![]() |
Sumber: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia |
NARRAN.ID, ANALISIS — Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diwarnai berbagai catatan penting. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Kabinet Merah Putih mencapai 80,9 persen (Kompas, 20/01/2025). Angka ini mencerminkan tingginya apresiasi masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski demikian, Presiden Prabowo perlu mengevaluasi sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalam rumah kabinet Merah Putih tersebut, agar tidak blunder dan mengundang kontroversi, yang dapat mengganggu stabilitas internal kabinet tersebut.
Sejak awal pembentukannya,
komposisi Kabinet Merah Putih kerap menjadi sorotan publik. Pertama berkaitan
dengan komposisi kabinet yang sangat gemuk dengan komposisi 7 menko, 41
menteri, 55 wakil menteri, 5 pejabat setingkat menteri, dan 7 utusan khusus presiden.
Masalah berikutnya muncul ketika beberapa menteri dinilai melakukan tindakan
komunikasi publik yang kontraproduktif terhadap tugas-tugasnya. Beberapa
menteri juga dinilai kurang selaras dengan visi Presiden dan justru memunculkan
kontroversi.
Pertama, Menko Hukum dan HAM
Yusril Ihza Mahendra. Yusril menuai kritik akibat pernyataannya yang menyebut
tidak ada pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1998. Sebagai bagian dari kabinet
Merah Putih, Pernyataan Yusril berpotensi memperburuk citra Prabowo yang
sebelumnya selalu dikaitkan dengan peristiwa ’98. Selain itu, Prabowo juga
sempat menuai kritik karena tidak memasukkan agenda penyelesaian kasus HAM
dalam program prioritasnya. Namun Prabowo selalu menampiknya dengan
menyampaikan bahwa pemerintahannya akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menyelesaiakan kasus HAM. Namun, sayangnya Yusril melakukan tindakan yang
kontraproduktif.
Kedua, Natalius Pigai yang
menduduki jawabatan Menteri Hak Asasi Manusia. Kementerian HAM adalah
kementerian baru yang ada dalam nomenklatur Kabinet Merah Putih. Sebelumnya
kementerian tersebut digabung dengan kementerian hukum. Penambahan nomenklatur menteri ini sebelumnya
sudah memancing reaksi negatif dari publik karena dianggap “penggemukan”
kabinet. Pigai memperkeruh suasana dengan menyatakan ke publik bahwa
kementerian yang dibesutnya ingin menaikkan anggaran kementerian dari 64 miliar
menjadi 20 triliun. Statement tentu kontraprodukstif dengan upaya Prabowo
selalu menyatakan bahwa dirinya meminta para menteri kabinet melakukan upaya
efisien anggaran untuk menepis anggapan bahwa penambahan nomenklatur menteri
akan menambah beban negara.
Ketiga, Menteri Pendidikan
Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro. Baru-baru ini, Satryo menuai kritik atas kebijakan sepihaknya yang dianggap semena-mena dan
arogan kepada pegawai kementeriannya. Kita semua tentu masih ingat upaya Prabowo
memperbaiki komunikasi publiknya yang selama ini dianggap arogan dan
meledak-ledak dengan instrumen “joget gemoy”. Strategi tersebut berhasil membuat Prabowo sebagai sosok yang “imut” dan lucu. Sehingga sifat arogan
Prabowo yang sebelumnya melekat secara berangsur-angsur terkikis. Namun,
kembali lagi pasukan di kabinetnya berpotensi mengembalikan ingatan publik
tentang sifat arogan dari Prabowo.
Komunikasi publik di internal Kabinet Merah Putih ini harus menjadi perhatian serius Presiden Prabowo. Ia juga harus menemukan formula yang tepat untuk mengatasi problem buruknya komunikasi publik para menterinya agar kesan yang terbangun di ruang publik tidak bertentangan dengan keinginannya. Untuk itu, saya ingin menawarkan kepada Presiden Prabowo 3 (tiga) alternatif untuk mengatasi komunikasi publik para menterinya.
Pertama, sediakan waktu khusus
untuk “men-training” kabinet untuk memperbaikin komunikasi publik. Materi dari
Ana Moraru seorang pakar komunikasi pada saat pembekalan jajaran kabinet di
Hambalang tidak dapat diserap dengan baik. Sehingga hemat saya Prabowo perlu
mempertimbangkan agenda pembekalan dalam hal komunikasi publik para kabinetnya.
Kedua, pengambilalihan komunikasi
publik oleh Kantor Komunikasi Kepresidenan. Jika Presiden Prabowo tidak ingin
“ribet”, opsi kedua ini dapat menjadi alternatif. Daripada harus melakukan
“sapu-sapu” statement kontroversial dari para kabinet, Prabowo seperti perlu
menyiapkan skema agar urusan komunikasi publik dan diambil alih dan
dikendalikan oleh Kantor Kumunikasi Kepresidenan.
Ketiga, merombak kabinet. Opsi ketiga ini adalah pilihan paling akhir. Sebab, ini akan berpengaruh pada peta sekaligus stabilitas politik. Namun, jika menteri di kabinet tidak dapat diperbaiki dan dikendalikan komunikasi publiknya, opsi ketiga ini dapat menjadi pilihan yang dapat dipilih oleh Presiden Prabowo. [red]
#KabinetMerahPutih #PrabowoGibran #100HariKerja