Sumber: CNBC |
Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan keinginan Indonesia
bergabung dengan BRICS saat hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS Plus di
Kazan, Rusia, pada 24 Oktober 2024. Menurut dia, keputusan tersebut merupakan
implementasi politik luar negeri yang bebas-aktif.
BRIC didirikan oleh Brasil, Rusia, India, dan Cina pada
2009. Nama BRIC berasal dari huruf depan tiap negara tersebut. Organisasi ini
memfokuskan perhatian pada peluang investasi di antara negara-negara
anggotanya. Pada 2011, Afrika Selatan ikut bergabung sehingga nama organisasi
ini berubah menjadi BRICS. Pada Januari 2024, sejumlah negara, seperti Iran,
Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab, bergabung menjadi anggota BRICS.
Prabowo yakin keanggotaan Indonesia dalam BRICS bisa
memperluas kemitraan global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Argumentasi ini di satu sisi masuk akal. Secara keseluruhan, negara-negara
anggota BRICS mencakup sekitar 30 persen dari luas daratan dunia dan 43 persen
populasi global. Afrika Selatan memiliki ekonomi terbesar di Afrika, sementara
Brasil, India, dan Cina termasuk di antara sepuluh negara teratas dunia dalam
hal populasi, luas wilayah, serta produk domestik bruto nominal.
Negara-negara anggota BRICS sudah lama menjadi tujuan ekspor Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang mengurangi tarif dan hambatan
nontarif bagi produk ekspornya. Pun Indonesia dapat mengurangi dampak
volatilitas dolar Amerika Serikat dengan memanfaatkan penggunaan mata uang
bilateral BRICS dalam perdagangan.
Di sisi investasi juga menggiurkan. Negara-negara anggota
BRICS berkontribusi sebesar US$ 9,25 miliar atau sekitar 21,2 persen dari total
penanaman modal asing di Indonesia. Wajar Presiden Prabowo tergiur memasukkan
Indonesia menjadi anggota BRICS dengan harapan bisa meningkatkan pasar ekspor
sekaligus menarik investor.
Namun keanggotaan BRICS bukan tanpa risiko. Bergabungnya
Indonesia di BRICS bisa menciptakan benturan kepentingan dengan Amerika Serikat
dan sekutunya yang juga merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. Selain itu,
Indonesia bisa terimbas perang dagang Amerika-Cina. Jika tidak diantisipasi,
Indonesia justru bisa kehilangan sejumlah fasilitas perdagangan dan pasar
ekspor.
Hubungan dagang dengan anggota BRICS, terutama Cina, juga
perlu dicermati. Alih-alih meningkatkan pasar ekspor, Indonesia justru bisa
terjebak menjadi sekadar pasar bagi negara-negara anggota BRICS. Keanggotaan
Indonesia di BRICS akan makin membuka peluang ekspor mereka ke Indonesia.
Bahkan saat ini Indonesia masih kesulitan membendung banjir produk impor dari
Cina yang menyebabkan banyak industri manufaktur,
terutama tekstil, gulung tikar.
Di bidang investasi juga bukan tanpa masalah. Investasi Cina dalam proyek penghiliran selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo menuai banyak kritik. Sebesar 41 persen investasi Cina di Indonesia ditanamkan ke industri pengolahan logam dasar yang tidak ramah lingkungan, termasuk pembangunan smelter nikel.
Di sisi lain, hampir semua perusahaan smelter nikel yang
dikuasai Cina di Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, Cina berhak
membawa semua hasil ke negerinya sendiri. Masalahnya, hampir separuh ekspor
tersebut masih berupa produk setengah jadi. Walhasil, keuntungan besar dari
proyek penghiliran nikel Indonesia justru banyak dinikmati Cina.
Selain urusan untung-rugi, Prabowo bisa belajar dari
kebijakan pemerintah sebelumnya bergabung dengan pelbagai aliansi ekonomi dunia
tapi tidak memberikan manfaat, kecuali menjadi ajang seremonial belaka. Tidak
hanya menghabiskan waktu dan anggaran, banyak kebijakan justru merugikan
Indonesia.
Di awal pemerintahannya, Prabowo berfokus saja memperbaiki semua sistem perdagangan dan investasi era Jokowi yang merugikan perekonomian nasional. Percuma bergabung dengan BRICS jika tidak ada pembenahan drastis tata kelola pembangunan ekonomi.[Red]