![]() |
Sumber: Istimewa |
Tak hanya itu, debat pilkada juga dianggap sebagai momentum
bagi calon untuk meyakinkan pemilih. Berapa besar dampak dari debat pilkada ke
elektabilitas calon?
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Pangi Chaniago berpandangan, mencermati variabel multivariat, variabel
independen, dan variabel dependen yang menyebabkan orang mengambil keputusan,
maka figur atau ketokohan kandidat berpengaruh paling besar, yakni 70-80
persen. Selanjutnya adalah partai politik pengusung dalam rentang pengaruh 6-20
persen.
Sementara debat pilkada tak terlepas dari variabel isu (10
persen) dan program (25-30 persen). Momen debat bisa dimanfaatkan kandidat
untuk meyakinkan publik agar memilihnya lewat paparan visi, misi, dan program.
Meski begitu, menurut dia, pengaruh debat antarkandidat pilkada hanya sebesar
5-10 persen terhadap pilihan publik.
”Ini yang kemudian membuat debat tidak terlalu signifikan
sebenarnya kalau saya cermati pengaruhnya terhadap penentuan pilihan.
Berpengaruh besar? Bisa, tapi kalau pemilih rasionalnya di daerah tidak terlalu
tinggi, maka efek debat sebenarnya 5 persen saja paling maksimal,” terangnya
saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Sejauh ini, pemilih rasional di Indonesia, lanjut Pangi,
memang sudah cukup besar, yakni 40-50 persen. Namun, persentase pemilih
tersebut dapat mengecil apabila terdapat penggunaan politik uang dan guyuran
bantuan sosial yang bisa memengaruhi pilihan pemilih.
Ini yang kemudian membuat debat tidak terlalu signifikan
sebenarnya kalau saya cermati pengaruhnya terhadap penentuan pilihan.
Berpengaruh besar? Bisa, tapi kalau pemilih rasionalnya di daerah tidak terlalu
tinggi, maka efek debat sebenarnya 5 persen saja paling maksimal.
Pengaruh besar dari debat muncul setelahnya lewat kerja-kerja tim pemenangan. Debat kerap menyediakan banyak konten propaganda untuk serangan atau menjatuhkan lawan, dan sebaliknya promosi nilai-nilai tertentu. Berkaca dari hal tersebut, pilkada di Pulau Jawa, khususnya Jakarta, meraup pengaruh terbesar dari debat karena akses informasi.
Publik justru mengeksplorasi nilai-nilai sosiologis dalam
debat kandidat pilkada, seperti sifat, gimik, ketampanan/kecantikan, kemampuan
mengontrol emosi, dan lainnya. Konten bersentimen positif dan viral berpengaruh
signifikan dalam ”serangan udara” atau publikasi di media sosial.
”Efeknya itu efek udara, dan kalau media sosialnya kompeten.
Kalau kompeten, tapi enggak ada sinyal, enggak ada internet, tetap saja tidak
akan berdampak,” tambahnya.
Sorotan publik
Dalam Pilkada Serentak 2024, total ada 545 daerah yang
menyelenggarakan pilkada, yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93
kota. Para pasangan yang akan berkontestasi pun tengah menjalani tahapan
kampanye, salah satunya berisi debat antarkandidat, yang berlangsung sepanjang
25 September hingga 23 November mendatang.
Sejak mulainya periode debat pada awal Oktober lalu, penampilan para pasangan menjadi sorotan masyarakat. Beberapa di antaranya bahkan viral di media sosial, misalnya, calon bupati Nganjuk, Jawa Timur, Ita Triwibawati, yang menjadi pembicaraan warganet karena idenya memproduksi beras dari padi dan menghasilkan bawang goreng dari bawang.
Selain itu, ada pula debat antarkandidat wakil bupati
Bojonegoro, Jawa Timur, yang dihentikan karena ricuh.
Kericuhan terjadi karena dalam debat yang dijadwalkan untuk
calon wakil bupati itu ada salah satu calon bupati, yakni Teguh Haryono, yang
berpasangan dengan Farida Hayati, turut naik ke atas panggung. Hal itu memicu
protes dan keributan di panggung debat sehingga agenda pun dibubarkan.
Di sejumlah daerah dengan persaingan ketat, tak jarang
membuat debat menjadi ajang saling bantah dan adu data.
Debat kandidat Pilkada Jawa Tengah, misalnya, cawagub nomor
urut 1, Hendrar Prihadi atau Hendi, terlibat perdebatan dan saling bantah
dengan cawagub nomor urut 2, Taj Yasin Maimoen. Hendi menyoroti kesenjangan
perumahan, sementara Yasin menekankan peningkatan penerimaan daerah.
Kendati demikian, kata Aditya, penampilan dalam debat
kandidat pilkada masih bisa berkontribusi pada keterpilihan calon. Hanya saja,
untuk mendapatkan efek positif tersebut, para pasangan calon harus bisa tampil
secara dewasa dan menekankan soal substansi gagasan selama debat berlangsung.
”Bagi pemilih, perbedaan perspektif itu akan jadi sesuatu yang produktif. Akan jadi repot kalau yang terjadi justru (debat) normatif karena tidak ada yang bisa mengeksploitasi (gagasan kandidat lain) itu,” ujar Aditya.[Red]