Iklan

Baca Buku Bukan Soal Melawan Sepi

narran
Senin, 02 September 2024 | September 02, 2024 WIB Last Updated 2024-09-02T10:21:06Z

baca buku, melawan sepi, krisis literasi
Sumber: Pexels
NARRAN.ID, ANALISIS, Seringkali kita merasa bahwa membaca kian menjadi pekerjaan yang sulit dilakukan. Bukan karena ketiadaan buku di pasar dan perpustakaan. Melainkan membaca diaggap bukan cara spesial yang taktis dan ringkas menyelesaikan segala persoalan kita saat ini. Benarkah demikian?

Ketika sekelompok remaja yang malas membaca papan petunjuk memutuskan menjelajahi hutan sembarangan, mereka biasanya akan bertemu dengan kematian. Dalam Castaway on The Moon, seorang laki-laki yang terdampar di sebuah pulau kecil justru berhasil bertahan hidup gara-gara membaca tulisan pada pembungkus bekas mi instan.

Apa yang dialami sekelompok remaja di atas adalah hal lumrah dalam film horor, begitu pula petualangan laki-laki yang terdampar hanya terjadi di dalam film. Namun, mengaitkan besarnya dampak membaca bagi kehidupan bukanlah sebuah dramatisasi ala film, melainkan fakta.

Jantung literasi

Makna awal literasi berkaitan dengan huruf atau ”littera” dalam bahasa Latin. Itulah mengapa ”litteratus”, sebagai cikal bakal istilah literasi, tidak hanya berarti terpelajar, tetapi juga yang mempunyai pengetahuan tentang huruf-huruf atau teks.

Jika literasi adalah tubuh, maka jantungnya adalah teks. Namun, jantung yang tidak berdetak tidak akan dapat menghidupkan tubuh. Untuk itu harus ada nyawa yang ditiupkan ke dalamnya agar dapat mendetakkan jantung. Adapun nyawa yang dapat mendetakkan jantung teks adalah membaca. Dengan kata lain, membaca berhubungan dengan kehidupan. Bukan hanya kehidupan literasi itu sendiri, melainkan juga kehidupan manusia dan peradabannya.

Membaca juga merupakan salah satu bentuk kecakapan hidup. Dengan membaca, seseorang dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasannya, belajar berimajinasi, bermimpi dan bercita-cita tinggi, bahkan mendorong untuk berkreasi sebagaimana yang dirasakan oleh sastrawan besar Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez.

Sejak kecil, Marquez mencintai buku-buku, terutama buku baru yang dilihatnya serupa roti hangat dari oven. Terlahir dari keluarga miskin, Marquez hanya mampu membaca buku-buku yang dipinjamnya dari teman atau perpustakaan.

Namun, ada yang berbeda ketika pada suatu hari seorang teman meminjamkan Metamorfosis karya Franz Kafka kepadanya. Tiba-tiba saja, kehidupan Marquez berubah dimulai sejak dia membaca baris pertama novel tersebut.

Tentu saja bukan berubah menjadi kecoa seperti protagonis Metamorfosis, Gregor Samsa, tetapi Marquez ingin bisa berubah menjadi penulisnya. Dia ingin meniru Franz Kafka. Marquez pun menulis cerpen tentang seorang birokrat yang berubah menjadi kecoa dan mengirimnya ke koran El Espectator.

Selang beberapa bulan, cerpen tersebut dimuat. Sebuah keberuntungan yang tidak mungkin terjadi seandainya cerita itu dikirimnya kepada Salman Rushdie, bukan Eduardo Zalame, editor El Espectator, puluhan tahun kemudian.

Kebalikan dari Marquez, ketidakberuntungan justru menimpa seorang penulis pemula yang ingin pula meniru Kafka dengan menulis cerpen tentang Ny K yang mendapati dirinya berubah menjadi mesin cuci. Penulis itu mengirimkan cerpennya kepada Salman Rushdie. Karya itu langsung mendapat cap konyol sebagai peniru.

