![]() |
Sumber: Bloomberg |
Memang, pembangunan ekonomi membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Namun pertanyaannya, apakah stabilitas sosial dan politik hanya dapat dicapai dengan mengabaikan kualitas demokrasi? Apakah stabilitas akan muncul dari pengaturan politik untuk menghilangkan oposisi? Atau apakah dengan hilangnya oposisi, Indonesia akan menjadi stabil secara sosial dan politik? Saya rasa tidak.
Demokrasi dan Stabilitas Sosial-Politik
Sepanjang pemerintahan Jokowi, terutama pada periode kedua, hampir semua partai politik bersatu dalam pemerintahannya. Namun demikian, pada periode kedua ini justru pembangkangan sipil terjadi berulang kali. Pembangkangan ini muncul melalui aksi massa dalam jumlah besar dalam berbagai isu: pelemahan KPK, KUHP yang membatasi kebebasan sipil, Omnibus Law, dan Revisi UU Pilkada. Selain itu, gejolak di ruang digital, misalnya mengenai isu Mahkamah Konstitusi dalam pemilihan presiden sebelumnya. Aksi-aksi massa ini melibatkan begitu banyak elemen masyarakat, kalau boleh dikatakan kekuatannya bisa saja setara dengan gerakan massa 1998 dalam menggulingkan Soeharto kala itu.
Pengaturan dan rekayasa politik melalui pelemahan kekuatan oposisi tidak akan berhasil menciptakan stabilitas sosial dan politik, stabilitas hanya terjadi di tingkat elite. Sementara di tingkat akar rumput, pergolakan terus terjadi dan semakin membesar. Hal ini wajar karena bersatunya para elite membuat saluran aspirasi publik menjadi sempit, dan jika hal itu terus terjadi, bukan tidak mungkin aspirasi publik akan membengkak dalam bentuk revolusi. Suara-suara tersebut mulai terdengar, terutama pada aksi massa besar di depan gedung MK, DPR, dan KPU yang baru saja terjadi.
Mengutip pendapat Juan Linz dan Alfred Stepan, demokrasi di Indonesia telah menjadi the only game in town. Bagaimanapun, seberapa kuat tendensi penguasa untuk mengeliminasi kebebasan dalam demokrasi, tidak akan dapat menggantikan kedudukan demokrasi itu sendiri. Karena, para penguasa itu sendiri, banyak yang lahir dari sistem yang demokratis. Penguasa menjadi diktator bukan karena memaksakan kehendak cita-cita besar untuk bangsanya, melainkan karena hilangnya kekuatan pengontrol. Oleh sebab itu, justru menjalankan demokrasi dengan sebenar-benarnya, menjadi prasyarat utama untuk merealisasikan narasi besar itu.
Meninjau catatan V-Dem (Varieties of Democracy), selama lima tahun terakhir Pemerintahan Jokowi, kualitas demokrasi Indonesia mengalami erosi akibat melemahnya kekuatan oposisi. Sejak masuknya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi lima tahun lalu, kekuatan oposisi di parlemen hanya menyisakan PKS dan Demokrat yang memiliki sekitar 15 persen kursi di parlemen. Belakangan, Demokrat juga masuk ke dalam kabinet. Akhirnya, hanya PKS yang tersisa dengan kekuatan kursi hanya sekitar 7 persen. Kini, PKS juga bergabung dengan KIM Plus, sehingga perimbangan kekuatan pun berakhir.
Akan tetapi, pemerintahan Prabowo ke depan, menyisakan PDIP sebagai satu-satunya partai yang tidak bergabung ke dalam pemerintah. PDIP perlu tegas dalam menentukan posisinya terhadap Pemerintahan Prabowo, bahkan diharapkan bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah di parlemen. Sebab, sebagai pemenang di parlemen, jika PDIP bergabung maka akan membuat semua kebijakan Prabowo akan lolos dengan mudah di DPR. Padahal, hal ini akan membuat kualitas demokrasi menurun dan memiliki implikasi selanjutnya. Cita-cita sebuah negara maju tidak akan tercapai tanpa adanya perimbangan kekuasaan, serta tanpa adanya check and balances. Negara juga tidak dapat diandalkan untuk bekerja secara optimal tanpa adanya kontrol dari kekuatan partai penyeimbang.
