasil menarik dukungan dari pemilih yang merasa identitas budaya mereka dihargai dan diakui.
Namun, penggunaan sarung dalam politik juga membawa implikasi negatif. Ketika sarung digunakan sebagai alat tukar suara, ia kehilangan makna budaya aslinya dan menjadi alat transaksional semata. Ini dapat merusak nilai-nilai budaya dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap politisi yang menggunakan simbol budaya untuk tujuan politik pribadi.
Selain itu, praktek ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam proses politik. Masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah mungkin merasa tertekan untuk menerima sarung sebagai imbalan suara, sementara mereka yang berada di posisi sosial ekonomi lebih tinggi mungkin tidak terpengaruh oleh praktek ini. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam representasi politik dan merusak integritas proses demokrasi.
Oleh karena itu, penting bagi politisi dan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang melekat pada sarung. Menggunakan sarung sebagai alat untuk membangun hubungan dan memahami kebutuhan masyarakat adalah hal yang positif, tetapi harus dilakukandengan cara yang menghargai dan menjaga esensi budaya yang melekat padanya.
Tantangan dan Peluang
Di tengah perubahan zaman dan modernisasi, penggunaan sarung dalam politik menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga agar nilai-nilai budaya yang melekat pada sarung tidak hilang dalam arus politik transaksional. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga nilai budaya dan tidak mudah terpengaruh oleh praktek politik transaksional.
Namun, ada juga peluang besar bagi politisi yang mampu memahami dan memanfaatkan simbol budaya seperti sarung dengan cara yang benar. Dengan menghargai dan melestarikan nilai-nilai budaya, politisi dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan pemilih. Ini tidak hanya akan memperkuat dukungan politik, tetapi juga membantu melestarikan warisan budaya yang berharga bagi generasi mendatang.
Kesimpulan
Fenomena "Politik Sarung" di Sulawesi Selatan menunjukkan bagaimana elemen budaya dapat digunakan dalam konteks politik untuk membangun dukungan dan kepercayaan pemilih. Namun, penggunaan sarung sebagai alat transaksional juga membawa dampak negatif yang dapat merusak nilai-nilai budaya dan integritas proses demokrasi. Penting bagi politisi dan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang melekat pada sarung, serta meningkatkan pendidikan politik agar pemilih lebih memahami hak dan kewajiban mereka dalam demokrasi.
Muhammad Yusril Taib
(Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Makassar)