Pengalaman membaca yang mampu menggerakkan hati seperti itu juga dialami Gao Xingjian, novelis penerima hadiah Nobel Sastra asal China. Setelah membaca memoar Ilya Ehrenburg yang berlatar kota Paris, Xingjian muda menyimpan harapan untuk bisa mengunjungi kota tersebut pada suatu hari nanti dan mulai belajar bahasa Perancis.

Hal serupa dirasakan oleh Presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson saat terpilih sebagai Menteri Luar Negeri Amerika untuk Perancis. Dia mempelajari bahasa Perancis dengan cara membaca buku Don Quixote karya Miguel de Cervantes dalam versi bahasa Perancis. ”(Karena) membaca mengubah mimpi menjadi hidup, dan hidup menjadi mimpi,” ungkap Mario Vargas Llosa saat memberi pujian untuk membaca dalam sebuah esainya (2010).

Mimpi yang membuat Jorge Luis Borges membayangkan wujud surga sebagai perpustakaan ketika kebutaan yang menyerang kedua matanya membuatnya tidak bisa lagi membaca. Mimpi yang membuat bangsawan tua, Alonso Quixano, menjalani hari-hari penuh semangat layaknya seorang kesatria muda perkasa bernama Don Quixote de La Mancha; mengatasi krisis paruh bayanya dengan impian masa muda.

Isilah lubang gelap kehilangan itu dengan membaca. Temukan kata-kata yang memancar kuat. Temukan kalimat-kalimat yang menggetarkan jiwa.

Namun, kita tidak perlu menjadi seperti Alonso atau menunggu datangnya musibah serupa yang dialami Borges. Untuk dapat merasakan pengalaman membaca yang sedemikian intens dan dalam, yang perlu kita lakukan hanyalah menemukan kesenangan dalam teks.

Menurut Roland Barthes, dalam Kesenangan Teks (2019), cara agar membaca terasa menyenangkan adalah dengan memahami cara kerja kesenangan, yaitu bahwa ia membutuhkan kehilangan. Untuk itu, seseorang terlebih dahulu harus mengubah caranya memandang teks.

Lihatlah sebuah teks, entah esai, puisi, cerpen, novel, buku motivasi, atau buku pelajaran, bukan sebagai alat pemaksa atau membuang-buang waktu, melainkan sebagai tempat di mana kita bisa menemukan sesuatu yang hilang.

Kehilangan yang pernah ada, sudah, dan akan terjadi pada diri seseorang. Entah berupa keceriaan masa kanak-kanak, getaran cinta pertama, kesedihan masa lalu, kesadaran tentang makna hidup, atau impian dan cita-cita yang tidak dan belum kesampaian. Bahkan, hingga ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan, bakal disesali jika sampai kehilangan kesempatan untuk mempelajarinya.

Selanjutnya, isilah lubang gelap kehilangan itu dengan membaca. Temukan kata-kata yang memancar kuat. Temukan kalimat-kalimat yang menggetarkan jiwa. Atau, temukan paragraf-paragraf yang bisa mengajak kita bertualang, berpikir tentang masa depan, hingga memahami misteri jodoh dan asmara, misalnya, atau cara kerja sebuah mesin dan sistem, atau sekadar bagaimana cara menata lemari pakaian yang benar, di dalam teks.

Di titik ini, teks bukan lagi sekadar teks, melainkan lebih semacam peta menuju ke tempat penyimpanan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sebuah harta karun yang berasal dari jalinan kisah-kisah tak berkesudahan para penulis. Umberto Eco menyebutnya background books.

Mengingat Marco Polo

Sebagai orang Eropa, Marco Polo dibesarkan oleh lingkungan masyarakat Eropa yang sebagian besar pengetahuannya mengandung bias. Dengan menggunakan sudut pandang Barat atas Timur, masyarakat Eropa percaya bahwa ada hewan bernama unicorn, yang bertubuh ramping serupa kuda, berbulu warna putih, dan bertanduk satu di kepala. Meskipun tiada satu pun orang Eropa yang pernah melihat unicorn, mereka tetap percaya bahwa hewan ini tinggal di negeri-negeri eksotis yang terletak di nun jauh.