Pertumbuhan Ekonomi dalam Dua Pemerintahan
Berikutnya, melihat dua pemerintahan terakhir dapat digunakan sebagai contoh perbandingan. Para pengamat dan lembaga pemeringkat demokrasi menyimpulkan bahwa kualitas demokrasi pada sepuluh tahun pemerintahan SBY dapat dikatakan lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Jokowi. Status kebebasan Indonesia menurut Freedom House, pada era SBY (2005-2014) Indonesia sebagian besar berada dalam situasi Fully Free, sedangkan pada periode Jokowi (2014-2024), Indonesia berada dalam kondisi Partially Free.
Dengan demikian, apakah itu berarti bahwa dalam kondisi demokrasi yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih terhambat di era SBY dibandingkan dengan era Jokowi? Tidak juga. Pertumbuhan ekonomi di periode pertama SBY adalah 5,64 persen dan di periode kedua 5,80 persen. Bandingkan dengan era Jokowi yang tumbuh 5,03 persen di periode pertama dan 5,18 persen di periode kedua (CNBC Indonesia, 5 Februari 2024). Dengan mengorbankan kualitas demokrasi, pemerintahan Jokowi tidak lebih baik dalam pembangunan ekonomi dibandingkan dengan SBY yang relatif lambat dalam menjaga kualitas demokrasi.
Hilangnya partai oposisi akan berdampak buruk bagi demokrasi dalam lima tahun ke depan. Penyalahgunaan kekuasaan bisa saja terjadi, lemahnya pengawasan terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah akan berpotensi menjadi rezim yang otoriter. Pemerintahan Prabowo menjadi sangat kuat, tanpa adanya kekuatan penyeimbang yang kuat, saya ragu cita-cita besar Indonesia dapat tercapai. Ada banyak penelitian yang menemukan bahwa korupsi mengurangi kelancaran pembangunan secara signifikan. Di Indonesia, daerah yang tingkat korupsinya tinggi juga mengalami stagnasi pembangunan dan korupsi cenderung tumbuh subur di atas kekuasaan yang tidak terkendali.
Hampir semua negara maju saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di era kebebasan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Daron Acemoglu dan James Robinson (Why Nations Fail, 2012) dengan jelas melihat kebebasan sebagai faktor apakah sebuah negara berkembang atau tidak. Negara-negara dengan sistem politik dan ekonomi yang lebih inklusif cenderung lebih maju dibandingkan dengan negara yang tertutup. Sebab, dalam demokrasi, kebebasan yang baik diperlukan agar semua ide dapat dikontestasikan. Kebebasan dan pertumbuhan ekonomi bukanlah dua hal yang harus saling meniadakan, melainkan justru saling mengandalkan.
Tidak ada yang menolak gagasan hebat narasi besar bangsa yang ingin dicapai oleh Prabowo. Itu adalah tujuan bersama yang harus dicapai. Namun, para elite hanya berfokus pada cita-cita akhir tanpa terlalu peduli dan memahami bagaimana cita-cita tersebut dapat dicapai. Dalam membangun negara, konsep kebersamaan tidak selalu harus ditafsirkan bergabung menjadi bagian dari pemerintahan. Membangun negara tetap dapat dilakukan secara bersama, meski berada di luar pemerintahan. Tanpa kekuatan pengontrol yang memadai, perspektif membangun narasi besar, bisa saja jatuh menjadi dalih membangun kekuatan untuk mempertahankan kuasa.
Muhammad Aqshadigrama
(M.A. in Political Science, Faculty of Social Sciences, Indonesian International Islamic University)