Sumber: Istimewa |
NARRAN.ID, ANALISIS -- Kemajuan teknologi terus berfokus untuk menjadi
hal terpenting dalam kehidupan, dengan membuat dan mengembangkan sesuatu untuk
memberikan manfaat berupa mempermudah dan memenuhi kebutuhan dengan praktis
pada semua bidang di kehidupan sehari-hari. Penggunaan teknologi saat ini tidak
hanya pada usia remaja dan dewasa, melainkan pada usia dini dan anak-anak sudah
banyak dikenalkan dengan teknologi. Indonesia saat ini, memiliki Tingkat adopsi
teknologi yang sangat tinggi, menurut laporan We Are Social yang dikutip dari
Katadata, bahwasannya jumlah penduduk Indonesia yang telah mengakses internet d
telah mencapai 213 juta orang per Januari 2023. Hal ini, setara dengan 77% dari
total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang pada awal tahun 2023.
Lebih lanjut transformasi digital memberikan
dampak pada munculnya inovasi-inovasi baru dalam berbagai bidang kehidupan
manusia, termasuk di bidang ekonomi berupa inovasi financial technology (fintech).
Salah satu jenis fintech yaitu layanan transaksi pinjaman
online (pinjol) yang menjadi tren di masyarakat kekinian. Akan tetapi,
transaksi pinjol ini kemudian menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. Mulai
dari praktik ribawi seperti bunga pinjaman yang tinggi, ancaman fisik bagi
peminjam yang tidak bisa membayar utang atau angsuran, teror digital kepada
orang-orang yang dijadikan referensi oleh peminjam saat mengajukan pinjaman,
ancaman penyebaran rahasia pribadi kepada publik melalui media sosial, dan lain
sebagainya. Fenomena tersebut semakin miris, karena hal ini berujung kepada
kasus judi online yang mulai marak di kalangan mahasiswa dan
pelajar di Indonesia yang mana menjadi satu tantangan permasalahan yang sedang
diperangi oleh pemerintah Indonesia saat ini.
Berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejak awal 2023 hingga saat ini total
angka transaksi masyarakat Indonesia dalam judi online sudah
mencapai angka Rp200 triliun. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mengungkapkan pemain judi online di Indonesia sebanyak 4.000.000 orang.
Pemain judi online, tidak hanya berasal usia dewasa tetapi juga anak-anak. Data
demografi yang diungkap PPATK, judi online ini menjerat segala usia. Pemain
judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari pemain, dengan total
80.000 orang. Sebaran pemain antara usia antara 10 tahun sampai dengan 20 tahun
sebanyak 11 persen atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21 sampai
dengan 30 tahun sebanyak 13 persen atau 520.000 orang. Usia 30 sampai dengan 50
tahun sebesar 40 persen atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak
34 persen dengan jumlah 1.350.000 orang.
Pada beberapa kasus dilapangan ditemukan
mahasiswa yang terjerat pinjaman online juga menggadai aset
orang tua demi bermain judi online. Dari kasus tersebut, kita menilai
efeknya cukup panjang mulai dari kesulitan keuangan, putus kuliah, hingga
terpaksa terapi ke psikiater karena kesehatan jiwanya terganggu. Fenomena tersebut
memang berakar dari hal yang sama yaitu Kurangnya literasi keuangan di
masyarakat sehingga generasi muda banyak yang mudah terhasut iming iming
kekayaan instan lewat judi online. Hal ini juga dapat terjadi karena
situs-situs tersebut tak pernah memberikan persyaratan ketat layaknya seseorang
akan masuk ke rumah judi atau kasino, misalnya harus berusia minimal 21
tahun. Hal ini diperkuat oleh data dari
SNLIK (2022) bahwa Literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya sebesar 49,68
persen. Artinya, dari 100 orang, 50 orang memiliki literasi keuangan yang belum
memadai. Kondisi tersebut menyebabkan mudah tergoda dengan iming-iming
keuntungan yang tidak logis.
Kecanduan judol sulit disembuhkan. Para bandar
sudah mengatur agar pemain baru dibuat menang sehingga ketagihan. Setelah itu
program diatur sedemikian rupa agar pemain merugi. Para bandar sudah memiliki
win rate dengan komposisi 70 persen bandar dan 30 persen pemain. Pengguna akan
mengalami perasaan kalah penasaran, menang ketagihan. Oleh karena itu, harus
ada tindakan pencegahan judol sejak dini. Seperti Peran pencegahan dapat
dilakukan oleh pertama, orang tua dalam pengawasan penggunaan HP anak. Dalam
hal ini pemerintah Indonesia juga suda membentuk Satgas Pemberantasan Perjudian
Online. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satgas Pemberantasan
Perjudian Daring. Selanjutnya kerja sama lintas sektor menjadi prioritas dalam
upaya memberantas judol, termasuk bekerja sama dengan 11 organisasi dan
asosiasi untuk memperkuat pemberantasan perjudian online. Asosiasi Financial
Technology (Fintech), seperti Aftech dan AFPI juga diajak untuk mendata
fintech, khususnya pinjaman online, yang diduga digunakan untuk aktivitas
perjudian. Dan yang paling di rugikan adalah masyarakat menengah ke bawah yaitu
sekitar 80 % dan kalangan pelajar.
Menyikapi hal ini, PII sebagai organisasi
pelajar di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya
mengurangi angka judi online (judol) di kalangan pelajar. Dengan basis
keagamaan yang kuat dan jaringan yang luas di kalangan pelajar, PII dapat
menjadi garda terdepan dalam melawan fenomena ini. Pada beberapa kesempatan PII
telah melaksanakan workshop literasi keuangan digital & cyber security dan
PII juga ikut menyuarakan juga terkait literasi finansial di salah satu media
TV di Indonesia, Medcom, dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya pengelolaan keuangan yang baik. Ke depannya, Organisasi Pelajar
Islam Indonesia (PII) akan lebih proaktif dalam memerangi judi online. PII akan
gencar melakukan sosialisasi edukasi tentang bahaya judi online di seluruh
sekolah menengah, mulai dari SMP hingga SMA di Indonesia. Selain itu, bersama
pemerintah, PII akan berupaya menciptakan lingkungan digital yang aman bagi
pelajar dengan memperkuat aturan tentang judi online. PII akan aktif
berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang bertujuan untuk membatasi akses
dan dampak negatif judi online. [red]
#judionline #judol #keuangan #ekonomi