Hingga, tibalah masa bagi Marco Polo melakukan petualangannya sampai ke belahan bumi lain, tempat di mana negeri-negeri eksotis berada. Tanpa diduga, dalam salah satu perjalanannya ke tanah Jawa, Marco Polo mengaku bertemu unicorn.

Bedanya, unicorn yang ditemui Marco Polo, menurut pengakuannya, berkulit gelap, berkaki sebesar gajah, dan bertanduk satu di kepala (2019). Belakangan, dunia menyadari bahwa apa yang sesungguhnya dilihat Marco Polo adalah badak bercula satu.

Oleh Eco, kekeliruan Marco Polo mengenali unicorn dinilai berasal dari kurangnya pengalaman membaca Marco Polo dan kesalahan isi ”ensiklopedia” yang dibawanya. Marco Polo berusaha mengenali unicorn yang tidak pernah dikenalnya dalam kerangka hal yang sudah dikenalnya, yaitu pengetahuan bias orang Eropa.

Kekeliruan ini bisa saja menyesatkan banyak orang, bahkan mungkin menjadi salah satu rujukan utama keajaiban dunia, seandainya para penjelajah, sarjana, dan ahli zoologi pada masa sesudahnya tidak menulis teks dan buku sanggahan untuk mematahkan pengakuan Marco Polo. Inilah saatnya berterima kasih kepada para penulis.

Penulis mesti selalu ada di setiap zaman. Dialah suara zamannya, sebagaimana penulis bangsa Sumeria dan Babilonia yang menggunakan dongeng dan mitos banjir besar atau air bah sebagai penanda kenyataan prasejarah. Begitu pula penulis kakawin zaman Majapahit yang menyingkap betapa agung dan tingginya posisi raja kala itu sehingga perlu terus dilakukan penghormatan setinggi langit lewat tembang puji-pujian.

Sementara itu, sejumlah penulis kontemporer sengaja bekerja sama dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Ini dilakukan hanya agar bisa menunjukkan betapa dahsyatnya kemajuan teknologi memengaruhi idealisme, proses kreatif, dan cara berpikir manusia zaman sekarang.

Penulis adalah orang yang menyadari bahwa kehidupan adalah himpunan kisah tak berkesudahan. Kisah-kisah yang bisa dibiarkan lewat begitu saja, tetapi bisa pula diubah menjadi sesuatu yang berharga dan berguna tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang banyak; dimaknai baik-buruknya dengan menjadikannya dorongan, pelajaran, atau motivasi.

Penulis juga adalah orang yang bertempur dengan hidupnya hanya agar bisa mengungkapkan sepotong kecil realitas, juga pengetahuan kepada pembacanya. Potongan-potongan kecil inilah yang, jika disatukan oleh kebiasaan membaca yang berkelanjutan, akan mampu membuat seseorang mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang kehidupan sembari menjaga kesadaran kemanusiaannya; menjadi seorang manusia yang berpengetahuan, kritis, beradab, berbudi pekerti luhur, dan berbelas kasih.

Maka dapat dikatakan bahwa dengan membaca, kita akan mampu menjadi versi terbaik dari diri kita. Sebaliknya, kendati kita tetap dapat bertahan hidup walaupun malas membaca, ini sama saja berarti kita membiarkan versi terbaik dari diri kita mati konyol dalam kemalasan yang bodoh serupa apa yang dilakukan oleh rombongan remaja yang memasuki hutan sembarangan dalam film horor, setelah mengabaikan papan bertuliskan ”Bahaya!” yang terpasang di dekat jalan masuk.[]

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Baca Buku Bukan Soal Melawan Sepi

Trending Now

Iklan

iklan